THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

  • Memahami Penodaan Agama Seutuhnya


    Setelah keluarnya artikel saya yang berjudul Al-Maidah:51 dan Politik Islam yang Tak Kunjung Lepas Landas, saya menerima beberapa pertanyaan yang intinya kira-kira seperti ini: memperhatikan ragam diskusi tentang surah Al-Maidah: 51, apakah kasus pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (atau lebih sering disebut Ahok) di Kepulauan Seribu dapat dianggap sebagai penistaan terhadap agama Islam yang merupakan suatu tindak pidana berdasarkan hukum Indonesia? Artikel ini akan mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut.
  • Al-Maidah: 51 dan Politik Islam yang Tak Kunjung Lepas Landas


    Minggu lalu saya diminta untuk memberikan komentar atas artikel berjudul "Politik Islam di Indonesia: Ideologi, Transformasi, dan Prospek dalam Proses Politik Terkini" yang ditulis oleh Muhammad Zulifan. Karena menurut saya artikelnya juga berhubungan dengan artikel Zulifan lainnya tentang Tafsir atas Al-Maidah Ayat 51, maka saya akan menggabungkan komentar saya atas kedua artikel tersebut dalam tulisan kali ini.
  • LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa Tolong Berhenti Mengada-ada

    Ketika saya membaca artikel balasan dengan judul "LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa, Benarkah Klaim Ini?", saya sebenarnya masih meragukan apakah penulisnya benar-benar Fithra Faisal yang asli. Walaupun demikian, saya memiliki firasat kuat bahwa penulis artikel balasan tersebut (siapapun dia) adalah juga penulis artikel sebelumnya "LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa," mengingat pola penulisannya sama. Artikel pertama berbicara soal usulan kebijakan publik tetapi secara misterius tidak menyebutkan kebijakan apa yang hendak diusulkan, sementara artikel kedua menambahkan suatu pertanyaan di judul namun sampai akhir isi artikelnya, ternyata jawabannya tidak pernah diberikan. Dari sudut pandang cocokologi, ini yang namanya cocok secara alamiah tanpa perlu dicocok-cocokkan lagi karena sama-sama memberikan harapan palsu.

  • LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa? Suatu Ide yang Diada-adakan



    Ketika saya membaca artikel dari Fithra Faisal berikut ini: LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa (yang dikirimkan melalui Grup WA Selasar), saya sedang duduk menikmati Chutoro Sushi di restoran Sushi favorit saya, Sushi Masa. Beberapa hari sebelumnya, saya baru saja menolak tawaran untuk menjadi pengisi blog reguler di sebuah surat kabar berbahasa Inggris. Saya katakan bahwa saya sudah berbulan-bulan tidak menulis dan pada dasarnya ingin pensiun dari dunia tulis menulis sampai suatu hari nanti minat saya muncul kembali (yang sempat saya prediksikan tidak akan muncul dalam waktu dekat).

    Rupa-rupanya petunjuk dari langit tiba dengan sekejab setelah penolakan itu. Saya yang sudah lama bahkan tidak berminat untuk debat melalui artikel pun tak kuasa menolak gejolak di hati untuk memberikan tanggapan atas artikel tersebut. Sempat terpikir apakah saya akan kembali menikmati sushi yang sangat lezat itu dengan tenang sambil menutup mata dan menikmati hidup seperti biasanya atau haruskah saya menyampaikan ke grup Selasar bahwa saya akan menanggapi artikel itu (yang berarti memberikan komitmen untuk menulis)? Sesaat menimbang melalui Cost Benefit Analysis sebagaimana biasanya saya praktekkan dalam hidup sehari-hari, akhirnya saya putuskan untuk menanggapi artikel tersebut. Bukan apa-apa, kalau yang menulis artikel barusan adalah tipikal tukang obat atau analis abal-abal yang mudah ditemukan di pinggir jalan sedang menawarkan dagangannya, saya akan hiraukan dengan seketika, tapi kali ini penulisnya adalah ekonom muda yang saya anggap punya kualitas mumpuni, dan seharusnya tulisannya berbobot tinggi, apalagi mengusung usulan kebijakan publik.

    Sayangnya sebagaimana akan saya uraikan dengan lebih rinci di bawah ini, artikel di atas seharusnya tidak layak tayang dan tidak pantas dijadikan usulan kebijakan. Saya juga sangat mempertanyakan apakah artikel itu sedang ditulis oleh Fithra sebagai seorang ekonom serius atau jangan-jangan ditulis oleh orang lain yang menyaru menjadi Fithra, seorang moralis yang berpikir bahwa dia bisa menyembunyikan identitasnya (yang sebenarnya bukan Fithra) dengan memberikan sedikit bubuhan ilmu ekonomi dalam analisisnya (itu pun kalau bisa disimpulkan bahwa analisisnya memenuhi kaidah ilmu ekonomi yang ajeg). Supaya saya tak dituduh bertele-tele dengan pendahuluan saya di atas, marilah kita masuk ke pokok perkara tentang artikel Fithra, paragraf per paragraf yang relevan.

    Mulai dari bagian awal artikelnya terlebih dahulu:

    "Yang ingin saya lihat adalah bagaimana pengaruh dari sikap pro LGBT sebuah negara terhadap pertumbuhan ekonominya. Dari beragam variabel dalam survey tersebut, saya mengkonstruksi tiga hal yang paling relevan, diantaranya adalah: i) dukungan figur publik (baik politikus maupun artis); ii) dukungan pemerintah dan; iii) dukungan pemuka agama. Model yang dibangun didasarkan pada teori pertumbuhan ekonomi klasik, di mana ekonomi dapat tumbuh dengan dengan bantuan modal dan tenaga kerja, di mana kecenderungan LGBT yang semakin besar di sebuah negara akan berdampak kepada kondisi kependudukan yang memburuk. Hal ini dapat dijelaskan dari fakta terang benderang bahwa pasangan LGBT tidak dapat menghasilkan keturunan (Bukankah gembok harus bertemu kunci dan sendok bertemu garpu? Coba bayangkan kalau anda membuka gembok dengan gembok, mana bisa terbuka?). Kondisi kependudukan yang memburuk tersebut pada gilirannya akan menghambat ekonomi untuk terus tumbuh."

    Ada banyak isu dari paragraf di atas, tetapi mungkin yang pertama kali harus dipertanyakan adalah klaim bahwa kecenderungan LGBT yang semakin besar akan berdampak pada kondisi kependudukan yang memburuk dimana hal ini disebabkan oleh fakta yang terang benderang bahwa kaum LGBT tidak dapat memiliki anak. Darimana asalnya klaim dan fakta yang katanya terang benderang ini? Faktanya kaum LGBT dapat memiliki keturunan. Di negara-negara maju, konsep surrogate parent adalah suatu hal yang mungkin terjadi untuk kemudian dipadukan dengan aturan hukum terkait adopsi atau pengurusan anak. Pasangan LGBT dapat meminta pihak lain untuk menjadi donor sperma atau donor telur atau meminjamkan rahimnya guna mendapatkan keturunan. Memangnya setiap pasangan LGBT pasti tak menginginkan keturunan? Bayangkan juga kalau teknologi kloning sudah berjalan.  

    Yang lebih penting lagi, ada semacam lompatan ide yang terlampau jauh, yaitu ide bahwa seakan-akan bertambahnya LGBT akan menimbulkan krisis kependudukan. Apakah memang benar demikian adanya? Bagaimana dengan pasangan heteroseksual yang memilih untuk tidak memiliki keturunan? Salah satu konsep mendasar dalam ilmu ekonomi adalah Biaya Kesempatan (Opportunity Costs). Memiliki keturunan bukannya tanpa biaya. Ini bukan dunia fantasi dimana semua anak terlahir langsung dewasa, sopan, pintar, dan bisa mengurus diri sendiri tanpa bantuan orang tuanya.

    Kenyataannya, biaya investasi anak bisa jadi sangat tinggi dan membutuhkan banyak pengorbanan baik dalam bentuk materi maupun waktu. Tidak semua orang menempatkan prioritasnya untuk memiliki anak khususnya ketika mereka melihat kesempatan lain yang lebih baik (apalagi investasi dalam bentuk anak belum tentu selalu memberikan hasil di masa depan, namanya juga investasi). Krisis kependudukan di Jepang dan Korea misalnya seringkali diatribusikan kepada isu ketimpangan perlakuan gender dimana wanita yang hamil atau memiliki anak sangat dipersulit untuk mempertahankan karirnya atau bahkan memperoleh promosi. Karena ketimpangan tersebut, kaum wanita akhirnya memutuskan untuk menunda usia perkawinan atau bahkan tidak memiliki keturunan sama sekali demi mempertahankan karir mereka. Krisis itu juga dapat diperparah dengan kebijakan yang anti imigran asing guna menopang jumlah penduduk.

    Ketika kita bicara kebijakan publik, kita tentunya harus bicara analisis untung rugi (CBA). Tidak pantas kalau ekonom dan penyusun kebijakan publik menggunakan pendekatan "pokoknya", pokoknya begini atau begitu tanpa alasan memadai. Pertanyaan mendasarnya, dibandingkan dengan sekian banyak faktor lainnya dalam krisis kependudukan di negara-negara maju (yang sangat kompleks), seberapa besar kasus kaum LGBT menyumbang masalahnya (itu pun dengan asumsi bahwa kemungkinan kaum LGBT memiliki keturunan adalah nol seperti diandaikan oleh Fithra)? Apakah ada data yang mendukung bahwa dikarenakan LGBT, jumlah penduduk manusia berkurang drastis? Apakah jumlah kaum LGBT telah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat sedemikian rupa sehingga keberadaannya menyumbang secara signifikan terhadap isu kependudukan dan oleh karenanya membutuhkan intervensi pemerintah? Tanpa bisa menjawab pertanyaan tersebut, saya khawatir inti artikel Fithra tak lebih dari sekedar mencari justifikasi ilmiah ala-ala atas ide yang ditulisnya dengan gamblang di bawah ini:

    "Dalam artikel ini, saya tidak akan menjelajahi data kaum Sodom dan Gomorah serta melampirkan ayat betapa Tuhan membenci kaum ini sehingga memberikan azab yang ganas. Biarlah para ustadz yang bercerita."

    Mudahnya, sebagai penyusun kebijakan publik, untuk apa meributkan kasus hipotetis yang sebenarnya tidak memiliki efek berat terhadap isu kependudukan? Ibarat kata, kita meributkan dan menyiapkan diri habis-habisan untuk menghadapi jatuhnya peristiwa meteor raksasa yang mungkin tak akan pernah jatuh ke bumi padahal ada lebih banyak isu krusial lainnya yang harus ditangani dengan keterbatasan sumber daya yang ada di planet bumi (misalnya pemanasan global, ketimpangan ekonomi, perang, dan sebagainya). Tidak masuk akal kan? Akan aneh kalau kita menghabiskan biaya untuk "menghilangkan" kaum LGBT guna menuntaskan permasalahan kependudukan (ini hanya contoh mengingat sampai akhir artikelnya, Fithra tidak pernah menjelaskan kebijakan apa yang hendak dia usung, kita akan bahas isu ini lebih mendalam di bawah ini), sementara isu lainnya yang kemungkinan besar lebih penting malah dibiarkan saja tanpa solusi. Dimana letak pertanggungjawaban publiknya?

    Paragraf berikutnya dari artikel Fithra juga tak kalah unik: "Hasil bercerita bahwa persentase dukungan figur publik terhadap LGBT yang semakin besar ternyata tidak berdampak signifikan tehadap pertumbuhan ekonomi. Dari sini, tersirat bahwa meski figur publik berkoar-koar mendukung LGBT, hanya sedikit dari masyarakatnya yang betul-betul terpengaruh sehingga efek tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi tidak terlalu kentara."

    Saya bingung kenapa Fithra menjadikan variabel ini sebagai variabel yang relevan untuk pro atau kontra atas LGBT. Apakah sekarang kita hendak mulai mengatur isu apa yang sebaiknya dibahas dan didukung oleh figur publik? Kita sekarang lebih tahu soal mana yang seharusnya ditwit atau diunggah ke Facebook oleh para aktor dan aktris kita? Apa definisi figur publik? Yang follower-nya lebih dari sejuta per orang? Apakah hanya di sosial media atau meliputi semua jenis media? Cukup aktor dan aktris layar kaca atau sekalian aktor politik? Lebih penting lagi, memangnya sungguh-sungguh ada kausalitas antara trending topic dengan pertumbuhan ekonomi? Bagaimana caranya? Karena kalau demikian adanya, semua permasalahan ekonomi kita bisa diselesaikan dengan hashtag #hashtagsolusipertumbuhanekonomi #lifeisgood #LOL.

    Ataukah jangan-jangan efek dari dukungan figur publik tersebut tidak terasa karena jumlah kaum LGBT terlalu sedikit untuk menimbulkan riak gelombang pertumbuhan ekonomi? Asumsinya, dukungan figur publik ternyata membuat kaum LGBT rajin dan semangat bekerja demi masa depan yang lebih baik. Tetapi kalau demikian adanya, bukankah Fithra sudah menjawab sendiri mengapa kita tak perlu ambil pusing memikirkan kebijakan publik apa yang perlu dilakukan atas LBGT, wong jumlahnya sedikit. Mungkin aktivitas figur publiknya yang perlu ditambah, kali ini dengan memanas-manasi kaum heteroseksual untuk bekerja giat mengalahkan kaum LGBT dalam persaingan sehat. Siapa tahu dengan itu kita akan berhasil mewujudkan #hashtagsolusipertumbuhanekonomi.

    Adapun hal yang paling cepat membuat saya mendelik ketika saya menelusuri artikel Fithra adalah dahsyatnya klaim Fithra bahwa kenaikan kebijakan pro LGBT akan menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Saya kutip langsung kalimatnya di bawah ini:

    "Namun jika melihat faktor pemerintah, setiap 1 persen kenaikan kecenderungan pro LGBT, maka terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.1 persen. Di sini, dapat dilihat bahwa peran pemerintah selaku pembuat kebijakan adalah cukup krusial, baik itu bersifat pro maupun kontra terhadap LGBT. Dari sini pula, kita dapat melihat bahwa kebijakan pemerintah yang memiliki kecenderungan pro terhadap LGBT dapat meng-constraint pertumbuhan ekonomi."   

    Ini klaim yang sangat berani (dan mungkin juga sangat jenius). Tanpa memberikan referensi data secara rinci, dasar perhitungan korelasi, bahkan tanpa kejelasan dengan apa yang dimaksud dengan kebijakan pro LGBT, Fithra menyimpulkan bahwa kebijakan pro LGBT (apapun itu) memperlambat pertumbuhan ekonomi. Bagaimana cara menghitungnya sementara variabelnya saja tidak jelas? Seyakin apa Fithra sehingga bahasa yang digunakan mengacu kepada kausalitas (dengan menggunakan kata "maka") dan bukan sekedar korelasi (ini dengan asumsi bahwa hitung-hitungannya benar menunjukkan ada korelasi)?

    Sederhana saja isunya, apa yang dimaksud dengan kebijakan pro LGBT? Apakah pernyataan seorang menteri di suatu negara tentang perlunya perlindungan hak-hak kaum LGBT dapat dianggap sebagai komponen dari kebijakan pro LGBT? Ataukah kebijakannya harus dalam bentuk tegas macam pemberian dana untuk program pendidikan pro LGBT atau bahkan legalisasi perkawinan sesama jenis?  Apakah kebijakannya harus dinyatakan secara tertulis dalam suatu peraturan perundang-undangan? Harus di level legislatif atau cukup di level eksekutif? Harus di level pusat atau cukup di level regional? Ataukah kebijakan tersebut dapat dalam bentuk tidak tertulis/informal? Bagaimana apabila suatu Pemerintah mendiamkan aktivitas LGBT, apakah itu bisa otomatis dianggap pro LGBT karena tidak secara aktif menentang? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan untuk memastikan bahwa batasan dan definisi kebijakan pro LGBT dapat diukur. Tanpa batasan yang jelas, data bisa mudah dimanipulasi. Masih bagus kalau ada yang cukup kritis untuk menanyakan dasar analisisnya, tapi kalau kemudian klaim di atas diterima mentah-mentah oleh masyarakat pembaca (karena yang menulis dianggap tahu apa yang dibicarakan), pertanggungjawaban ilmiahnya bagaimana?

    Tapi tidak cukup sampai di sana, Fithra memberikan klaim lainnya yang tak kalah bombastis:

    "Sementara itu, pengaruh yang lebih besar didapat dari faktor pemuka agama, yaitu setiap 1 persen kenaikan kecenderungan pemuka agama yang pro terhadap LGBT maka pertumbuhan ekonomi akan turun sebesar 0.12 persen dengan tingkat signifikansi yang lebih besar dari dua faktor yang disebut sebelumnya. Temuan ini tentunya menyiratkan bahwa pemuka agama adalah gerbang terakhir penjagaan sebuah negara terhadap LGBT. Jika para pemuka agama kontra terhadap LGBT, sebagian besar masyarakat akan taat dan kecenderungan masyarakat yang berketurunan akan semakin banyak. Hal ini tentu pada gilirannya akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sebaliknya, semakin banyak pemuka agama yang pro LGBT, atau bahkan menjadi pelaku LGBT itu sendiri (kalau ini yang terjadi niscaya jamaah di masjid bakal kocar-kacir), maka potensi 'hilang generasi' akan semakin besar."

    Saya kesulitan mengungkapkan dengan tepat perasaan saya selain bahwa saya merinding ketika membaca klaim di atas, entah bagaimana caranya telah tercipta suatu kausalitas yang kompleks dan pasti bahwa pemuka agama (saya bahkan tidak akan menanyakan lagi apa yang dimaksud dengan definisi pemuka agama, melelahkan mengulang-ulang kritik yang sama) adalah gerbang terakhir penjagaan negara terhadap LGBT, bahwa kalau mereka kontra LGBT maka masyarakat akan taat dan oleh karenanya kecenderungan berketurunan juga bertambah. Semua ini disimpulkan dengan dasar klaim bahwa kalau pemuka agama cenderung pro-LGBT maka pertumbuhan ekonomi akan menurun.

    Oke lah, pertama-tama ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Ingat bahwa negara-negara yang dijadikan contoh utama oleh Fithra adalah negara-negara Uni Eropa. Stagnasi pertumbuhan ekonomi adalah salah satu ciri negara maju yang digadang sebagai akibat dari diminishing marginal rate of return. Ini pun baru satu kemungkinan penjelasan dari sekian ribu penjelasan. Faktor pertumbuhan penduduk pun juga hanyalah salah satunya.

    Kita perlu bicara terus terang, kecuali Fithra bisa menunjukkan secara gamblang proses perhitungannya, saya khawatir semua klaim di atas lebih layak untuk masuk ke daftar koleksi Spurious Correlation yang bisa diakses sebagian di sini. Sebagai contoh, tahukah anda bahwa tingkat pemberian gelar doktor di bidang teknik sipil berkorelasi 95% dengan konsumsi keju mozzarella per kapita? Mungkin ini dikarenakan lulusan doktor teknik sipil perlu banyak makan keju supaya bisa berpikir lebih jernih (kalau ini benar, lulusan doktor teknik sipil terbaik seharusnya berasal dari Italia). Atau tahukah anda bahwa tingkat pendapatan toko dingdong (ketahuan kalau saya generasi 90-an) berkorelasi 98% dengan jumlah pemberian gelar doktor ilmu komputer? Kalau tidak ada doktor ilmu komputer, siapa yang akan membuat mesin dingdong?   

    Yang lebih lucu lagi adalah klaim bahwa pemuka agama adalah gerbang terakhir anti LGBT dan bahwa sebagian besar masyarakat akan taat dan oleh karenanya akan cenderung untuk berketurunan. Tahu dari mana bahwa pemuka agama adalah gerbang terakhir dan sebagian besar masyarakat taat pada pemuka agama? Datanya dari mana? Banyak contoh bertebaran, apakah bisa dibuktikan ada kausalitas antara kerajinan orang shalat dan bayar zakat dengan jumlah ceramah agama yang dia dengar atau jumlah ustaz di masjid? Ini bisa jadi bahan penelitian yang menarik.

    Contoh yang lebih gamblang, soal bunga bank yang dikategorikan sebagai riba. Saya tidak akan membahas di sini tentang soal apakah bunga bank layak dikategorikan sebagai riba atau riba harus diharamkan tanpa kecuali (untuk membahas ini butuh satu disertasi dan masih dalam proses). Kita anggap saja bahwa pendapat mayoritas ulama di Indonesia (termasuk fatwa MUI) mengenai keharaman riba adalah final. Dalam hadis Bukhari, riba termasuk satu dari 7 dosa besar yang sama dengan dosa syirik, murtad dan membunuh orang tanpa hak. Di hadis lainnya, dosa riba disamakan dengan 36x dosa zina atau setara dengan dosa hubungan incest dengan ibu kandung. Faktanya, aset bank syariah tak seberapa dibandingkan dengan aset bank konvensional di Indonesia (dengan kata lain, jumlahnya kecil). Demo terhadap tempat lokalisasi dan perjudian gampang untuk dicari, tetapi demo menentang bank konvensional dan pengusiran bank konvensional dari wilayah Indonesia? Sama susahnya seperti mencari tuyul atau Nyi Roro Kidul. Jadi apakah kita masih bisa dengan gampang mengklaim bahwa apa yang disampaikan pemuka agama akan mayoritas diikuti oleh masyarakat kebanyakan? Jawabannya tergantung, tergantung dengan kepentingan masing-masing anggota masyarakat. Mereka juga bukan orang bodoh dan bisa melakukan CBA mereka sendiri.

    Begitu pula dengan klaim bahwa karena masyarakat akan mendengarkan pemuka agama, maka kecenderungan berketurunan akan jadi semakin tinggi. Selain saya cukup yakin bahwa klaim ini belum ada data validnya, memangnya selama ini orang memiliki keturunan semata-mata karena perintah agama? Atau jangan-jangan itu semua karena desakan orang tua yang ingin menimang cucu ditambah budaya yang cukup lazim di Asia bahwa anak pada akhirnya akan mengurus orang tuanya sehingga anak secara tak langsung dianggap sebagai investasi asuransi masa depan? Saya tidak mengklaim ini satu-satunya penjelasan. Saya hanya hendak menyampaikan bahwa ada terlalu banyak penjelasan soal alasan mengapa orang mau berketurunan!

    Jangan lupa juga klaim Fithra bahwa jumlah pertumbuhan penduduk akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Apakah memang jumlah pertumbuhan penduduk akan selalu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan? Negara seharusnya kan bukan skema Ponzi yang hanya bisa hidup dengan mengandalkan pertambahan jumlah peserta. Satu isu yang tidak dibahas dengan gamblang oleh Fithra adalah sebenarnya dia sedang mengkhawatirkan Eropa, Cina atau Indonesia? Apakah Indonesia sedang mengalami krisis pertumbuhan penduduk? Apakah Indonesia akan mendapatkan lebih banyak manfaat dari kontrol jumlah penduduk atau malah sebaliknya? Apakah Indonesia akan mengalami krisis penurunan jumlah penduduk dalam waktu dekat atau kita malah akan memiliki terlalu banyak tenaga kerja yang tak produktif?  

    Secara implisit, Fithra sendiri mengklaim bahwa kebijakan pro-LGBT akan menjadi mekanisme kontrol kependudukan yang berlebihan sebagaimana ia katakan di sini: "Memang ada beberapa artikel ilmiah yang menunjukkan bahwa LGBT dapat mendorong population control yang kemudian dianggap penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun alih-alih memajukan sebuah bangsa, kontrol yang berlebihan seperti ini justru akan menghancurkan potensi masa depan negara tersebut." Tetapi tentu saja untuk bisa memberikan klaim seperti ini, Fithra harus bisa menunjukkan bahwa keberadaan LGBT dengan sangat efektif dan secara berlebihan telah mengontrol jumlah penduduk di Indonesia (sehingga perlu dikurangi atau dibasmi). Kalau benar, mungkin praktisi dan peneliti efek kebijakan KB dan demografi di Indonesia perlu belajar dari kaum LGBT karena nampaknya kebijakan KB yang diusung mereka selama ini masih belum cukup efektif untuk meredam laju pertumbuhan penduduk Indonesia (tentunya saya bercanda, saya bisa dikutuk oleh almarhum Prof. Widjojo Nitisastro, sang maestro demografi dan begawan ekonomi Indonesia, kalau saya menawarkan kebijakan asal-asalan seperti itu).    

    Di bagian penutup artikelnya, Fithra menyampaikan sebagai berikut: "Jika ustadz dan pendeta tidak dapat meyakinkan para pemangku kebijakan, mudah-mudahan tulisan ini dapat menuntun mereka untuk dapat berpikir lebih jernih dan rasional, bukan sekedar pakai ilmu kira-kira." Misteri terbesar dari artikel Fithra adalah saya tidak tahu kebijakan apa yang hendak dia usung. Yang lebih misterius lagi adalah dengan rekomendasinya untuk berpikir jernih dan rasional bukan sekedar pakai ilmu kira-kira, mengapa saya mendapati bahwa artikelnya tersebut memuat terlalu banyak perkiraan yang jatuh dalam ranah ilmu kira-kira? Mungkin perkiraan saya salah, mungkin semuanya memang cuma kira-kira belaka. Kira-kira menurut anda bagaimana?

    Secara Fithra tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebijakan pro-LGBT, saya juga sulit memprediksikan kebijakan anti atau kontra LGBT yang hendak digadang Fithra supaya pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap sehat dan tidak mengalami masalah seperti di Eropa dan Cina (terlepas adanya perbedaan signifikan dalam tingkat kemajuan teknologi, institusi dan pertumbuhan ekonomi, karena itu semua nampaknya tidak penting untuk dipikirkan). Tentunya perlu diingat bahwa kaum LGBT juga manusia yang dapat menjadi faktor produksi. Mengingat sejauh ini belum ada temuan yang menunjukkan bahwa kaum LGBT bekerja dengan kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan kaum heteroseksual dan Fithra nampak sangat mementingkan pertumbuhan ekonomi, saya berasumsi bahwa usulan kebijakannya tidak akan melibatkan diskriminasi di lapangan pekerjaan maupun genosida.

    Apa mungkin kebijakannya hendak dibuat dalam bentuk terapi normalisasi? Eugenics? Diskriminasi dalam segala aspek lainnya yang tidak terkait dengan pertumbuhan ekonomi? Mungkin larangan memegang jabatan politik atau menjadi figur publik, dan sebagainya? Tak tahu lah saya apa yang mau diusung supaya kebijakannya bisa dianggap sebagai kebijakan kontra LGBT. Saya cuma berharap Fithra akan membaca lagi artikelnya sendiri tentang Ekonomi Diskriminasi yang baru ditulisnya bulan Oktober tahun lalu supaya nanti proposal kebijakannya tidak bertentangan dengan ide indah yang ia tulis di artikel itu.

    Saya juga tertarik untuk tahu lebih jauh dari Fithra kalau seandainya semua alasan efek LGBT terhadap pertumbuhan ekonomi ini hanya angan-angan belaka, maka bahaya laten apa yang sebenarnya akan kita hadapi dari keberadaan LGBT dan mengapa kita butuh kebijakan kontra LGBT? Sekali lagi saya ingatkan, kita sedang bicara kebijakan publik, bukan isu moral benar atau salah seperti yang diklaim sendiri oleh Fithra. Ada banyak isu moral lain selain LGBT yang bisa jadi punya efek juga ke pertumbuhan ekonomi, kenapa harus ribut sekali soal LGBT ini sampai-sampai mengada-adakan masalah yang kemungkinan besar tidak ada? Atau karena sementara ini LGBT memang sedang jadi trending topic saja sampai nanti diganti dengan isu yang lain? Pantas pertumbuhan ekonomi kita sedang kurang bagus, mungkin bukan karena ekonomi global sedang memburuk atau kebijakan investasinya plin plan, tetapi karena trending topic-nya tidak fokus! Sedikit-sedikit berganti bergantung minat masyarakat sedang kemana.

    Sebagai penutup, saya mencoba membayangkan seandainya artikel LGBT di atas dibawa untuk dibahas dalam workshop di University of Chicago Law School atau Departemen Ekonomi UChicago (tentu saja ini hipotetis belaka, kemungkinan artikel seperti itu dibahas di workshop tersebut adalah nol besar), entah seperti apa ladang pembantaiannya. Saya sudah sering menyaksikan profesor-profesor kelas wahid yang dibantai di workshop-workshop tersebut, padahal klaim mereka tak terlalu bombastis dan datanya segudang, tetapi tetap saja celahnya ada dimana-mana, mulai dari teknik pengumpulan data, kualitas sampel, bias dari sampel, sampai filosofi dari idenya itu sendiri. Apalagi kalau makalah/artikelnya hanya didasarkan pada klaim pribadi penulisnya bahwa penelitiannya bersifat empiris dan datanya valid. Klaim seperti ini sama nilainya dengan klaim bahwa sebetulnya saya adalah Batman.

    Saya juga masih sulit untuk percaya bahwa artikel LGBT di atas ditulis oleh Fithra, khususnya menimbang reputasi dan artikel-artikelnya selama ini yang menurut saya selalu berkualitas. Bagaimana mungkin artikel ini ditulis oleh orang yang sama yang menulis artikel tentang bahaya diskriminasi dan strategi pembangunan Indonesia? Oleh karena itu, setelah menimbang berbagai potensi skenario, dan dengan mengandalkan prinsip Occam's Razor, saya berkesimpulan bahwa penjelasan yang paling masuk akal mengapa artikel itu muncul adalah karena Fithra Faisal kemungkinan besar telah diculik dan seseorang saat ini sedang mencatut namanya untuk menulis artikel tersebut. Where's Liam Neeson when we need him the most? Bring the real Fithra back! 

  • Gojek, Ojek Pangkalan dan Kapitalisme


    Selama sumber daya terbatas, manusia harus memilih, dan itu berarti menemukan kebijakan yang memuaskan semua pihak belum tentu akan selalu tercapai. Ambil contoh kisah Gojek versus Ojek Pangkalan. Saya sudah membaca beragam artikel terkait hal ini mulai dari yang membela Gojek, mempertanyakan nasib supir ojek pangkalan yang katanya mulai tersingkir akibat "kapitalisme" ala Gojek, sampai potensi efek samping dari keberadaan Gojek, GrabBike dan variannya terhadap keberlanjutan transportasi publik. Tulisan ini tidak akan membahas kepentingan kelompok mana yang harus didahulukan. Saya jauh lebih tertarik untuk membahas insentif dari masing-masing grup dan dinamika yang mungkin terjadi.

    Seperti biasa, saya beranjak dari asumsi ilmu ekonomi mengenai perilaku manusia rasional yang senantiasa mengutamakan kepentingan pribadinya terlebih dahulu. Saya cukup yakin bahwa semua supir Gojek dan ojek pangkalan sama-sama suka dengan profit (tentu tak ada yang melarang anda untuk berimajinasi kalau kebanyakan dari mereka bekerja jadi supir ojek sekedar demi memenuhi hobi bertualang di rimba jalanan Jakarta atau memenuhi idealisme mereka menolong rakyat Jakarta yang seringkali kesusahan menemukan sarana transportasi). Permasalahannya, kedua grup usaha ini memiliki model bisnis yang berbeda. Gojek bertindak sebagai broker dengan menggunakan jaringan teknologi untuk memudahkan hubungan antara supir ojek dan konsumen sehingga lokasi keberadaan ojek menjadi lebih fleksibel dan waktu tunggu bagi konsumen menurun. Harganya juga sangat murah walaupun setahu saya masih disubsidi untuk perkenalan. Bisa jadi minat konsumen akan berubah apabila harga Gojek sudah mencerminkan harga aslinya.

    Sementara itu, Ojek pangkalan jelas sangat mengandalkan penumpang dari lokasi tempat mereka mangkal. Secara probabilistik, kemungkinan mendapatkan pelanggan akan sangat bergantung pada lokasi pangkalan yang bersangkutan. Bisa jadi ada pangkalan yang selalu penuh pelanggan dan ada pangkalan yang sepi pelanggan. Ini berbeda dengan Gojek yang pelanggannya seharusnya terdistribusi secara lebih merata. Kalau pelanggannya banyak, harga ojek pangkalan yang bersangkutan bisa jadi ditekan lebih murah. Kalau lebih sedikit, harga bisa jadi dinaikkan.

    Tapi ada cara yang lebih mudah untuk memastikan keuntungan yang lebih besar. Para supir tersebut bisa berkumpul bersama dan menggunakan sistem antrian (atau sistem sopan santun, kulo nuwun, atau apa pun lah itu). Dengan sistem seperti ini, pangkalan memiliki kuasa yang lebih besar untuk menentukan harga yang mereka inginkan karena persaingan antar supir dieliminasi. Konsekuensi lebih lanjutnya, para supir tidak perlu terlalu sering menarik asalkan mereka bisa mendapatkan pelanggan yang mau membayar lebih mahal. Mereka kemudian bisa menggunakan waktu yang tersisa untuk berdiskusi membicarakan nasib negara ini sambil minum kopi dan main catur. Sayangnya model bisnis ini perlu memastikan bahwa tidak ada saingan yang berdekatan. Karena kalau ada saingan yang mau memberikan harga yang lebih murah, pelanggan tentunya juga akan malas menggunakan ojek pangkalan dan sistem antrian mereka juga akan kehilangan daya tarik bagi para pesertanya.

    Dalam konteks ini, apa bedanya bisnis ojek pangkalan dengan kartel monopolistik yang saling membagi-bagi wilayah kekuasaan? Skalanya mungkin akan lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan besar atau organisasi besar semacam OPEC, tetapi intinya sama. Kalau anda tak suka menggunakan istilah kartel karena kesannya kapitalis sekali, boleh saja kita gambarkan kartel ini sebagai konstruksi sosial tentang relasi wilayah, kuasa dan budaya atau sistem gotong royong supaya kelihatan lebih merakyat. Ketika saya melihat ada foto spanduk ojek pangkalan yang menolak kehadiran Gojek atau GrabBike di suatu apartemen, yang pertama kali terbayang di pikiran saya bukanlah kaum bodoh termarjinalkan yang sedang berusaha mengais sedikit rezeki melainkan pebisnis pintar yang paham konsep monopoli tanpa harus capek-capek mengenyam pendidikan tinggi di bidang ekonomi. Siapa yang tak senang jadi pelaku monopoli? Harga bisa dipatok lebih tinggi, kualitas layanan bisa diturunkan, kapasitas produksi juga tak perlu produktif-produktif amat. Yang penting profit minimum yang diinginkan sudah tercapai.

    Apakah kemudian pelaku ojek pangkalan tak rasional ketika menolak uluran kerja sama dari Gojek? Belum tentu. Isu alokasi waktu antara kerja dan bersantai-santai sudah lama dibahas dalam ilmu ekonomi. Saya beberapa kali membaca kisah tentang tingginya pendapatan supir Gojek. Tetapi dalam kisah itu selalu ada catatan: supir yang bersangkutan rajin kerja seharian. Ini bisa jadi eksperimen yang menarik. Mengingat ada beberapa supir pangkalan yang kemudian pindah ke sistem Gojek, dapat ditanyakan kepada mereka, apa alasan utamanya? Ingat, bersantai-santai tak selalu irasional. Ada kenikmatan tersendiri dalam bersantai-santai sebagaimana ada kenikmatan dalam menghasilkan uang yang lebih banyak. Yang paling enak tentunya adalah banyak santainya sekaligus banyak uangnya. Maka bayangkan kalau anda memiliki bisnis demikian dan kemudian muncul orang yang mengganggu. Apabila analisis ini benar, maka uluran tangan dari Gojek kemungkinan besar tak akan efektif selama jumlah supir ojek (atau minimal pemimpin-pemimpinnya) yang menikmati model bisnis lamanya lebih banyak dari model bisnis ala Gojek.

    Lalu apakah potensi konflik ini akan terus membesar? Ini belum bisa diprediksi. Seperti saya sampaikan di atas, harga Gojek nampaknya belum merepresentasikan harga aslinya sehingga masih ada ruang perubahan permintaan dari para konsumen. Kita juga belum mengetahui data pasti minat kebanyakan supir ojek, model bisnis apa yang mereka lebih sukai? Bagi yang suka model lama, berapa "harga" yang mereka tetapkan sebelum mereka bersedia untuk menggunakan model baru? Apakah kemudian ojek pangkalan juga masih akan mempertahankan suasana konflik tersebut? Kekuatan monopolistik per pangkalan mereka yang kini sedang diuji dan ini akan sangat bergantung dengan relasi mereka dengan konsumen.

    Naif kalau kita berasumsi bahwa konsumen akan luar biasa peduli dengan nasib para supir dari masing-masing kubu. Kisah perjuangan tiap supir memang indah kalau dituangkan dalam artikel berita atau buku. Siapa tahu bisa jadi the next best seller dalam kategori buku self-help. Namun demikian, isu utama bagi kebanyakan konsumen adalah soal harga dan kemudahan akses transportasi. Ojek pangkalan bisa jadi akan mengupayakan supaya persaingan bisa dihindari, misalnya dengan jalan intimidasi dan kekerasan, tapi tentunya menjalankan praktek demikian butuh biaya. Harus ada yang sibuk berjaga-jaga. Kekerasan bisa masuk ranah pidana dengan sanksi penjara. Kemudian harus dihitung sejauh mana area mereka harus dijaga karena bisa jadi konsumen memilih untuk berjalan lebih jauh guna menemui supir Gojek mereka. Mau tak mau, ini juga akan berpengaruh ke harga ojek pangkalan. Mereka harus memastikan bahwa harga mereka setidaknya merefleksikan harga Gojek ditambah ongkos konsumen untuk berjalan sedikit lebih jauh.  Belum lagi ongkos yang timbul apabila aksi mereka tidak simpatik bagi konsumen dan semakin mengurangi minat konsumen. Seperti kata Gary Becker, semua aksi irasional (kalau kita masih bersikeras menganggap para supir ojek pangkalan sebagai manusia irasional) pada akhirnya akan tunduk pada kekuatan paling absolut di dunia ini, kelangkaan.

    Bagaimana dengan Gojek? Terlalu cepat untuk mengklaim bahwa Gojek telah menjadi pelaku monopoli yang mendominasi seluruh pasar ojek. Kalau memang ini bisnis yang menarik, pemain baru juga akan tertarik untuk menangkap pasar yang masih tersedia dan ini akan mempengaruhi kekuasaan Gojek (yang saat ini saja sudah disaingi oleh GrabBike). Apalagi kalau minat yang tinggi terhadap Gojek saat ini dikarenakan Gojek masih menggunakan harga promo. Kalau harga asli Gojek ternyata jauh lebih tinggi dan pelayanannya tak cukup untuk menarik minat konsumen untuk berpaling dari ojek pangkalan, maka kekhawatiran bahwa ojek pangkalan akan musnah juga terlalu prematur. Memangnya dipikir membuat bisnis sukses itu gampang? Bisnis ada dan jatuh bangun, apalagi bisnis yang mengandalkan jaringan teknologi. Siapa yang dulu percaya Google akan menghabisi Yahoo atau Microsoft menghabisi IBM. Kita butuh data akurat untuk mengetahui apakah Gojek saat ini memang benar-benar berkuasa secara ekonomi atau semua ini cuma ilusi di sosial media.   

    Yang pasti, saya belum melihat adanya kebutuhan mendesak akan intervensi dari pemerintah. Pasar ojek sedang mencari titik ekuilibrium baru dan sebaiknya dibiarkan saja dulu untuk sementara ini. Yang lebih penting untuk disadari, setelah kita kupas bungkusnya, baik Gojek maupun ojek pangkalan adalah grup kepentingan (interest group) yang saling bersaing dalam sistem ekonomi yang kapitalistik. Kita sudah lihat bagaimana kepentingan ini bermain dalam bisnis taksi versus Uber yang sebenarnya sama persis model bisnisnya dengan ojek pangkalan versus Gojek. Jangan terpana dengan kisah pertentangan antar kelas. Ujung-ujungnya tak pernah jauh dari profit dan kompetisi untuk mendapatkan profit lebih banyak dengan cara yang lebih mudah. Jangan lupa juga bahwa masih ada kubu konsumen yang kepentingannya pun berbeda dengan kepentingan para produsen ini. 

    Penyakit yang sering saya lihat di sini adalah availability heuristic. Ketika suatu isu sedang trendi dibahas, maka seakan-akan isu ini menjadi penting dan kritis. Tak heran bangsa ini sedikit-sedikit mengalami "darurat" ini dan itu. Asal masuk berita, dan kemudian disebarkan di beberapa situs berita lainnya, tiba-tiba suatu isu yang bisa jadi sudah lama ada dan tak tersentuh menjadi isu krusial yang dapat mengguncang keutuhan bangsa dan negara (padahal sebelumnya tak ada yang peduli karena memang tidak krusial). Namun karena naiknya juga sekejab, tak lama kemudian isu itu pun sudah ditelan dengan isu lainnya.

    Untuk kepentingan media, sah-sah saja. Namanya juga bisnis yang mengandalkan minat pembaca. Kalau tak bombastis, mau dapat uang dari mana? Tapi pemerintah? Masa kita biarkan pemerintah tak fokus dan bingung sendiri dengan kebijakan yang hendak disusun karena sibuk mengandalkan riak informasi dari masyarakat yang suka meributkan apa pun yang bisa diributkan? Secara normatif, tentu ini harus dihentikan, tak semua isu cukup penting untuk ditangani oleh pemerintah. Sebagaimana tak bosan-bosannya saya sampaikan, pemerintah perlu melakukan analisis untung rugi (CBA) secara hati-hati. Masih banyak isu lain yang lebih penting daripada persaingan antar tukang ojek. Yang berbahaya adalah ketika pemerintahnya sendiri menyadari minat masyarakatnya terkunci pada hal-hal yang bombastis saja. Kalau demikian, yang kita dapatkan adalah lingkaran setan, masyarakatnya gemar meributkan hal yang tidak perlu, pemerintahnya sibuk pencitraan karena pencitraan lebih gampang daripada kerja dengan serius.

  • Tafsir Realistis atas Hari Kebangkitan Nasional


    Sehari yang lalu, saya membaca 2 artikel yang bertemakan Hari Kebangkitan Nasional. Artikel pertama berbicara soal banalitas (kedangkalan) masyarakat Indonesia, dan yang kedua soal pentingnya mencari "jalan", bukan uang. Walau ditulis oleh 2 orang yang berbeda, nuansa isinya sama, intinya: bangsa kita kehilangan jati diri, suka dengan hal yang remeh temeh, dan berpikir jangka pendek atau bahkan malas berpikir sama sekali, dan oleh karenanya, dibutuhkan revolusi mental dan revolusi-revolusi lainnya yang tanggap dan membahana. Saya setuju dengan premis awalnya, namun saya kecewa dengan tawaran solusinya yang menurut saya tak realistis dan cenderung elitis.

    Artikel soal banalitas dibuka dengan kisah para mahasiswa pemikir yang mengaku kesepian karena tak punya lawan bicara, bacaannya terlalu "berat" dan akhirnya mereka terpinggirkan dari pergaulan karena rekan-rekannya banal. Ini menimbulkan satu pertanyaan fundamental: kalau para mahasiswa tersebut benar-benar cerdas dan luas bahan bacaannya, bagaimana mungkin dia hanya sanggup berbicara dalam bidangnya yang itu-itu saja? Lebih naif lagi kalau dia berharap bahwa orang lain akan menghargai bahan bacaannya yang kesannya sangat intelek tersebut. Siapa juga yang akan peduli? Kesan yang saya tangkap, orang-orang ini sakleg, tidak pragmatis, elitis, dan lebih parah lagi, belum punya kemampuan untuk berdikari.Tak heran kalau akhirnya mereka justru tersingkir.

    Saya pribadi menikmati melahap buku-buku soal hukum, agama, ekonomi, filsafat, politik dan ilmu sosial lainnya, tapi hal tersebut tidak membuat saya lupa untuk menyempatkan diri melahap ribuan komik-komik dari mulai karya Tatang S. sampai Eichiro Oda dan Kentaro Miura. Sampai saat ini pun saya masih berlangganan majalah mingguan Donal Bebek (tradisi yang sudah saya jalani selama kurang lebih 25 tahun). Saya bisa menikmati menonton kuliah online dari Gary Becker dan akademisi-akademisi terkemuka lainnya, tapi di sisi lain, saya juga konsisten melakukan riset serius untuk menemukan video-video lucu di Youtube (Jagung Rebus mungkin layak menjadi juara dalam hal ini). Dan sebagaimana saya bisa menghabiskan waktu untuk membaca beragam artikel jurnal ilmiah di HeinOnline dan JSTOR, tidak ada alasan kuat untuk kemudian mengesampingkan kesempatan membaca postingan absurd di 9gag yang sangat menghibur. Fakta bahwa kita bisa mendalami hal-hal intelek tidak harus membuat kita jadi manusia yang sok intelek (yang saya khawatir malah sebenarnya tidak intelek-intelek amat). Yang pasti, saya belum pernah kehabisan bahan pembicaraan dengan rekan-rekan saya sampai-sampai saya harus teralienasi dari manusia lainnya, terlepas kita mau bicara serius, atau hal-hal yang katanya "remeh-temeh".

    Isu sok intelek ini membuat saya teringat kisah lucu dari adik saya soal kesalnya ia dengan seorang mahasiswa lulusan fakultas sastra (ini cuma anekdot, bukan data statistik yang merepresentasikan mahasiswa fakultas sastra) yang telat untuk menghadiri pertemuan sampai 2-3 jam. Ketika ditanya mengapa terlambat sedemikian rupa, dengan santainya ia beralasan: "memangnya konsep waktu itu apa?" Jawaban yang sangat "intelek", dan layak disambut dengan geledek ke mukanya. Adik saya hanya geleng-geleng kepala, tetapi kalau pemuda ini anak buah saya, saya tak akan sungkan menjejalkan buku Martin Heidegger, Being & Time, yang tebal itu ke mulutnya karena banyak lagak dan bertanya apakah buku di mulutnya itu benar-benar ada atau hanya rekaan konseptual semata.

    Lagipula, apa kriteria yang tepat dalam menentukan bacaan yang intelek dan berkualitas dan yang harus diprioritaskan waktunya diantara beragam bahan bacaan lain? Mungkin ada yang beranggapan novel-novel karya sastra adalah karya agung yang luar biasa dan layak dibaca semua umat manusia. Saya berbagi nama yang sama dengan Pramudya Ananta Toer, tapi saya sama sekali tak suka membaca novel (termasuk novel Pramudya), 5 halaman pertama sudah cukup untuk membuat saya tertidur. Jauh lebih menarik membaca Economic Analysis of Law-nya Richard Posner atau Bidayatul Mujtahid-nya Ibn Rushd, atau Long Hu Men-nya Tony Wong.

    Bagi mereka yang beranggapan bahwa buku filsafat perlu dibaca semua orang, saya sendiri malah berpendapat kebanyakan buku filsafat hanya membuang-buang waktu karena tak terpakai dalam praktek dan kebanyakan bidangnya sudah diambil alih oleh sains (disebut juga pendekatan naturalisme). Lalu, jenis bacaan mana yang lebih layak diutamakan? Sejujurnya saya tak tahu pastinya karena melibatkan bahan bacaan multi disiplin (jauh lebih mudah bicara penilaian buku-buku dalam satu disiplin ilmu), dan saya tak yakin bisa menjawab itu semua hanya dalam satu artikel blog. Minat dan fungsi masing-masing bacaan akan berperan penting. Kita akan bahas isu ini di lain kesempatan. 

    Ketika saya belajar ekonomi dan soal rasionalitas manusia, pencerahan pertama yang saya dapat dan masih saya jaga sampai sekarang adalah bahwa manusia memiliki prioritas yang berbeda-beda dalam memaksimalkan manfaat bagi dirinya. Kalau kita mau mengubah atau mengarahkan mereka untuk tujuan tertentu, hal pertama yang harus dipahami adalah apa insentif mereka? Insentif yang tepat sayangnya tidak bisa dideduksi dari prinsip-prinsip normatif yang mengawang-awang, melainkan harus diteliti secara empiris. Sebagai contoh, saya percaya bahwa prinsip normatif yang paling penting di dunia adalah memaksimalkan kesejahteraan manusia dengan cara yang paling efisien dan optimal, tapi saya tahu tak semua orang sepakat, dan bahkan masih ada yang berpikir bahwa pendekatan ekonomi adalah produk Barat dan harus dilawan di Indonesia. Tentu saja itu ide yang konyol, tapi orang tidak akan berubah hanya karena saya menyatakan bahwa ide mereka konyol, saya harus menunjukkan dengan rinci mengapa pemikiran mereka konyol, itu pun belum tentu juga mereka akan sepakat, banyak orang keras kepala di dunia ini (penelitian empiris terbaru soal bagaimana cara mempengaruhi opini orang lain secara mudah dengan pendekatan personal ternyata didasarkan pada data fiktif). Salah satu alasan mengapa saya sering menulis soal pendekatan ekonomi dalam hukum dan kebijakan publik adalah karena saya ingin menguji ide saya tersebut, saya ingin tahu mengapa orang tidak setuju dan apa jenis argumen yang tepat untuk meyakinkan mereka. Lihat misalnya 2 debat terakhir saya tentang ilmu ekonomi di sini dan di sini.

    Contoh lainnya, saya menganggap bahwa buku self-help adalah musuh umat manusia, tetapi mengapa begitu banyak orang yang suka? Kalau kita tidak paham mengapa buku-buku ini diminati, bagaimana kita bisa kemudian mengarahkan orang-orang untuk tidak lagi atau setidaknya mengurangi konsumsi buku-buku tersebut? Sekedar menyatakan bahwa buku filsafat adalah buku intelek yang lebih layak dibaca menurut saya tidak akan banyak membantu, apalagi kalau orang tidak dididik untuk tahu fungsi dan manfaat dari belajar hal tersebut. Pernah dipikirkan bahwa buku-buku njelimet itu mungkin tak laku karena orang-orang tak mengerti apa yang ditulis oleh para penulis buku tersebut? Tak ada gunanya memunculkan konsep yang keren kalau tak ada yang paham. Ibarat pertanyaan filosofis, apabila sebatang pohon tumbang di hutan dan tidak ada yang mendengarnya, apakah tumbangnya pohon tersebut masih berbunyi? Duaarrr!!!  

    Kenyataannya, munculnya buku-buku sains atau ekonomi populer tak bisa dilepaskan dari adanya minat dan permintaan dari orang awam. Para penulisnya paham bahwa kalau mereka ingin menjangkau lebih banyak pembaca, mau tak mau harus mengikuti selera pasar sampai derajat tertentu. Saya ambil contoh buku-buku filsafat bahasa karya Ludwig Wittgenstein yang sangat sulit untuk dibaca. Di Amerika, Saul Kripke dari Princeton University menjadi semacam penerjemah informal dari karya-karya Wittgenstein, menjelaskan ulang buku-bukunya dalam bahasa yang lebih sederhana (itu pun masih tergolong cukup rumit menurut saya). Berharap tiba-tiba semua orang akan mau berinvestasi untuk membaca buku-buku berat tanpa bantuan sama sekali adalah mimpi di siang bolong. Tidak semua orang berminat untuk menjadi akademisi. Tapi kalau akademisinya betul-betul intelek dan peduli, dia akan berupaya untuk memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat awam terhadap kajian ilmu pengetahuan yang luas dan sebenarnya sangat menarik itu.   

    Saya bisa memahami kekhawatiran si penulis artikel banalitas, saya pun merasakan hal yang sama, tapi saya bingung dengan tawaran menyelami budaya sendiri sebagai solusi. Ini butuh penelitian mendalam sebenarnya. Apa yang menyebabkan kita menjadi dangkal? Pengaruh luar atau justru budaya lokal yang kita anggap agung itu? Mengapa misalnya yang trendi dari Jepang dan Korea hanyalah impor Manga dan K-Pop (saya penggemar G-Dragon, ngomong-ngomong)? Mengapa etos kerja dan belajar mereka yang gila-gilaan itu tidak sampai di sini? Mengapa impor dari Arab (atau Islam) yang sukses hanya hal-hal yang remeh temeh semacam masalah pakaian, kemenyan, atau konsep yang terlalu disederhanakan padahal banyak kelemahannya semacam ide khilafah (saya sudah membahas soal kemalasan berinvestasi dalam bidang agama di sini). Mengapa pemikiran pragmatis khas hukum Islam klasik malah dianggap angin lalu, sementara konsep fatalis malah lebih laku?

    Atau soal Barat dan definisi kemajuan peradaban. Memangnya definisi Indonesia yang maju berdasarkan budaya kita yang adiluhung itu seperti apa? Kalau benar kita dijajah dengan budaya Barat, mengapa taraf kesejahteraan kita tak semaju Amerika Serikat atau industri kita seefisien Jerman? Mengapa pengadilan kita tak dipercaya seperti layaknya di negara-negara Eropa Barat dan Amerika? Mengapa birokrasi kita sedemikian lambat dan koruptif? Mengapa kita tidak kritis terhadap ragam pemikiran yang ada di dunia ini? Apanya yang maju di Indonesia? Standar apa yang sedang dipakai saat ini? Kalau misalnya indikator ekonomi tidak disepakati, alternatifnya apa? Tidak lucu apabila kita tidak setuju dengan suatu indikator kuantitatif kemudian menawarkan indikator lainnya yang lebih tak bisa diukur atas nama kearifan lokal yang sangat amat abstrak.

    Ide bahwa kita sedang dijajah secara budaya itu lebih pantas dikategorikan sebagai wujud nyata mental inlander. Mungkin kita sendiri yang sedang mengalami krisis mental dan kebudayaan. Namun karena selalu lebih mudah untuk menyalahkan orang lain, budaya luar yang kemudian jadi sumber masalahnya. Saya misalnya selalu tertawa terbahak-bahak tiap kali mendengar ada orang yang sibuk mengklaim bahwa Amerika sudah hancur karena mengalami krisis moral (tentunya tanpa data apapun). Saya masih bingung dimana krisisnya dan apa dampak buruknya yang nyata bagi Amerika? Taraf hidupnya jauh lebih baik dari Indonesia, kualitas pendidikan tingginya bagaikan surga dan neraka apabila dibandingkan dengan Indonesia (minimal yang saya alami di University of Chicago), dan sistem hukumnya juga dipercaya oleh masyarakatnya. Krisis moral apa jadinya? Atau soal moral ini maksudnya cuma terbatas di selangkangan di Indonesia? Ini kan namanya delusional, merasa diri superior (karena merasa lebih "bermoral") sementara sebenarnya belum ada yang pantas dibanggakan. Isunya, ini pengaruh siapa? Pengaruh budaya luar, atau justru isu internal kita sendiri sebagai bangsa? 

    Saya jadi teringat sebuat artikel konspiratif yang mengklaim bahwa isu pelemahan KPK adalah isu untuk membuka pintu gerbang neoliberalisme ke Indonesia karena nantinya ini akan jadi alasan untuk melakukan privatisasi atas BUMN dan sebagainya. Terlepas dari logika lawakan tersebut, ada isu mendasar yang tersirat dari ide artikel di atas, yaitu bahwa pemerintah pasti baik dan mengurus masyarakat. Kok ya bisa-bisanya orang berpikir bahwa pemerintah itu diisi oleh orang-orang bijak tanpa kepentingan, bahwa seakan-akan privat/swasta pasti buruk sehingga apa-apa harus dijaga oleh pemerintah. Ini konsepsi jaman baheula dan hanya cocok dipegang oleh kaum feodal yang percaya para priyayi dan bangsawan memiliki kearifan yang bersumber dari cahaya Ilahi. Semuanya cuma ilusi. Privat dan pemerintah bisa sama-sama buruk, bisa sama-sama baik. Di level internasional, debat negara versus swasta adalah debat abad ke-20, ketinggalan jaman. Sekarang jamannya kolaborasi sinergis antara lembaga publik dan privat. Institusi dan desain pemerintahan akan berperan penting dalam menentukan kesuksesan negara.

    Ini membawa kita ke salah satu contoh budaya lokal yang menurut saya sangat tak arif, yaitu konsep ratu adil yang pada prinsipnya adalah seorang benevolent dictator, diktator yang baik hati. Konsep ini begitu kuat mengikat di negeri kita dan tercermin sekali dalam pemilihan presiden 2014 kemarin. Seorang diktator memang bisa jadi akan bermanfaat bagi masyarakat, tetapi ia juga punya kesempatan yang sama untuk menciptakan neraka dunia kalau tidak ada yang bisa mencegah dia berlaku semena-mena. Budaya feodalisme tidak bisa melihat hal ini karena berasumsi atau diberikan ilusi bahwa raja adalah absolut. Saya tidak perlu jauh-jauh menelusuri budaya klasik kita sekedar untuk menyatakan bahwa feodalisme adalah konsep yang sangat bermasalah. Jangan berbohong dengan menyatakan bahwa feodalisme bukan bagian dari budaya kita yang sangat berbobot ini. Jadi? Kembali ke budaya sendiri atau perlu seleksi ulang? Kalau seleksi ulang, kriterianya apa? Ini mengapa saya lebih suka menggunakan indikator kuantitatif. Tidak sempurna tentunya, tapi kalau tak ada alternatif lain yang lebih baik, ya jangan ngasal.

    Solusi lainnya yang juga saya pertanyakan adalah ajakan untuk melihat dan merenungi diri sendiri, bekerja bukan karena passion, tapi karena panggilan jiwa dan komitmen. Idenya bagus, tapi eksekusinya kemungkinan besar gagal. Ide ini senada dengan ide dalam artikel kedua: bekerjalah bukan sekedar karena mencari uang, tapi mencari makna, meaning, atau apapun lah itu. Coba tanyakan kepada orang-orang di luar sana, apa iya mereka punya waktu untuk merenungi diri sendiri guna mencari makna kehidupan? Kemungkinan besar tidak. Kalau semua orang melakukan hal tersebut dan kemudian mereka semua sukses besar, niscaya bisnis self-help tidak akan laris manis di berbagai belahan dunia.

    Bagian yang saya paling saya permasalahkan dari artikel kedua adalah narasi bahwa seakan-akan mencari makna dalam pekerjaan senantiasa berkorelasi positif dengan kesuksesan pribadi dan bahwa mencari uang atau hal-hal banal lainnya akan berujung pada kesengsaraan. Ini klaim yang sangat bombastis dan modal datanya adalah, ...wait for it..., pengalaman pribadi! Saya kebetulan termasuk golongan orang yang beruntung mendapatkan pekerjaan yang penuh makna sekaligus menghasilkan uang. Kata kuncinya: "beruntung." Tentu saya juga bekerja keras, tetapi itu tak lepas dari keberuntungan yang sayangnya seringkali berada di luar kendali kita. Masalahnya, siapa yang bisa menjamin kita akan selalu beruntung? Mereka yang bekerja demi uang tidak lantas jadi manusia kelas dua yang akan gagal dalam hidupnya. Tolonglah hindari gejala elitis ini. Sekali lagi, menjadi elit sangat berbeda dengan elitis.

    Penulis artikel kedua berargumen, tak ada yang bisa menjamin bahwa bagi mereka yang bekerja demi uang, nantinya bos mereka atau pekerjaan mereka akan tetap ada. Hal yang sama 100% pun berlaku untuk mereka yang katanya mengutamakan mencari makna. Banyak contoh orang sukses di luar sana, dan kebanyakan dari mereka mengklaim kesuksesan mereka berasal dari pencarian makna kehidupan dan hal-hal indah lainnya. Ya, ya, ya, tentu saja, semua orang suka cerita kesuksesan yang indah. Bagaimana dengan jutaan manusia lainnya yang gagal dan tak pernah menjadi bagian dari sejarah? Tak ada yang tahu karena mereka tak layak jadi bahan pembicaraan. Bisa jadi seorang pengamen memiliki kualitas suara yang setara dengan bintang musik kelas dunia. Sayangnya karena tak ada yang memberikan kesempatan kepada si pengamen dan si pengamen tak punya akses ke dunia perbintangan, akhirnya dia hanya jadi pengamen miskin bersuara indah di jalanan.

    Sekarang saya tanya: apa bedanya mencari makna dalam pekerjaan, mencari jati diri, komitmen, dan sebagainya dengan semua nasihat dalam buku-buku self-help? Tak jauh berbeda, bahkan mungkin intinya sama: percayalah pada diri sendiri, hanya kita yang bisa mengubah nasib sendiri, mencari makna hidup adalah kunci kesuksesan, salam super, salam hangat, salam sukses, salam sejahtera, dll, dsb. Bukannya ini sama banalnya dengan buku self-help? Kenyataannya: kalau anda tak punya modal pendidikan yang bermutu, atau koneksi yang kuat, atau kemampuan/bakat tertentu yang bisa menjual, atau murni keberuntungan (semacam menemukan mentor yang tepat atau waktu yang tepat untuk masuk dunia kerja), kemungkinan besar anda tak akan jadi siapa-siapa, terlepas anda punya sejuta "makna" dan "impian". Anda tak bisa mencari makna tanpa punya kemampuan dan kesempatan. Apa yang mau dicari? Apa yang mau dibangkitkan? Ini dunia nyata, bukan sinetron.

    Lalu soal komitmen. Saya lebih yakin bahwa bekerja karena senang terhadap pekerjaannya akan lebih efektif dibandingkan dengan bekerja karena komitmen yang mendalam. Kesenangan mengindikasikan manfaat bagi pribadi, komitmen mengindikasikan biaya, upaya, kerja keras. Hal yang kita senang lakukan saja belum tentu membuat kita jadi rajin melakukannya, bayangkan beban mental yang diperlukan untuk senantiasa istiqamah menjalani komitmen kita hanya karena kita berkomitmen untuk mencapainya? Kalau berkomitmen itu merupakan hal yang mudah, bisnis kebugaran jasmani sudah lama tutup karena dunia dipenuhi oleh orang-orang sehat dan fit. Saya tidak bilang bekerja atas nama komitmen merupakan hal yang buruk. Hanya saja tidak realistis kalau kita berharap mayoritas penduduk Indonesia akan menjadi manusia paripurna seperti demikian. Apabila komitmen kita anggap sebagai komoditas, maka ini adalah jenis komoditas yang makin lama akan makin mahal. Ketika masih muda, mungkin hasrat masih menggebu-gebu bekerja atas nama komitmen atau idealisme. Tapi seiring bertambahnya usia dan tanggungan, seberapa jauh kita akan sanggup menjaga komitmen itu, khususnya ketika menjalankan komitmen tersebut tidak berkorelasi dengan penghasilan yang memadai? Mengapa tidak lebih pragmatis dan mencari keseimbangan antara memenuhi komitmen dan mencari penghasilan? Tidak perlu muluk-muluk. 

    Solusi yang akan saya sampaikan mungkin klise tapi bagi saya hanya ini solusi yang memungkinkan. Kalau anda mau mengubah masyarakat yang katanya dangkal, perubahannya harus dilakukan dari skala terkecil, dan itu membutuhkan kaum pendidik yang tepat. Harus ada yang memulai kan? Toh semua kebudayaan bermula dari anomali, riak-riak kecil di dalam suatu masyarakat. Mustahil tiba-tiba semua manusia berubah karena sepenggal kisah penuh inspirasi di sebuah blog. Proses perubahan butuh waktu lama. Masalahnya, pendukung semangat kebangkitan dan intelektualitas ini lebih sering tak mau menggunakan inteleknya secara seksama untuk memahami bahwa kaum pendidik itu juga manusia yang butuh insentif yang tepat. Saya sudah bicara panjang lebar tentang hal ini di artikel saya: Mendidik Bukan Sekedar Pengabdian. Ringkasnya, kalau kaum pendidiknya saja diperlakukan semena-mena dan dianggap bagaikan pandita tanpa hasrat, jangan banyak berharap bahwa masyarakat kita akan bangkit. Bisa jadi hal itu tidak akan tercapai sampai matahari terbit dari Barat. Pendekatan insentif berbasis komitmen, kesadaran pribadi yang kuat, atau nilai-nilai normatif abstrak sampai saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan di Indonesia. Mau sampai kapan kita menggunakannya? Katanya jangan bersikap banal, tetapi kok memilih solusi yang dangkal???

    Anda bebas untuk percaya dengan nilai-nilai normatif yang hendak anda perjuangkan, tetapi anda tidak bisa lari dari konsekuensi memperjuangkan ide-ide itu. Kita bisa terus bermimpi suatu hari nanti Indonesia akan dipenuhi generasi pemikir yang tak dangkal, terpelajar dan penuh minat akan ilmu pengetahuan. Tapi kalau kita tak juga mau beranjak melihat insentif mereka (dan para pendidiknya) dan masih terus memaksakan nilai-nilai yang diklaim adiluhung ke semua orang atas nama intelektualitas, kearifan lokal, dsb, silakan lanjutkan saja mimpi indah itu. Maaf, saya tak bisa ikut bermimpi bersama-sama anda karena daripada melakukan proyek raksasa berbiaya dahsyat yang saya tahu akan sama sia-sianya dengan diam menatap dinding selama 4 jam, lebih baik saya meneruskan "riset" penting saya di youtube. Sia-sia juga mungkin pada akhirnya bagi publik, tapi paling tidak biaya yang saya keluarkan cuma biaya koneksi internet, tidak makan hati, dan tentunya saya juga akan jauh lebih terhibur.         

  • Sekali Lagi Soal Praperadilan Terhadap Penetapan Status Tersangka


    Berhubung Putusan Praperadilan terhadap penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka sudah bisa diakses di sini, saya perlu memperbaharui analisis yang saya buat sebelumnya di sini (dimana analisisnya dibuat berdasarkan ringkasan berita). Harus diakui, walaupun saya tidak sepenuhnya setuju dengan isi putusan Hakim Sarpin, ini tetap merupakan putusan yang menarik dan pertimbangannya tidak tampak dibuat asal jadi. Saya akan memfokuskan pembahasan saya pada 5 isu yang sedang ramai dibicarakan.

    Pertama, sejauh mana penafsiran hukum diperbolehkan dalam kasus seperti ini? Kedua, apakah benar penetapan status tersangka tidak menciderai hak seseorang? Ketiga, apakah pemeriksaan terhadap penetapan status tersangka pada prinsipnya sudah memasuki ranah materi perkara sehingga tidak bisa diselesaikan melalui praperadilan? Keempat, apa sebenarnya yang dimaksud dengan penegak hukum dan bagaimana hubungannya dengan kewenangan penyidik untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka? Terakhir, langkah apa yang sebaiknya diambil oleh KPK?

    Sebagaimana sudah diduga sebelumnya, Hakim Sarpin menggunakan Pasal 5 dan 10 UU Kekuasaan Kehakiman tentang kewajiban hakim untuk tidak menolak suatu perkara karena belum ada aturannya serta kewajiban hakim untuk menggali dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat sebagai dasar untuk membuka kemungkinan adanya mekanisme praperadilan terhadap penetapan status tersangka.

    Penggunaan alasan ini sah-sah saja, tetapi perlu elaborasi lebih lanjut. Tidak bisa menolak perkara tidak berarti harus serta merta membuka mekanisme praperadilan terhadap status tersangka yang memang tidak diatur secara eksplisit dalam KUHAP. Hakim tetap bisa menerima perkara tersebut dan kemudian menyatakan bahwa mekanisme Praperadilan tidak bisa digunakan untuk memeriksa keabsahan penetapan tersangka. Selain itu, apa pula yang dimaksud dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat? Pasal tersebut merupakan pasal karet dan bisa digunakan untuk memberikan justifikasi atas banyak hal, baik positif maupun negatif kecuali hakim-hakim di Indonesia sudah siap menggunakan data empiris. 

    Alasan yang lebih tepat untuk membuka pintu penafsiran menurut saya adalah karena KUHAP sendiri tidak tegas melarang penggunaan mekanisme praperadilan terhadap penetapan status tersangka. Apakah pembatasan dalam KUHAP tersebut bersifat mutlak atau tidak? Apakah kalau ada orang yang dirugikan haknya karena dinyatakan sebagai tersangka maka dia tidak memiliki sarana apapun untuk memperjuangkan haknya di muka pengadilan? Tentu akan ada yang berpendapat bahwa pembatasan ruang lingkup kewenangan praperadilan bersifat absolut. Tetapi secara tekstual, ada 2 jawaban rasional yang dimungkinkan dan itu berarti bahwa hakim perlu melihat alasan lainnya untuk mengambil keputusan dan juga perlu membuat isu ini menjadi jelas. Seandainya KUHAP tegas melarang digunakannya praperadilan untuk hal-hal selain yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP, saya bisa dengan mudah menyatakan bahwa Hakim Sarpin gagal total dengan putusannya.

    Saya perhatikan bahwa Hakim Sarpin juga menggunakan ide bahwa karena tidak ada yurisprudensi yang berlaku mengikat dalam sistem hukum Indonesia, maka kalaupun putusannya berbeda atau sama dengan putusan sebelumnya, hal tersebut tidaklah terlalu relevan. Walaupun saya menyayangkan pola pikir seperti ini, tetapi argumen Hakim Sarpin ada benarnya. Daripada meributkan fakta bahwa hakim yang pernah mengabulkan praperadilan untuk penetapan status tersangka di masa lalu pernah terkena sanksi administratif oleh Mahkamah Agung (untuk menunjukkan bahwa putusan tersebut tidak disetujui MA secara implisit), akan lebih baik apabila para pihak saling mencari dalil teoritis yang kuat untuk menunjukkan mengapa praperadilan bisa digunakan untuk memeriksa keabsahan penetapan tersangka atau tidak.    

    Berikutnya isu kedua, benarkah penetapan status tersangka tidak menciderai hak seorang warga negara sebagaimana diargumenkan salah satu saksi ahli KPK? Saya tidak sepakat. Penetapan status tersangka jelas menciderai hak seseorang. Ada stigma terhadap dirinya dan sewaktu-waktu ia bisa dikenakan upaya paksa yang pelaksanaannya sangat subjektif. Ia juga bisa dicekal sehingga tidak dapat bebas berpergian. Dalam beberapa kasus, status tersangka bisa menyebabkan seseorang kehilangan jabatan. Contoh gampangnya adalah Bambang Widjojanto dan Abraham Samad yang kini diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai komisioner KPK. Sekalipun belum ditahan, pemeriksaan sebagai tersangka juga jelas akan memakan waktu si tersangka. Masih ingat kasus Benhan? Dia tidak ditahan, tetapi harus bolak balik luar kota - Jakarta karena memenuhi panggilan pemeriksaan penyidik.

    Tentu saja tidak semua beban terhadap tersangka memberikan legitimasi kepada tersangka untuk meminta pencabutan statusnya sebagai tersangka. Kalau alasan penolakan penetapan tersangka adalah semata-mata karena si tersangka merasa dibebani, tentu semua tersangka akan menggunakan mekanisme praperadilan. Ini mengapa sebenarnya perlu dielaborasi lebih lanjut soal pencideraan hak macam apa yang dapat membuka pintu peradilan bagi penetapan tersangka. Apakah hanya dalam hal penetapan tersangka tersebut sudah berlarut-larut dalam jangka waktu tertentu yang menyebabkan tersangka kehilangan mata pencaharian? Atau dalam hal ada aturan UU yang menyebabkan tersangka tidak bisa mengambil jabatan tertentu? Bisa juga dinyatakan bahwa unsur pencideraan hak semata tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak penetapan tersangka. Artinya, pencideraan hak hanya membuka pintu untuk praperadilan sementara penolakan status tersangka akan bergantung pada aspek-aspek lainnya semisal kelemahan bukti permulaan atau masalah wewenang penyidik untuk menyidik perkara tersebut.

    Ini membawa kita kepada isu ketiga. Apakah pemeriksaan praperadilan soal penetapan status tersangka bisa dianggap merupakan pemeriksaan materi pokok perkara yang sebenarnya menjadi wewenang peradilan? Tidak otomatis demikian. Sebagaimana diatur dalam KUHAP, penetapan tersangka bertumpu pada bukti permulaan yang cukup. Definisi bukti permulaan yang cukup inilah yang kemudian menjadi permasalahan karena tidak didefinisikan secara jelas dalam KUHAP. Walaupun dalam prakteknya, bukti permulaan yang cukup didefinisikan sebagai 1 alat bukti yang berdasarkan KUHAP ditambah laporan polisi. Dasar definisi tersebut bisa dilihat di sini.    

    Definisi tersebut sangat rawan penyalahgunaan. Hanya dengan mengandalkan satu alat bukti dan laporan polisi, seseorang bisa dengan mudah dinyatakan sebagai tersangka! Ini mengapa penggunaan lembaga praperadilan menjadi semakin krusial untuk pemeriksaan bukti permulaan yang cukup. Karena sifatnya permulaan, seharusnya tidak bisa dianggap sebagai pemeriksaan pokok perkara. Penyidik sendiri tidak harus khawatir bahwa karena bukti permulaan tidak cukup kemudian tersangka bisa sepenuhnya bebas dari jerat hukum (seandainya memang benar tersangka itu adalah pelaku kejahatan).

    Dalam hal ini, pernyataan tidak sahnya suatu penangkapan tidak berarti bahwa penyidik tidak bisa lagi menetapkan kembali seorang mantan tersangka sebagai tersangka. Kuncinya adalah menemukan alat bukti yang lebih kuat untuk dianggap sebagai bukti permulaan yang cukup. Bahwa kemudian ada resiko nantinya tersangka akan kabur duluan sudah merupakan bagian dari resiko pekerjaan. Sudah seharusnya penyidik tidak sembarangan menetapkan seseorang menjadi tersangka untuk kemudian membiarkan kasus tersebut terbengkalai sambil menyandera si tersangka terus menerus. Saatnya mengakhiri kekuasaan mutlak penyidik dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka!

    Namun demikian, ada juga kemungkinan dimana penyidik tidak bisa lagi menetapkan si tersangka sebagai tersangka di kemudian hari dalam hal ternyata penyidik tidak berwenang untuk memeriksa si tersangka. Ini isu keempat yang juga terkait dengan pertanyaan soal definisi penegak hukum. Dalam putusan Hakim Sarpin, KPK dianggap tidak berwenang untuk menyidik Budi Gunawan karena jabatan yang dipegang oleh Budi Gunawan terkait tuduhan korupsi yan dilekatkan kepadanya tidak memenuhi definisi pejabat negara maupun penegak hukum, pun kasusnya tidak dianggap meresahkan masyarakat, ataupun menyangkut kerugian negara.

    Masalah kewenangan ini adalah isu yang paling berat bagi KPK karena apabila memang KPK tidak dianggap berwenang menyidik Budi Gunawan, maka KPK sama sekali tidak dapat menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dan putusan Hakim Sarpin juga menyatakan demikian. Hakim Sarpin nampaknya berpendapat bahwa definisi penegak hukum adalah terbatas hanya pada penyidik dan penyelidik saja. Apakah ini definisi yang tepat? UU KPK memang tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan penegak hukum. Ketentuan tentang hal tersebut tersebar di berbagai undang-undang. Dan kalau bicara secara luas, advokat pun termasuk penegak hukum.

    Yang menarik adalah, apakah istilah penegak hukum yang dimaksud dalam UU KPK itu merujuk kepada jabatan yang melekat pada seseorang atau hanya pada fungsi jabatan yang sedang dijalankannya? Apabila kita menyatakan bahwa definisi ini melekat pada jabatan, maka Budi Gunawan otomatis dikategorikan sebagai penegak hukum karena dia menjabat sebagai polisi. Apabila terbatas pada fungsi, bisa jadi Budi Gunawan memang tidak dikategorikan sebagai penegak hukum dalam kapasitasnya selaku Kepala Biro Pembinaan Karier Staf Deputi Sumber Daya Manusia Polri ("Karo Binkar").

    Sayangnya, dalam jawabannya, KPK tidak memberikan bantahan terhadap pengertian penegak hukum yang didalilkan oleh Budi Gunawan. Menurut saya, bahkan seandainya kita menganggap bahwa istilah penegak hukum adalah terbatas pada fungsi, sebenarnya masih tetap terbuka kemungkinan bagi KPK untuk menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Konteksnya, apakah dengan menjadi Karo Binkar, Budi Gunawan kemudian kehilangan status dan wewenangnya sebagai polisi yang notabene merupakan penegak hukum? Karena kalau tidak, perlu dilihat lebih lanjut apakah penerimaan suap yang dituduhkan itu murni terkait dengan jabatannya sebagai Karo Binkar, atau dalam kapasitasnya sebagai penegak hukum.

    Yang pasti, saya menyadari bahwa definisi penegak hukum dalam UU KPK masih membuka ruang interpretasi dan besar kemungkinannya bahwa argumen Hakim Sarpin dapat dibantah. Dengan demikan, terdapat permasalahan hukum yang masih perlu ditegaskan oleh Mahkamah Agung sehingga tidak ada kerancuan lagi di masa depan.

    Terakhir, langkah apa yang perlu diambil oleh KPK? Sebagaimana saya sampaikan di atas, dampak putusan praperadilan adalah bukan berarti Budi Gunawan kebal hukum dan tidak bisa dinyatakan sebagai tersangka lagi di masa depan. Aturan nebis in idem (perkara yang sama tidak boleh diadili 2 kali) tidak berlaku di sini karena kita belum memasuki pokok materi perkara. Seandainya isunya adalah terbatas soal lemahnya bukti permulaan yang cukup, KPK bisa dengan mudah memperbaharui buktinya dan menetapkan kembali Budi Gunawan sebagai tersangka. Namun, putusan Hakim Sarpin juga menyatakan bahwa KPK tidak berwenang menyidik Budi Gunawan.

    Untuk itu, KPK bisa memilih untuk melimpahkan perkara ini kepada kepolisian atau kejaksaan. Apabila dirasa kedua institusi tersebut terlalu bias terhadap Budi Gunawan, langkah lainnya adalah mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung mengingat masih ada isu hukum yang perlu diklarifikasikan kembali. Saya tahu KPK bersikeras ingin mencegah adanya mekanisme praperadilan bagi tersangka, tapi kalau KPK peduli pada hak tersangka-tersangka lainnya yang seringkali dicederai dengan rekayasa kasus dan sekaligus juga membantu mencegah kriminalisasi terhadap pejabat-pejabat KPK, KPK dapat memfokuskan permohonan peninjauan kembalinya pada aspek wewenang KPK untuk menyidik Budi Gunawan (khususnya soal definisi penegak hukum). Hal tersebut sudah cukup sebenarnya bagi KPK untuk tetap bisa melanjutkan kasus ini.

    Saya pribadi berharap kasus ini tidak ditinjau kembali dan menjadi putusan yang sudah benar-benar berkekuatan hukum tetap. Polisi sendiri sekarang sudah mengakui adanya mekanisme praperadilan terhadap penetapan status tersangka karena mereka secara terbuka menggunakan mekanisme ini untuk urusan mereka. Ini momen langka, sampai-sampai dalam kasus Abraham Samad, polisi saja mempersilakan Samad untuk mengajukan praperadilan (dan sayangnya Samad tetap tidak mau mengajukan praperadilan).

    Kalau dikatakan bahwa membuka pintu praperadilan untuk penetapan tersangka akan merusak hukum Indonesia, saya sangat meragukannya. Pintunya tidak tertutup secara mutlak dalam KUHAP dan senjata ini bisa digunakan untuk hal yang baik maupun yang buruk. Mengapa tidak kita gunakan untuk sebanyak-banyaknya kepentingan yang positif? Atau ini semua cuma masalah gengsi belaka? Tunggu sampai semua yang katanya "orang baik" dinyatakan sebagai tersangka dengan tuduhan kejahatan yang culun? Percayalah, jadi baik saja tidak cukup di dunia ini, anda juga harus jadi orang pintar. Kecuali anda serius berpikir doa dan teriak-teriak di media saja cukup untuk mengubah status tersangka tersebut. Semoga KPK mengambil langkah yang tepat.


  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.