Kalau saya hanya boleh memilih satu masalah terbesar di Indonesia yang perlu diselesaikan dengan segera, maka pilihan saya akan jatuh pada konsep mendidik sebagai bentuk pengabdian (semisal istilah: "guru, pahlawan tanpa tanda jasa"). Konsep ini mungkin merupakan salah satu konsep paling berbahaya yang pernah saya temui karena dampaknya sangat buruk namun tidak pernah dianggap sebagai masalah serius, bahkan malah dianjurkan sebagai solusi!
Mengapa ini ide yang buruk? Karena pada prinsipnya ide ini tidak memperhatikan insentif manusia dengan baik dan lebih suka memaksakan impian kosong bahwa semua pengajar harus suka dan merasa wajib mengabdi dengan imbalan yang tak seberapa. Gara-gara ide ini, guru dan dosen diajari atau bahkan mungkin didoktrin untuk percaya bahwa mereka sedang melakukan tugas mulia dan bahwa sudah seharusnya mereka tidak menuntut banyak dalam soal gaji dan fasilitas karena uang akan mengotori kemuliaan jabatan mereka.
Tentu saja kita boleh berangan-angan bahwa semua pengajar di Indonesia adalah orang-orang yang mengajar tanpa rasa pamrih, puas cukup dengan "kehormatan", dan hidup bagai pertapa atau begawan. Tapi setiap angan-angan akan tunduk pada realitas. Realitasnya, konsep pendidikan sebagai pengabdian ini bukan saja menyengsarakan hidup pengajar, tetapi lebih jahat lagi, konsep ini juga merugikan para anak didik yang butuh pendidikan yang berkualitas.
Pertama-tama, mari kita bayangkan pengabdian sebagai suatu komoditas. Setiap komoditas memiliki suatu harga tertentu. Karena kelangkaan sumber daya, baik pendapatan dan waktu, setiap orang harus memilih bagaimana ia akan mengalokasikan sumber dayanya untuk mengkonsumsi berbagai komoditas yang tersedia. Dalam konteks ini, konsumsi terhadap komoditas pengabdian akan bersaing dengan komoditas lainnya, seperti makanan, rumah, liburan, hiburan, mainan, dan masih banyak lagi.
Tidak ada harga komoditas yang senantiasa tetap. Ia akan berubah mengikuti situasi dan kondisi, khususnya kondisi pasar dan kebijakan pemerintah. Hal ini pun berlaku bagi pengabdian. Sebagai ilustrasi, ketika seorang pengajar di Indonesia masih muda, hidup sendirian tanpa tanggungan, atau bahkan masih hidup bersama dan disokong oleh orang tuanya, konsep pengabdian mungkin masih akan terkesan menarik. Gajinya memang tidak banyak, tetapi karena hidupnya disubsidi dan biaya kesempatannya (opportunity costs) belum terlalu tinggi (pekerjaan lain misalnya tidak menawarkan gaji yang berbeda terlau jauh), si pengajar masih akan memilih pengabdian dan memuaskan dirinya dengan perasaan senang karena bisa mengabdi.
Namun suatu hari nanti ia mungkin akan berkeluarga, sokongan orang tua berakhir, dan akan ada pekerjaan lain yang menawarkan penghasilan yang jauh lebih tinggi. Semakin lama, biaya aktual dan biaya kesempatan untuk mengkonsumsi pengabdian akan bertambah semakin besar, dan harganya pun menjadi semakin mahal. Beberapa orang bisa jadi tetap memilih untuk mengkonsumsi pengabdian dalam jumlah yang tetap. Namun karena pendapatannya tidak bertambah cukup banyak untuk menyokong konsumsi produk lainnya, ia harus mensubstitusikan produk lainnya dengan pengabdian, yang berarti konsumsi atas produk lain akan menurun.
Alternatif lainnya, ia justru memilih untuk mengurangi konsumsi terhadap pengabdian, dan untuk itu, ia akan mengambil alternatif atau tambahan pekerjaan yang memberikan pendapatan yang lebih baik sehingga ia bisa mengkonsumsi produk lainnya lebih banyak. Pertanyaannya, secara statistik, mana yang lebih banyak di Indonesia, manusia yang memilih opsi pertama (pertahankan konsumsi pengabdian) atau opsi kedua (kurangi konsumsi pengabdian)? Ini pertanyaan paling penting yang harus dijawab oleh semua orang yang sibuk mendukung konsep pendidikan sebagai pengabdian, karena implikasinya luar biasa.
Saya sudah berkali-kali menulis bahwa investasi pendidikan adalah hal yang maha penting. Ini berarti bahwa seharusnya orang-orang yang menjadi pengajar adalah orang-orang terbaik yang bisa ditemukan dalam suatu negara karena mereka nantinya akan berperan penting dalam menentukan kualitas akhir dari anak-anak didiknya. Apakah dengan sistem saat ini, kita sudah memastikan bahwa sekolah dan universitas kita sudah dipenuhi dengan orang-orang terbaik? Lebih penting lagi, apakah kita juga sudah memastikan bahwa mayoritas pengajar kita saat ini sudah diberikan insentif yang tepat untuk menjalankan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya?
Saya akan memberikan perbandingan atas pendidikan yang saya terima ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan di University of Chicago Law School. Pada saat kuliah S1, saya berpikir bahwa saya sudah bersekolah di sekolah yang luar biasa berkualitas. Namun ketika saya pergi ke Chicago, saya baru menyadari bahwa pemahaman saya salah luar biasa. Perbedaannya adalah bagaikan bumi dan langit.
Ketika kuliah S1, kebanyakan dosen saya sulit untuk diakses atau ditemui. Kebanyakan kuliah bersifat monoton. Semua yang diajarkan ada dalam diktat. Saking lengkapnya diktat tersebut, sebenarnya tidak perlu ada kuliah, karena tidak ada nilai tambah dari kuliah yang cuma membaca isi diktat. Saya juga sulit merasakan hasrat mengajar yang tinggi dari para dosen tersebut. Menemukan dosen yang ketus ketika ditanya atau merasa superior (hanya karena ia menjadi dosen) juga tidak sulit. Dan karena bahan bacaannya juga tidak banyak (cuma diktat), saya bisa menghabiskan waktu saya untuk membaca buku-buku lainnya (makanya saya punya waktu untuk belajar hukum Islam dan hal-hal lainnya).
Saya juga sulit untuk menilai kualitas dosen, apakah benar-benar bermutu dan pandai atau tidak? Tentu ada beberapa yang eksepsional, tapi orang-orang ini anomali, bukan norma kebiasaan. Ya kalau bahan ajar lagi-lagi hanya dari diktat atau menyalin buku teks standar, apa susahnya? Belum lagi menemukan artikel ilmiah dosen yang bisa jadi bahan bacaan. Jarang sekali.
Baru-baru ini, ketika saya sempat diminta melatih tim mahasiswa untuk berkompetisi di kampus, saya sempat menanyakan, kenapa mereka tidak bertanya pada dosen untuk minta dilatih? Ternyata mereka sudah bertanya, tetapi lagi-lagi tidak mendapatkan respon yang bersemangat, malah cenderung ketus, sehingga mereka pun juga menjadi tidak bersemangat untuk bertanya lebih lanjut.
Bagaimana dengan Chicago? Profesor di Chicago sangat mudah diakses. Mereka memang tidak selalu ada di kampus karena jadwal mereka padat, tetapi mereka selalu menempatkan jadwal resmi dimana murid bisa menemui mereka untuk berdiskusi tentang apa saja. Email pun pasti dibalas. Setiap selesai kuliah, mereka akan tinggal di kelas sekitar 5 sampai 10 menit untuk melayani murid-murid yang berduyun-duyun minta berdiskusi. Kalau lebih dari 10 menit, dan ruang kelas sudah akan dipakai pengajar lain, murid-murid bisa berdiskusi lagi di luar kelas seketika itu juga sampai mereka puas.
Produktivitas para profesornya juga luar biasa. Alumni Chicago Law School selalu dikirimi majalah 6 bulanan yang berisi berbagai artikel dari para profesor dan perkembangan terakhir Law School, termasuk kabar alumni. Di majalah itu, Dekan selalu membangga-banggakan produktivitas para profesor dalam menulis artikel ilmiah dan menyertakan daftar artikel-artikel tersebut dalam periode 6 bulan sampai 1 tahun terakhir. Untuk tahun 2013-2014, dengan 40 anggota fakultas, daftar karya ilmiah mereka mencapai 12 halaman, 10% dari jumlah tebal majalah tersebut. Ini hanya daftarnya saja karena begitu banyaknya yang diproduksi. Berita yang saya dapat dari kampus di Indonesia? Gedung baru. Artikel baru? Masih dinanti.
Salah satu profesor saya pernah bercerita, kalau almarhum profesor-profesor Chicago seperti Gary Becker (pemenang Nobel tahun 1992) masih sibuk mengajar dan menulis di usia 80 tahun dan Ronald Coase (pemenang Nobel tahun 1991) masih bisa mengeluarkan satu buku di usia 101 tahun, profesor yang usianya "baru" 60-an tahun akan malu bukan kepalang kalau mereka tidak produktif. Richard Posner (pendiri aliran Law & Econ, Hakim Senior di Federal Court of 7th Circuit dan pengajar di Chicago) adalah ahli hukum paling produktif di Amerika Serikat (anda bisa mengakses CV-nya yang tebalnya 188 halaman karena berisikan seluruh buku, artikel ilmiah dan putusan yang dia buat di sini). Richard Epstein dan Erick Posner (anak dari Richard Posner), yang dua-duanya mengajar di Chicago menempati urutan ketiga dan keempat sebagai profesor yang karya ilmiahnya paling banyak dikutip di Amerika Serikat (Richard Posner sebenarnya yang paling banyak namun dia sudah tidak menjabat sebagai profesor). Cass Sunstein, profesor hukum yang paling banyak dikutip di Amerika Serikat, menghabiskan 27 tahun di Chicago sebelum pindah ke Harvard di 2008. Cass Sunstein ini biasa menulis buku baru setahun sekali atau 2 kali, sambil tetap menulis artikel ilmiah di jurnal dan menjadi kolumnis mingguan di koran dan blog. Sungguh, produktivitas saya bagaikan debu dibanding orang-orang ini.
Orang-orang yang menjadi profesor di Chicago adalah lulusan terbaik di kelasnya, umumnya pernah menjabat sebagai US Supreme Court Clerk, umumnya memiliki gelar PhD dalam bidang lain seperti ekonomi, filsafat, sejarah, atau ilmu politik (karena Chicago sangat mementingkan pendekatan interdisipliner), atau sudah berpengalaman lama sebagai konsultan atau partner di firma hukum elit. Orang-orang ini sangat ramah, murah senyum, dan terlihat penuh hasrat dan minat terhadap ilmu hukum dan ilmu-ilmu lainnya. Kalau mereka mengajar dengan suatu buku teks, isi ajarannya bukan buku teks itu, tetapi kenapa isi buku teks itu salah! Bahan bacaan mingguan pun ratusan halaman. Saking beratnya, Law School menyediakan jasa konsultasi kejiwaan gratis bagi murid-murid yang mungkin stress dengan pendidikan hukum. Boleh dikata, bagi saya, Chicago adalah tempat sempurna untuk mereka yang mendambakan komunitas yang cinta ilmu, dan cinta ilmu dengan sungguh-sungguh, bukan cuma sekedar sibuk menyerukan agar orang cinta ilmu tetapi malas berinvestasi untuk mempelajari sesuatu yang berguna.
Lalu kenapa kedua institusi ini, FHUI dan University of Chicago Law School, bisa terpaut demikian jauh? Menurut saya salah satu isu utamanya adalah insentif. Gaji awal di University of Chicago adalah sekitar US$100 ribu/tahun. Profesor yang senior bisa mendapatkan US$250-350 ribu/tahun. Saya tidak menyarankan bahwa kemudian FHUI harus membayar profesornya sebesar itu. Karena intinya bukan di besaran gaji absolut, tetapi perbandingan dengan profesi lainnya yang bisa diambil oleh profesor tersebut.
Gaji awal konsultan hukum junior di firma hukum elit di Amerika Serikat adalah US$160.000 per tahun. Partner bisa mendapatkan US$1 juta per tahun. Partner yang lebih senior lagi bahkan bisa mendapatkan US$3-4 juta setahun. Jadi untuk permulaan, gaji asisten profesor di Chicago (ini setara asisten dosen di Indonesia) berkisar 62,5% dari gaji konsultan hukum. Di level senior, gaji profesor senior sekitar 1/3 atau 1/10 dari gaji Partner. Walaupun lebih kecil, angkanya tetap menarik dan lebih dari cukup untuk hidup. Kehidupan sebagai akademisi juga jelas jauh lebih santai dan menyenangkan dibandingkan dengan bekerja sebagai konsultan hukum.
Dengan cara seperti ini, menemukan dan mempertahankan orang-orang terbaik tidaklah sulit. Dan murid-murid pun puas. Saya 100% puas dengan kualitas profesor-profesor saya karena saya tahu orang-orang ini memiliki kemampuan yang sangat amat patut dihormati. Untuk apa buang-buang waktu dan uang belajar dari orang yang kemampuannya di bawah kita?
Tapi rupa-rupanya, kita masih bersikeras bahwa Indonesia dan budayanya yang keren ini memiliki cara yang lebih canggih untuk mendapatkan pengajar terbaik. Yaitu, dengan jalan mengabdi. Boleh saja kalau jumlah orang-orang seperti ini banyak. Tapi kalau hanya sedikit bagaimana? Atau anda masih memaksa bahwa ini adalah budaya khas Indonesia, bahwa kita harus bisa mendidik dan menciptakan pengajar yang siap mengabdi. Oke, tapi berapa banyak biaya yang akan kita keluarkan untuk menciptakan manusia-manusia pertapa ini? Cukup bernilaikah biaya "investasi" kita itu dibandingkan dengan kerugian dari hilangnya produktivitas yang kita hadapi sekarang?
Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kalau dosen di Indonesia ketus atau tidak bersemangat menghadapi muridnya. Dengan penghasilan yang minim, jelas mereka banyak pikiran. Semakin tua mereka dan semakin besar kesempatan mereka di luar, semakin tinggi pula insentif mereka untuk mengurangi konsumsi pengabdian. Alternatifnya, mencari pekerjaan di luar. Tapi mereka kan hanya punya satu badan? Akhirnya pekerjaan mengajar terbengkalai.
Dosen-dosen sudah banyak mengeluh karena beban mengajar terlalu berat sehingga tidak cukup punya waktu untuk riset. Pernah terpikir mengapa jumlah pengajar kurang? Di Amerika, kompetisi untuk masuk menjadi pengajar sangatlah ketat, sampai-sampai banyak lulusan doktor yang tidak mendapatkan pekerjaan karena lowongannya hampir kosong. Di sini?! Dan anda masih saja percaya bahwa kita akan mendapatkan banyak pengajar berkualitas dengan modal mengabdi? Mungkin sebaiknya anda dan teman-teman anda yang trendi ke laut saja karena pemikiran anda menyengsarakan banyak orang!
Dosen-dosen di Indonesia disuruh memperbanyak riset karena produktivitasnya rendah. Ya tentu saja mereka tidak punya waktu untuk riset. Bagaimana bisa mereka memikirkan riset kalau hidup mereka saja tidak jelas? Lebih baik menulis di koran, syukur-syukur jadi terkenal, nanti jadi kaya karena bekerja sebagai saksi ahli. Ini menyedihkan, tetapi saya lagi-lagi tidak mau menyalahkan dosen-dosen itu. Saya menyalahkan mereka yang berada di posisi pengambilan keputusan dan masyarakat yang ingin memuaskan ego mereka soal pengabdian.
Kenapa profesor-profesor di Chicago bisa demikian produktifnya? Ya karena itu pekerjaan utama mereka. Mereka dibayar untuk menciptakan karya agung yang bisa membanggakan universitas, murid-murid dan para alumninya. Dan kenyataannya, ini bukan cuma di Chicago, ini model standar dari universitas-universitas elit di Amerika. Persaingan memperebutkan profesor bermutu antar universitas saja boleh dibilang sudah luar biasa keji karena tidak ada tedeng aling-aling. Mereka tak segan menawarkan posisi dan gaji yang lebih tinggi untuk merebut satu profesor dari universitas lain. Chicago sempat "mencuri" akademisi hukum terkenal dari Cornell University, dan baru beberapa bulan, si akademisi diangkat menjadi dekan di Cornell! Di sini? Satu profesor mengisi kelas di banyak universitas demi sesuap nasi. Tidak masuk akal!
Bagaimana mungkin budaya pendidikan sebagai pengabdian ini bisa dianggap menghormati profesi pengajar? Bagi saya, budaya ini justru menistakan dan menghina pengajar karena mereka tidak dianggap cukup penting untuk menerima prioritas pendanaan. Saya juga tidak akan heran kalau misalnya orang-orang yang menjadi pengajar bukan lulusan terbaik, karena dengan sistem insentif yang buruk, akhirnya orang-orang yang masuk adalah orang-orang yang tahu bahwa di luar sana dia tidak akan mendapatkan kesempatan yang lebih baik. Ini kan gila namanya, kita menciptakan pasar pendidikan dimana kita mengusir orang-orang terbaik kita dan mengambil yang terburuk. 180 derajat terbalik dengan Amerika. Saya demikian geramnya dengan fakta ini sehingga kalau ada orang yang masih berani berbicara bahwa ini adalah budaya Indonesia, atau lain budaya lain perkara, saya mungkin akan menyumpal mulutnya dengan sendal.
Jangan juga coba-coba anda bandingkan dengan negara-negara Skandinavia. Mereka negara homogen dan penduduknya sangat minim. Anda tahu kalau jumlah penduduk Jabodetabek bahkan lebih banyak dari Denmark digabung dengan Swedia? Tidak bisa dijadikan bandingan dengan Indonesia yang sangat beragam dan kompleks. Kita butuh pendekatan yang lebih universal, yang peduli insentif, yang peduli pada hasil yang optimal. Dan kalau anda tertarik untuk tahu bagaimana sistem mereka berjalan dan apa benar sistemnya seperti yang sering dirumorkan, saya sarankan anda google saja dengan pertanyaan sebagai berikut: "why scandinavians are rich?"
Isu insentif ini juga diperparah dengan konsep pendidikan harus murah untuk semua orang. Karena murah, gaji pengajar juga harus murah. Ini konsep yang salah, sesalah ide bahwa matahari mengelilingi bumi. Pendidikan murah seharusnya diutamakan untuk orang yang membutuhkan dan kalau ada sisanya baru digunakan untuk semua orang. Saya mendukung sepenuhnya agar subsidi pendidikan semakin diperbanyak. Jangan buang-buang uang untuk subsidi konsumtif macam BBM, fokus di investasi yang bisa mengangkat derajat hidup manusia seperti pendidikan.
Tetapi kalau misalnya dananya tidak cukup, apa yang harus kita lakukan? Ongkos sekolah per tahun di University of Chicago Law School adalah sekitar US$50 ribu pertahun. Ditambah biaya hidup, anda akan menghabiskan US$70 ribu secara keseluruhan. Ini biaya standar untuk sekolah hukum di US. Tetapi masing-masing universitas juga menyediakan program beasiswa atau hutang bagi mahasiswa yang membutuhkan. Bahkan untuk program Doctor of Jurisprudence (PhD) di Chicago, selain gratis membayar biaya kuliah, kita juga diberikan bantuan dana US$15 ribu per tahun (yang berminat silakan mendaftar).
Dekan Chicago saat ini, Prof. Michael Schill, dikenal sebagai rain maker. Walaupun sebelumnya sudah terkenal sebagai akademisi hukum properti, ketika menjadi dekan, dia fokus mengurus manajemen dan mencari donatur orang-orang kaya dari berbagai negeri. Dia undang orang-orang ini untuk memberikan seminar dan kuliah umum sambil menunjukkan kualitas murid-murid dan pengajar di Chicago. Uang yang dibawa? Puluhan juta dollar. Paling tidak saat ini 10% dari seluruh murid di Law School sekolah gratis tanpa syarat dengan menggunakan beasiswa dari David Rubinstein, salah satu orang terkaya di Amerika, pemilik firma Private Equity Carlyle Group dan juga lulusan Chicago Law School.
University of Chicago, sebagaimana universitas-universitas elit lainnya juga menyediakan chair professorship untuk memberikan dana tambahan kepada para profesor dengan jalan mencantumkan nama orang atau perusahaan yang memberikan sumbangan di gelar profesor yang bersangkutan. Baru-baru ini, Chicago mendapatkan dana abadi dari Sidley Austin, salah satu firma hukum terbesar di Amerika, senilai US$1 juta untuk gelar profesor. Dana semacam ini yang kemudian juga digunakan untuk kebutuhan riset.
Lucunya di Indonesia, masih saja ada orang yang berpikir bahwa hal ini salah. Kalau mau menyumbang, katanya harusnya tanpa pamrih. Anda hidup di dunia nyata atau alam mimpi? Ini prinsip ekonomi dasar yang seharusnya bahkan sudah diajarkan di SMA. Isunya cuma tinggal selektif memilih donatur yang tepat! Tentu selalu terbuka kemungkinan adanya donatur yang mencurigakan. Tetapi kalau menutup seluruh pintu donatur cuma gara-gara ada beberapa yang mencurigakan, hal itu sama saja dengan melarang semua orang naik mobil karena naik mobil meningkatkan probabilitas anda mati karena kecelakaan. Absurd maksimal.
Jangan pula bermimpi meminta profesor di Indonesia untuk melakukan riset yang bermutu demi mencari dana tambahan bagi universitas. Itu ide yang lebih gila lagi. Sudahlah tidak dibayar dengan baik, bahkan sekarang pengajarnya pun diperah untuk mencari uang tambahan. Ini yang namanya menghormati kaum pengajar? Saya tidak mau berbicara muluk-muluk institusi pendidikan di Indonesia harus bisa begini atau begitu kalau insentif komponen utamanya yang paling mendasar saja tidak diperhatikan.
Walaupun sangat kaya, University of Chicago adalah lembaga non profit. Akumulasi kekayaannya sebagian besar digunakan untuk investasi pendidikan di masa depan. Ada juga universitas yang mencari profit di Amerika. Kedua model bisnis ini bisa berjalan. Tetapi jangan terjebak dengan istilah profit dan non-profit. Isunya lebih sederhana. Pertama, jangan sampai lebih besar pasak dari tiang. Kedua, kalau kita sebenarnya butuh tiang, tapi uangnya hanya cukup untuk beli pasak, ya kita harus cari tambahan penghasilan atau kita hanya akan berujung dapat pasak. Ini kan ajaran nenek moyang kita, saya tak tahu mengapa konsep sesederhana itu dibikin jadi ribet.
Sebagai penutup, kemarin saya sempat membaca berita seorang guru yang
lumpuh dan miskin, meninggal setelah lama sakit. Sampai wafat, ia masih aktif mengajar. Orang memuji-muji si
guru karena sudah mengabdi demikian dahsyat dan menyatakan agar si guru dijadikan contoh. Saya heran bukan kepalang. Guru itu sungguh kesusahan, dan yang ia dapatkan cuma tepuk tangan? Luar biasa jeniusnya bangsa ini. Saya sungguh berharap agar jangan sampai tindakan-tindakan yang mengalienasi orang kaya dari membiayai pendidikan (supaya menjadi lebih murah bagi orang yang membutuhkan) tersebut dilakukan sekedar untuk memuaskan perasaan superior secara moral karena merasa sudah bersih dari nilai-nilai duniawi. Karena kalau benar, harganya mahal sekali demi memuaskan preferensi moral tersebut.