THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

  • Happy New Year 2021!


    I officially closed 2020 with UMBRA’s M&A and Restructuring PG Annual Dinner on 19 December. Thanks to the superb dinner set from @august_jkt (which is simply the best private dining organizer in Indonesia for me to date), we had a very enjoyable evening. 

    Given the hassle of running any gathering (testing every participants, setting the open air place, enforcing the safety protocol, you name it), it was the only event that I could have with my kids in 2020 since the start of our WFH in mid March 2020. Indeed, it was also the first time for me to physically see some of my new recruits during the pandemic. So I am glad that despite the herculean efforts, it could still be done 🥵🥵🥵.

    I have to admit that running the whole firm from home is a new experience, it’s unprecedented for a law firm even in all of my personal collection of general and law firm management books (what, you think you can manage a big business only by intuition without learning the materials? I take my job seriously). While I've always envisioned a flexible working arrangement where lawyers can work from any place and any time (the last part is probably frightening for some people), prior to the pandemic there was always a big question mark on three issues: (i) how can we ensure that people will actually work at home, (ii) how can we do proper quality control, and (iii) how can we convince the client to avoid physical meetings?

    Luckily, when everyone is forced to work from home, it becomes clear that there are ways to do things more efficiently. Without the hassle of rumbling traffic and waiting for late people, we could manage to perform additional tasks and have more meetings in a single day. I thought I was damn busy in 2019, but 2020 showed that I was wrong. 

    Of course, physical gathering would still be important, especially to build trust among peers and clients. Had we started UMBRA during a pandemic, the results would probably be ugly for us. It is precisely because we had the chance to make our presence known to the clients prior to the pandemic that we could turn the challenges to become opportunities. And I am extremely grateful for having the right timing. I know that hard work is essential, but you can’t deny the role of chance and luck in doing a business. Understanding this iron law would help you to have a realistic and pragmatist perspective, for each optimism, one must always be cautious. And while planning does not always yield successful results, we plan to fail when we fail to plan.

    Yes, not be able to going anywhere and meeting anyone freely still sucks. I miss Japan and all the chefs there. I miss the United States and my beloved family and law school there. But at the same time, I am still grateful that I have a firm with resilient and hard working people, managed to close super interesting and historical deals for my clients, won multiple prestigious awards for the firm, had the time to read and do more research for my planned book, was able to actually finish FF VII Remake (and got Platinum Trophy), One Piece Pirate Warriors 4, and The Last of Us 2 (only 3 games this year (4 if I counted Hades, but it's still ongoing), but hey, given my workload, I call that an achievement 😊), had the chance to improve my cooking skills, and finally, after waiting for more than 10 years, being officially admitted as an indoor disciple of Wu Tang school of martial arts (what a joy!!!). 

    Now, if only I could cure my blocked nose that has haunted me for the past 8 months, I would give 2020 a perfect score! Let’s make new history in 2021! Bismillah.

  • Do Judges Play by the Rules? - A Reply to ''Playing by The Rules''


    Jurisprudence and legal interpretation are two themes that are dear to me. As such, I was quite ecstatic  when I received a copy of a book chapter titled: "Playing by the rules: the search for legal grounds in homosexuality cases - Indonesia, Lebanon, Egypt, Senegal" from Sam Ardi last week, especially because the front page mentions the terms "positivist" and "realism" in law and the chapter itself seems to discuss the role of interpretation in dealing with concrete legal problems. While the paper is indeed interesting and informative for a descriptive work on how different jurisdictions interpret their laws on homosexuality cases, I find that the core analysis lacks a coherent theme from jurisprudential and social science perspectives and this will be the focus of my comments today.
  • Hukum dan Imajinasi - Sebuah Surat Cinta Bagi Ilmu Hukum

    Di penghujung artikel saya minggu lalu mengenai kemungkinan sesuatu mengada dari ketiadaan, saya menyampaikan bahwa salah satu alasan penting untuk menunjukkan bahwa keberadaan Causa Prima atau Tuhan bukan merupakan suatu keniscayaan secara logika maupun ilmiah adalah supaya orang memahami bahwa hal tersebut merupakan perkara iman dan keyakinan pribadi yang tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Dalam artikel hari ini, saya ingin menyampaikan satu alasan lainnya yang tak kalah penting terkait pemahaman di atas, yaitu pentingnya berimajinasi. 

  • Apakah Mungkin Sesuatu Mengada dari Ketiadaan?

     

    Gara-gara menemukan twit imut di atas, saya jadi teringat salah satu diskusi beberapa bulan lalu soal apakah keberadaan causa prima (yang biasanya diterjemahkan menjadi Tuhan) itu suatu keniscayaan secara logika (logical necessity), dan oleh karena itu harus benar adanya dalam setiap keadaan. Pendek kata, dalam diskusi tersebut saya menyampaikan bahwa keberadaan causa prima tidak niscaya secara logika dan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dibuktikan baik secara logika maupun empiris, dan oleh karenanya ada peran yang besar dari iman dalam beragama, khususnya untuk hal-hal yang ujungnya memang sesederhana percaya ga percaya.
  • On Finding a Successor


    I recently found another gem of a slice-of-life manga titled Sota's Knife (Souta no Houchou) and boy, what a page turner! The manga tells the story of Sota Kitaoka, a young man from Hokkaido, that pursues the art of classical Japanese cuisines at Ginza Tomikyu, a ryotei that is known as one of the best traditional restaurants in Tokyo (all are fictional in case you are wondering). The relationship between Sota and Kyugoro Tomita (his Oyakata a.k.a boss/owner chef/master), his colleagues (including his love interest, Tomita's daughter), his growth from a kitchen helper to the top level, his dream of opening his own restaurant versus continuing the legacy of his boss, the hyper competitive environment of restaurants in Tokyo, and the passion and dedication of a true Shokunin shown throughout the series, are simply beautiful and full of emotions. Not only that they remind me of all the restaurants and chefs in Japan that I love so much (and sadly I could not visit until God knows when), but also the journey of my own career and what I look forward to for my future.

  • Islam dan Kebhinekaan - Sebuah Tanggapan Untuk Sohibul Iman


    Saya tertarik membaca opini pagi ini di Republika dari Mohamad Sohibul Iman, Presiden Partai Keadilan Sejahtera, dengan judul: Islam, Kebinekaan dan NKRI. Walaupun judulnya terkesan mengusung pentingnya kebhinekaan dan kerja sama antar anggota masyarakat dalam kerangka NKRI, ada beberapa bagian yang saya rasa perlu sekali dikritisi. Untuk itu akan saya mengutip beberapa paragraf dari artikel tersebut yang saya anggap penting untuk dianalisis lebih jauh.

    Pertama, Sohibul Iman menulis: "Ada anggapan bahwa menghormati kebinekaan hanya diartikan sebagai sikap merayakan perbedaan, tapi kurang mengindahkan hak setiap warga memeluk dan menjalankan ajaran agama dan keyakinannya, sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi dan aturan perundang-undangan yang berlaku... ...Kebinekaan terawat bukan karena klaim sepihak, melainkan karena adanya sikap jujur, terbuka, tanggung jawab, dan adil. Jika ada pemikiran yang mencoba membenturkan antara Islam, kebinekaan, dan NKRI, pemikiran itu harus diluruskan karena berbahaya dan ahistoris. Islam, kebinekaan dan NKRI adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Menjadi seorang muslim yang lurus maka secara aksiomatis juga menjadi seorang nasionalis sejati dan pluralis seutuhnya."  

    Saya mendukung pernyataan normatif di atas. Di atas kertas, ini adalah nilai-nilai yang sangat pantas untuk diusung di Indonesia dan saya pikir sebagian besar bangsa Indonesia (kalau bukan seharusnya seluruhnya) akan menerima ide-ide tersebut. Tetapi tentunya kita tidak bisa bicara kisah-kisah yang indah saja, kita juga perlu berbicara tentang kasus-kasus dimana ada nilai-nilai yang saling berbenturan, karena dalam demokrasi, perbedaan adalah keniscayaan, isunya adalah bagaimana menjaga keutuhan masyarakat sebagai akibat dari perbedaan tersebut. Sebagai contoh, ketika suatu umat memiliki hak untuk menjalankan ajaran agama dan keyakinannya, mana yang harus didahulukan ketika kemudian nilai ajaran tersebut tidak 100% sesuai dengan nilai moral lainnya (misalnya nilai kebangsaan atau nasionalisme), adat istiadat, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku? Apakah mungkin semuanya bisa berjalan beriringan, atau kita harus memilih salah satu? Kalau harus memilih, bagaimana caranya supaya tidak timbul konflik yang lebih jauh?

    Sebagaimana kita ketahui bersama, perkara hukum terkait penodaan agama yang kemudian menyulut aksi dari sebagian masyarakat beberapa minggu terakhir ini bukanlah perkara sederhana. Ayat Qur'an yang dipermasalahkan sangat terkait dengan isu politik, soal siapa yang bisa diangkat dan tidak bisa diangkat menjadi pemimpin umat Muslim di Indonesia. Pembahasan tafsir dan fikih terkait Al-Maidah: 51 sudah saya bahas panjang lebar sebelumnya dalam artikel saya di sini dan di sini. Intinya ada ragam perbedaan pendapat, dimana setidaknya ada satu pendapat yang menyatakan bahwa pemimpin non-Muslim seharusnya haram (terlepas apa jabatannya dan bagaimana cara diangkat atau dipilihnya).

    Konteks keberadaan ayat ini seharusnya tidak dipisahkan dengan inti perkara hukum yang sedang berjalan. Saya memahami adanya beberapa pihak yang mencoba memisahkan kedua hal tersebut, seakan-akan ada sebuah kasus penodaan agama yang berdiri sendiri. Tapi bagaimana mungkin ada kasus penodaan agama yang berdiri tanpa konteks apapun? Ketika orang ingin menodai, mengungkapkan rasa kebencian atau permusuhan, tentunya harus ada latar belakang yang mendasari hal tersebut. Kalau tanpa alasan, pelakunya bisa jadi gila, dan justru akan lepas dari hukuman karena orang yang sakit jiwa umumnya dilepaskan dari pidana. Harus ada latar belakang, dan latar belakang itu yang kemudian harus diperiksa lebih jauh karena berhubungan sangat amat erat dengan inti dari artikel Sohibul Iman.

    Kalau klaim Sohibul Iman benar, yaitu bahwa umat Islam di Indonesia secara aksiomatis sudah pasti nasionalis dan pluralis, bagaimana caranya kita menjelaskan adanya fenomena menolak pemimpin non-Muslim semata-mata karena agamanya, terlepas dari hasil kinerja, moralitas, kemampuan memimpin dan faktor-faktor lainnya yang umumnya diharapkan dari seorang pemimpin yang berkualitas? Dalam versi tafsir yang paling masyhur, urusan agama ini adalah faktor yang menutup faktor-faktor lainnya. Non-Muslim tidak bisa jadi pemimpin kecuali untuk jabatan dengan wewenang yang sangat minim dan terbatas. Titik. Apakah tafsir tersebut kemudian bisa dianggap sebagai bentuk pluralisme atau dukungan atas NKRI?

    Ada yang mencoba mengambil jalan tengah dengan menyatakan bahwa umat Islam sudah menerima bentuk NKRI yang memungkinkan kaum non-Muslim untuk menjadi pemimpin, tetapi umat Islam tidak bisa dipaksa memilih dan tetap berhak mengajarkan dimana-mana bahwa kaum non-Muslim tidak bisa menjadi pemimpin. Kalau demikian adanya, sejauh mana hal tersebut diperbolehkan? Kapan batasannya antara diskusi ilmiah tentang keharaman memilih pemimpin non-Muslim dan ujaran kebencian kepada pihak lain yang berbeda?

    Ambil contoh kasus Rhoma Irama di tahun 2012 yang sempat tersandung isu SARA ketika memberikan ceramah pada musim Pilkada. Dalam ceramahnya yang bisa dilihat di sini, Rhoma menyampaikan bahwa apabila Ahok yang non-Muslim, yang cina, yang Kristen sampai jadi Gubernur pemimpin ibu kota, maka umat Islam menanggung aib bersama di dunia internasional, innalilahi. Tutur kalimat Rhoma disampaikan dengan santun, tetapi apakah isinya damai dan tidak menyakiti hati orang lain? Sebagaimana pernah saya bahas pula di artikel-artikel saya sebelumnya, pembahasan dalam tafsir-tafsir klasik terkait isu pemimpin non-Muslim pun juga sangat konfrontatif karena non-Muslim dicap sebagai kaum yang tak bisa dipercaya dan senantiasa menginginkan keburukan untuk kaum Muslim. Apakah pernyataan seperti ini sah-sah saja disampaikan di muka umum sepanjang katanya hanya dikonsumsi untuk umat Islam di masjid, sekolah, atau pondok pesantren, terlepas apakah kalimat itu juga sangat menuduh, sangat tendensius, dan menyakiti hati orang lain? Jangan lupa juga bahwa ketentuan Pasal 156 dan 156a KUHP terkait penodaan terhadap golongan dan agama tidak memberikan pengecualian bahwa hal itu boleh sepanjang dilakukan di muka orang-orang yang seide (atau paling tidak dianggap seide), yang penting dilakukan di muka umum dan pengertian "di muka umum" sangat luas.

    Saya juga ingat ada yang menggugat Ahok secara perdata gara-gara ada kutipan berita bahwa Ahok menuduh peserta aksi bela Islam pada tanggal 4 November 2016 menerima uang Rp500.000. Walaupun faktanya masih diperdebatkan, tetapi sudah dijadikan dasar bahwa pernyataan menerima uang itu menghina dan menyakiti hati peserta aksi, karena mereka dituduh tidak tulus, sekedar orang bayaran. Kalau pernyataan yang ambigu saja sudah bisa dijadikan dasar untuk menyakiti hati dan orang ternyata bisa tersinggung karena dituduh kurang tulus, apalagi kalau suatu kaum ramai-ramai dituduh penipu, tak bisa dipercaya dan gemar berkonspirasi untuk menjatuhkan orang lain? Bukannya ini seperti sedang menanam bom waktu? Konflik tidak meledak semata-mata karena kebetulan kaum yang dituduh belum bereaksi dengan keras?

    Fenomena kasus Rhoma Irama di atas juga bukan yang pertama kalinya, nuansa khotbah demikian terkait relasi kaum Muslim dan non-Muslim sudah sering saya baca dan dengar (khususnya melalui khotbah Shalat Jumat). Saya bersyukur paling tidak Rhoma Irama akhirnya tak sampai dipenjara dan saya juga tak akan menyarakan agar pelaku-pelaku lainnya dipenjara karena sedari dulu saya meyakini penjara bukan solusi efektif untuk kasus-kasus seperti ini. Tetapi kita harus sadari bahwa fenomena itu ada, dan sangat sulit untuk menyatakan bahwa fenomena tersebut sesuai dengan nilai kebhinekaan dan pluralisme yang menurut Sohibul Iman sudah diadopsi dengan tegas oleh umat Islam di Indonesia.

    Saya juga heran dengan kalimat Sohibul Iman terkait hak mayoritas untuk dihormati, yang ia ulang setidaknya 3 kali termasuk kalimat di atas yang saya kutip, yaitu: "...Ki Bagus Hadi Kusumo sebagai pokok pimpinan Muhammadiyah bersama tokoh umat Islam lainnya yang berbesar hati mengesampingkan aspirasi umat Islam, dengan merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menggantinya dengan sila pertama Pancaila..." dan "...Kebinekaan tercermin ketika kelompok mayoritas mampu menghargai dan mengayomi minoritas. Di saat yang sama, kelompok minoritas juga bisa memosisikan diri dan bersikap hormat serta toleran kepada kelompok mayoritas."

    Dengan kalimat di atas, Sohibul Iman seakan memberikan isyarat bahwa kaum mayoritas sudah beberapa kali mengalah, itu bonus bagi yang minoritas, oleh karena itu sebaiknya yang minoritas harus tahu diri dan lebih hormat kepada yang mayoritas. Untuk keperluan diskusi ini, saya akan berasumsi bahwa mayoritas dalam pandangan Sohibul Iman maksudnya merujuk kepada kaum Muslim Indonesia, dan kalau saya salah, silakan dikoreksi.

    Inilah alasan mengapa saya heran. Kalau benar bangsa ini pluralis, nasionalis dan berkebhinekaan, mengapa masih mengkotak-kotakkan mayoritas versus minoritas? Dalam kebhinekaan, seharusnya kita tidak lagi mempersoalkan mayoritas versus minoritas tetapi kepentingan bersama sebagai satu bangsa. Akan sangat berbahaya kalau kemudian kaum mayoritas merasa bahwa keamanan dan penerimaan terhadap kaum minoritas adalah sebuah privilege khusus bagi yang minoritas, suatu hak yang bisa diambil sewaktu-waktu kalau kaum mayoritas sudah merasa gerah dengan minoritas.

    Ambil kembali kasus Rhoma Irama. Suka tidak suka, fakta bahwa Rhoma adalah seorang Muslim dan juga cukup dikenal sebagai penyanyi religius berkorelasi positif dengan lepasnya ia dari jerat hukum. Ketika saya menonton acara TV terkait pembelaan bagi Rhoma (yang bisa dilihat di sini), pembelaan yang saya tangkap bagi Rhoma adalah bahwa ia hanya menyampaikan ajaran agama semata dan dikhususkan bagi umat Islam, dan oleh karena itu tidak bisa dianggap SARA. Anda juga bisa membaca artikel ini sebagai basisnya. Kalau dicermati lebih jauh isi artikel itu, tampak sekali sikap yang plin-plan. Tindakan Rhoma bukan SARA, tetapi negara Indonesia diakui bukan negara Islam melainkan negara demokrasi sehingga sebaiknya kampanye jangan menggunakan unsur SARA. Ibarat kata, di lubuk hati masing-masing, orang-orang ini mengakui bahwa apa yang disampaikan tidak baik, tapi sudah kadung kejadian, dan berjalan di masyarakat, jadi ya apa boleh buat. Dari kasus ini dan bagaimana ia berakhir, terdapat suatu pesan implisit bagi kaum minoritas: yang mayoritas berhak untuk menyampaikan ajaran agama, termasuk menjelekkan yang minoritas, dan yang minoritas harus tahu diri, jangan balik mengkritik, jangan marah atau menyinggung yang mayoritas, karena nanti bisa dilibas. Dimana kebhinekaan, nasionalisme, dan pluralismenya?

    Saya tidak heran kemudian contoh-contoh yang diberikan oleh Sohibul Iman terkait kontribusi umat Islam di masa lalu tidak nyambung dengan konsep kebhinekaan yang diusungnya sendiri. Contoh yang diberikan terkait perjuangan tokoh-tokoh Muslim Indonesia dalam mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa. Apa hubungannya? Penjajahan tidak enak buat sebagian besar masyarakat Indonesia, jelas banyak yang berminat untuk melawan. Mayoritas penduduk pada masa itu pun juga orang Islam, secara statistik wajar kalau tokoh Islam juga lebih banyak yang muncul. Justru akan sangat memalukan kalau umat Islam mayoritas namun ternyata lebih banyak tokoh perjuangan non-Muslim yang muncul di permukaan. Alih-alih prestasi luar biasa, kontribusi umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan adalah suatu keniscayaan. Dan yang lebih penting lagi, kalau kita sepakat ini semua demi NKRI, maka kontribusi itu seharusnya juga bebas dari pamrih. Lagi-lagi ini bukan privilege yang diberikan oleh kaum mayoritas, ini juga bukan soal siapa yang lebih banyak berkontribusi. Dalam perjuangan kemerdekaan serta membangun dan merawat bangsa ini, kita semua setara dan sederajat. Yang ahistoris itu justru sikap mengklaim bahwa NKRI muncul karena kontribusi umat Islam semata atau minimal didominasi oleh umat Islam sehingga yang lainnya sebenarnya cuma penggembira yang keberadaannya cuma buih tak bermakna.

    Saya juga harus mempertanyakan usulan Sohibul Iman terkait solusi bagi NKRI berikut: "Adalah sunnatulah untuk membangun bangsa ini harus dengan menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling bekerja sama. Kita tidak bisa membangun Republik ini hanya dengan melibatkan golongan dan kelompok tertentu, tanpa bantuan dan kerja sama elemen bangsa lainnya. Bangsa ini lahir dan bisa tetap tumbuh berdiri tegak hingga saat ini karena rasa kebersamaan yang terus terjalin." Dalam artikel itu Sohibul Iman juga menekankan pentingnya rasa saling memiliki dan saling mempercayai di antara masyarakat Indonesia. Bagaimana caranya kita membangun rasa kebersamaan ketika kita menanamkan doktrin bahwa satu kaum seharusnya dikeluarkan dari garis kepemimpinan? Bagaimana caranya menanamkan kepercayaan kalau diajarkan satu kaum tak bisa dipercaya sama sekali? Bagaimana caranya mengajarkan saling memiliki kalau kaum minoritas tahu bahwa kaum mayoritas sudah diajarkan untuk senantiasa menghalangi kaum minoritas untuk terjun dalam pemerintahan dan politik?

    Rasanya terkesan formalistik sekali (for lack of a better word secara orang gampang sekali tersinggung) ketika orang dengan santai berbicara bahwa mereka tidak menghalangi orang non-Muslim jadi pemimpin, mereka hanya tidak akan memilih saja sekaligus menyampaikan kepada publik seluas-luasnya bahwa orang non-Muslim tidak layak jadi pemimpin. Ibarat kata kita sampaikan kepada seseorang, "saya tidak akan menghalangi anda untuk maju, tetapi saya akan habisi anda di segala tahap setelah anda coba-coba maju supaya semua upaya anda itu sia-sia." Kalau cara demikian bisa efektif menimbulkan kebersamaan, saling percaya dan saling memiliki di antara kita, tolong hubungi saya, kita mungkin bisa menyusun teori ilmu sosial baru dan siapa tahu menang Nobel Perdamaian.

    Tidak mengherankan juga aksi-aksi belakangan ini sangat peduli dengan jumlah. Angka-angka berseliweran dari ratusan ribu sampai jutaan dengan segala dalilnya. Selama ini acara doa bersama dan demo-demo jarang ada penghitungan resmi, kita tahunya ramai atau tidak ramai. Tapi kali ini isunya sensitif. Sohibul Iman di pembukaan artikelnya menulis: "Ketika jutaan umat Islam berjuang membela martabat agamanya secara damai dan konstitusional karena merasa kesucian kitab sucinya dinodai oleh ucapan seorang pejabat publik, tiba-tiba ada sebagian kelompok yang justru menstigmanya sebagai sikap anti kebinekaan dan anti-NKRI." Harusnya kita bertanya, mengapa tuduhan itu sampai muncul? Mengapa ada yang mempertanyakan hubungan aksi keagamaan dengan isu kebhinekaan? Kita harus jujur dan adil sejak dalam pikiran kalau kita ingin menjawab pertanyaan ini dengan serius.

    Sebagaimana saya sampaikan di atas, isu penodaan agama ini tidak bebas konteks, ada isu yang jauh lebih besar di belakangnya. Selama para pemuka agama Islam masih tanggung-tanggung dalam menentukan batasan soal pemimpin Muslim ini, maka selama itu juga akan ada konflik karena jujur saja, bahkan dengan menggunakan standar logika yang paling rendah sekalipun, sulit sekali menyatukan konsep larangan memilih/mengangkat pemimpin non-Muslim dengan nilai-nilai nasionalisme dan pluralisme. Sedikit banyak, hal ini bisa menjelaskan mengapa aksi-aksi belakangan ini berfokus pada isu penistaan agama dan jumlah massa dan juga mengapa MUI tidak menjelaskan sedikitpun soal apa yang dimaksud dengan pemimpin dan apa batasannya ketika menyatakan Ahok sudah menista agama.

    Mungkin karena kalau ditelusuri lebih jauh sampai ke inti permasalahan, seluruh bangunan kasus penodaan agama bisa runtuh dan secara politis, isu ini tidak akan lagi seksi. Apabila kita membawa kasus ini ke sekedar penodaan agama, terlepas apa alasan dibelakang penodaan itu, saya tidak heran kalau ada banyak umat Islam yang berminat turut serta. Judulnya saja bela Qur'an dan bela Islam. Kadang keimanan memang tidak harus didukung analisis mendalam, judul itu sudah cukup untuk memanggil banyak orang untuk datang. Tapi ketika kita tekan soal ayat yang diributkan, kita akan sadar, bahwa praktek seperti ini memang sudah lama berjalan dan dibiarkan walaupun bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.

    Gerakan kebhinekaan juga nampaknya tidak bisa mengartikulasikan isu ini dengan baik, mungkin takut dianggap mempertanyakan keyakinan sebagian umat Islam (saya sebut sebagian karena umat Islam pun juga sebenarnya terdiri dari beragam faksi dan keyakinan, mengklaim umat Islam sebagai hanya satu kesatuan adalah upaya yang ahistoris), sehingga akhirnya terjebak dalam nuansa yang sama, sekedar balas berbalas aksi, berharap jumlahnya akan lebih besar. Tapi debat dan perang tanding jumlah massa ini tidak substantif. Might does not make right, kalau cuma sekedar banyak-banyakan saja sudah dianggap benar, negara dan sistem demokrasi akan bubar. Salah besar kalau demokrasi dipikir hanya soal siapa yang lebih banyak. Inti dari demokrasi ada di check and balance. Pemikir demokrasi tahu bahayanya tirani mayoritas maupun tirani minoritas. Ini mengapa diperlukan sistem yang bisa menjaga jangan sampai ada tirani, sistem yang bisa membawa kita bisa menyelesaikan perselisihan dengan cara yang damai dan beradab.

    Dalam konteks Indonesia, kita perlu menyudahi unjuk kekuatan ini, kita juga tidak bisa berhenti sekedar dengan slogan kebersamaan dan saling memahami. Demokrasi tidak bisa berjalan dengan slogan, kita harus berani melihat inti permasalahan yang sebenarnya dan berani mengambil sikap dengan segala konsekuensinya. Kalau Sohibul Iman konsekuen dengan kalimatnya ini: "Tindakan yang merusak kebinekaan dan persatuan bangsa oleh siapa pun, apa pun agamanya, apa pun suku bangsanya, apa pun partai dan posisi jabatannya, maka harus diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law)," maka kita harus jelas mendefinisikan, yang dimaksud dengan merusak kebhinekaan itu seperti apa? Bagaimana caranya mendefinisikan kesetaraan di hadapan hukum, khususnya dengan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dan nilai-nilai kebangsaan yang sedang kita anut?

    Kalau sebagian dari kita begitu bersemangat ingin menyelesaikan perkara penodaan agama ini melalui sistem pidana, apa mereka juga siap apabila hal yang sama diterapkan kepada mereka? Atau kita masih akan berargumen bahwa apabila yang berbuat adalah kaum mayoritas, maka tidak ada masalah dan tidak merusak kebhinekaan seperti dalam kasus Rhoma? Kalau demikian, sebenarnya kita sedang bicara nilai macam apa? Saya sangat berharap agar permasalahan krusial ini tidak lagi sekedar dibahas di level kulitnya, ada banyak hal yang dipertaruhkan. Naif kalau kita melihat ini hanya sekedar perkara penodaan agama oleh pejabat publik, kita saat ini sebenarnya sedang memperdebatkan konsep kebangsaan kita sendiri, soal nilai mana yang akan lebih diutamakan.

    Saya tidak tahu apakah kita berani membuka pintu untuk perdebatan itu lagi. Tapi kalau kita setuju NKRI harga mati dan konsep final, kita juga harus menerima konsekuensinya seutuhnya, dan kemungkinan besar hanya ada 2 konsekuensi logis. Pertama, konsep menghalangi orang dipilih hanya karena agama semata tak bisa hidup dalam NKRI, atau kedua, kalaupun kita akan membiarkannya hidup karena alasan kebebasan berpendapat, maka kritik dan otokritik terhadap konsep itu juga harus dibuka sebebas-bebasnya, dan isu penodaan agama kali ini juga harus ditutup sebagai bagian dari kritik yang valid.

    Kalau kita berharap demokrasi bisa hidup cuma dengan kesantunan, kemungkinan besar kita akan kecewa. Kesantunan, sekalipun merupakan sikap yang baik, tidak menyelesaikan perbedaan, hanya menekan sementara perbedaan keyakinan yang ada di masyarakat. Kalau kita hanya mengajarkan kesantunan dan represi penyampaian ide, di satu titik, ia akan meledak, dan kita akan terlambat untuk mencegahnya karena akumulasi kekesalan yang selama ini tidak ditunjukkan ke permukaan. Demokrasi lebih butuh keterbukaan dan untuk bisa terbuka, setiap pihak harus dijamin terlebih dahulu bahwa ia bisa menyampaikan pendapatnya dengan aman dan jauh dari ancaman kekerasan dan pidana. Hanya dalam situasi demikian, dialog bisa berjalan, dan kita bisa sama-sama lebih memahami poin masing-masing pihak, sekaligus lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan. Setidaknya saya meyakini bahwa kondisi ini bukan suatu hal yang mustahil untuk tercapai di Indonesia, sekecil apapun probabilitasnya. Hidup Indonesia!                    

  • Menyingkap Logika Kalimat Dibohongi Pakai Al-Maidah: 51



    Melanjutkan artikel saya mengenai tafsir atas Al-Maidah:51 dan politik Islam di Indonesia serta konsep penodaan agama di Indonesia, artikel ini akan membahas lebih jauh mengenai salah satu isu yang paling diributkan dalam kasus tuduhan penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yaitu pengertian kalimat "dibohongi pakai Al-Maidah 51...". Kalimat inilah yang dianggap menjadi dasar utama penghinaan/penodaan atas agama Islam dan para ulama, setidaknya menurut fatwa MUI (atau mungkin lebih tepatnya disebut sebagai pernyataan sikap MUI dikarenakan belum ada fatwa dari komisi fatwa MUI).

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.