Pertama, soal istilah pesta rakyat. Penulis artikel di atas memulai artikelnya dengan pertanyaan utama: ini pesta siapa sebenarnya, rakyat yang mana? Pertanyaannya bagus, tetapi jawaban si penulis yang secara implisit menyatakan bahwa pesta ini utamanya diadakan bagi pendukung Jokowi (dan bahwa ada banyak rakyat lain yang mempertanyakan pesta tersebut) mengindikasikan dia sendiri belum cukup lapang dada menerima hasil pemilu kemarin. Mengapa? Karena setahu saya, untuk menghadiri pesta kemarin malam, anda tidak disyaratkan untuk menjadi pendukung Jokowi. Acara tersebut terbuka untuk siapa saja. Artinya terlepas anda pendukung Jokowi atau bukan, kalau mau menghadiri ya silakan.
Dengan demikian, kalau ditanya ini pesta siapa, jawabannya sederhana: pesta bagi rakyat yang mau hadir dalam acara tersebut, karena bagaimana pun juga, Jokowi adalah Presiden dari seluruh rakyat Indonesia, bukan sebagian rakyat Indonesia yang memilih Jokowi. Begitu anda menjawab bahwa acara pesta ini esensinya hanya untuk pendukung Jokowi, tendensinya sudah kelihatan dengan tegas.
Berikutnya adalah soal apa iya harus diadakan pesta setelah pelantikan? Ini pertanyaan standar. Jawabannya mudah: prakteknya sendiri seperti apa di negara kita yang tercinta ini? Apakah ada memang di Indonesia ini pemimpin macam Umar bin Khatab yang super sederhana? Karena jujur saja, kalau semua pemimpin di Indonesia mengikuti gaya Umar bin Khatab, saya jamin tidak ada satu pun pemimpin yang akan sujud syukur ketika dia tahu kalau dia terpilih, atau minimal "merasa" terpilih menjadi pemimpin rakyat.
Bagaimana mungkin dia sujud syukur kalau dia tahu sebentar lagi dia akan masuk golongan orang-orang yang jauh lebih gampang masuk neraka tetapi susah masuk surga? Apa yang mau disyukuri? Mungkin harusnya para pemimpin yang baru terpilih itu langsung duduk menangis sesenggukan di pinggir jalan sambil menyesali kenapa dia lahir di dunia ini. Kalau tidak salah, Abu Bakar Ash-Shidiq pernah berucap bahwa lebih baik ia menjadi batang pohon saja karena batang pohon tidak diminta pertanggungjawabannya di akhirat.
Tapi tentunya kita tidak ingin jadi orang yang merusak kegembiraan bersama dengan menangis ramai-ramai di pinggir jalan. Hidup tidak perlu dibuat terlalu pesimis. Nyatanya secara umum, orang yang memenangkan sesuatu akan mengadakan perayaan. Syukur-syukur kalau perayaannya mengundang semua orang, lebih baik lagi kalau pakai modal sendiri. Saya tidak tahu apakah rata-rata pemimpin di Indonesia mengadakan pesta dengan biaya negara, biaya daerah, atau biaya sendiri. Moga-moga biaya sendiri.
Lebih penting lagi adalah siapa saja pihak yang diundang? Semua orang atau orang tertentu saja? Kalau semua orang diundang, bukankah ini namanya berbagi kebahagiaan, semacam walimah yang menurut Nabi dianjurkan mengundang sebanyak-banyaknya selama mampu. Kalau kemudian ternyata yang diundang tidak datang, itu salah dan penyesalan dari yang mengundang atau yang diundang? Saya pikir pertanyaan ini juga mudah dijawab. Kalau mau pakai analisis ekonomi, biaya untuk datang ke pesta lebih besar dari manfaatnya atau tidak? Kalau biayanya lebih besar, jangan datang. Kalau manfaatnya lebih besar, ya datang. Dan agar perhitungannya lebih canggih, jangan lupa memperhitungkan opportunity cost anda supaya keputusannya benar-benar objektif.
Pertanyaan berikutnya adalah, kapan pesta itu tepat untuk diadakan? Tepatkah pesta diadakan ketika sedang ada yang berkabung atau bersedih? Umumnya ya, tetapi harus kita perhatikan waktu dan lokasi. Kalau kita menafsirkan secara literal ide bahwa setiap muslim belum menjadi muslim kalau tidak bisa berempati dengan penderitaan saudaranya, maka semua pesta di dunia oleh orang muslim harus dilarang selama masih ada penderitaan di Palestina dan Irak (dan ini hanyalah 2 tempat dari sekian banyak tempat di dunia ini yang bermasalah) karena kita tidak boleh bersenang-senang ketika saudara kita menderita. Walaupun nampaknya keren karena saya terkesan penuh empati, saya cukup yakin saya akan dicap tidak waras kalau saya kemudian melarang tetangga saya mengadakan pesta pernikahan karena di Palestina sedang kesusahan.
Jadi? Ya gunakan standar akal sehat saja. Kalau tetangga dekat sedang berkabung karena orang tuanya meninggal, tidak masuk akal saya mengadakan pesta merayakan kematian orang tuanya karena kebetulan saya bermusuhan dengan orang tuanya. Ini soal analisis untung rugi, mana yang lebih besar, manfaat pesta saya secara sosial atau kerugian kepada orang lain yang mungkin terganggu dengan pesta saya itu (khususnya kalau yang bersangkutan tidak saya undang). Mungkin pesta kemarin tampak menyebalkan. Bagi siapa? Bagi pihak yang masih merasa kesal dengan kemenangan Jokowi kemarin. Kalau bukan soal itu, apa lagi justifikasinya untuk marah-marah atau paling tidak membungkus kekesalan itu dengan gaya bijak? Oke, mungkin yang terakhir ini sudah terlalu spekulatif. Tapi harusnya anda paham maksud saya.
Mari kita sudahi soal pesta ini dan beranjak ke isu etika pihak yang menang dan kalah. Soal etika ini unik, karena tentunya melibatkan unsur subjektif, dan juga prakteknya bisa macam-macam. Berhubung standarnya banyak, tiap orang bisa angkat bicara. Si penulis artikel berargumen, wajar kalau yang kalah merasa canggung dan yang menang seharusnya bisa merangkul. Ya wajar-wajar saja itu. Tetapi contoh dimana pihak yang kalah langsung menyatakan siap mendukung yang menang dan akan bersama-sama bahu membahu mendukung kepentingan rakyat juga banyak. Tidak perlu jauh-jauh ke jaman Abraham Lincoln seperti disampaikan si penulis, tengoklah John McCain setelah dia tahu dia kalah dari Obama di 2008. Atau contoh dari Amerika kurang pas karena berasal dari Barat? Mungkin baiknya kita pakai contoh Indonesia saja, misalnya ya Fauzi Bowo ketika dia dengan cepat mengaku kalah dari Jokowi di pemilihan gubernur 2012 kemarin.
Apakah kalah berarti harus jadi kikuk? Bisa jadi, tidak semua orang bisa langsung menerima kekalahan, ada yang harus melalui perjalanan panjang untuk menerima kekalahan dan sebelumnya harus melalui periode marah-marah, kesedihan dan penolakan realitas. Saya pernah mengalami hal itu kok. Manusiawi. Tapi tentunya pantas juga saya berargumen kalau anda bercita-cita mau jadi pemimpin bangsa, anda harus bisa lebih baik daripada jadi sekedar si penggerutu di balik panggung.Yang menang merangkul, yang kalah merapat, kira-kira seperti itu.
Terakhir, saya pikir tidak ada yang menyatakan bahwa pihak yang kalah otomatis dianggap ingin memperkeruh suasana dan menghancurkan Indonesia. Oke, mungkin masih masuk kategori memperkeruh suasana kalau masih terus-terusan menggerutu sampai akhir jaman. Tetapi menghancurkan Indonesia? Tentu tidak. Tidak mungkin itu. Mustahil. Ya kan?
Dengan asumsi yang kalah masih tetap ingin berkontribusi, apakah kemudian semua orang dari pihak yang kalah harus diambil juga masuk ke pemerintahan? Tidak harus. Pemerintahan yang baik tidak terdiri dari satu warna. Saya lebih khawatir dengan pemerintahan yang isinya selalu mufakat dibandingkan dengan pemerintah yang punya oposisi dalam dosis sehat. Tentu mendefinisikan oposisi yang sehat tidak mudah, tetapi bagaimana pun juga, oposisi itu perlu ada dalam kehidupan berdemokrasi karena konflik kepentingan akan selalu ada. Memangnya semua manusia punya minat dan keinginan yang sama?
Jadi bagi pihak yang belum menang, mereka masih bisa berkontribusi maksimal dengan menjadi pihak oposisi. Kritiklah kebijakan pemerintahan yang baru kalau memang dirasa tidak benar. Kekuasaan yang absolut punya insentif besar untuk disalahgunakan. Nah, soal mengkritik itu tidak ada hubungannya dengan dulu anda memilih siapa. Sejak kapan pula hak kritik diatur-atur. Ini kan bagian dari kebebasan berbicara. Sama seperti ada yang mengkritik pesta rakyat dan kemudian ada yang membalas kritikan itu. Dunia jadi lebih berwarna karena adanya perspektif lain. Yang penting, jangan sampai kita jadi pihak otoriter yang maunya memberangus pendapat orang lain, dan juga jangan jadi pembohong, apalagi jadi tukang fitnah dalam adu argumen.