Seperti biasa, saya beranjak dari asumsi ilmu ekonomi mengenai perilaku manusia rasional yang senantiasa mengutamakan kepentingan pribadinya terlebih dahulu. Saya cukup yakin bahwa semua supir Gojek dan ojek pangkalan sama-sama suka dengan profit (tentu tak ada yang melarang anda untuk berimajinasi kalau kebanyakan dari mereka bekerja jadi supir ojek sekedar demi memenuhi hobi bertualang di rimba jalanan Jakarta atau memenuhi idealisme mereka menolong rakyat Jakarta yang seringkali kesusahan menemukan sarana transportasi). Permasalahannya, kedua grup usaha ini memiliki model bisnis yang berbeda. Gojek bertindak sebagai broker dengan menggunakan jaringan teknologi untuk memudahkan hubungan antara supir ojek dan konsumen sehingga lokasi keberadaan ojek menjadi lebih fleksibel dan waktu tunggu bagi konsumen menurun. Harganya juga sangat murah walaupun setahu saya masih disubsidi untuk perkenalan. Bisa jadi minat konsumen akan berubah apabila harga Gojek sudah mencerminkan harga aslinya.
Sementara itu, Ojek pangkalan jelas sangat mengandalkan penumpang dari lokasi tempat mereka mangkal. Secara probabilistik, kemungkinan mendapatkan pelanggan akan sangat bergantung pada lokasi pangkalan yang bersangkutan. Bisa jadi ada pangkalan yang selalu penuh pelanggan dan ada pangkalan yang sepi pelanggan. Ini berbeda dengan Gojek yang pelanggannya seharusnya terdistribusi secara lebih merata. Kalau pelanggannya banyak, harga ojek pangkalan yang bersangkutan bisa jadi ditekan lebih murah. Kalau lebih sedikit, harga bisa jadi dinaikkan.
Tapi ada cara yang lebih mudah untuk memastikan keuntungan yang lebih besar. Para supir tersebut bisa berkumpul bersama dan menggunakan sistem antrian (atau sistem sopan santun, kulo nuwun, atau apa pun lah itu). Dengan sistem seperti ini, pangkalan memiliki kuasa yang lebih besar untuk menentukan harga yang mereka inginkan karena persaingan antar supir dieliminasi. Konsekuensi lebih lanjutnya, para supir tidak perlu terlalu sering menarik asalkan mereka bisa mendapatkan pelanggan yang mau membayar lebih mahal. Mereka kemudian bisa menggunakan waktu yang tersisa untuk berdiskusi membicarakan nasib negara ini sambil minum kopi dan main catur. Sayangnya model bisnis ini perlu memastikan bahwa tidak ada saingan yang berdekatan. Karena kalau ada saingan yang mau memberikan harga yang lebih murah, pelanggan tentunya juga akan malas menggunakan ojek pangkalan dan sistem antrian mereka juga akan kehilangan daya tarik bagi para pesertanya.
Dalam konteks ini, apa bedanya bisnis ojek pangkalan dengan kartel monopolistik yang saling membagi-bagi wilayah kekuasaan? Skalanya mungkin akan lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan besar atau organisasi besar semacam OPEC, tetapi intinya sama. Kalau anda tak suka menggunakan istilah kartel karena kesannya kapitalis sekali, boleh saja kita gambarkan kartel ini sebagai konstruksi sosial tentang relasi wilayah, kuasa dan budaya atau sistem gotong royong supaya kelihatan lebih merakyat. Ketika saya melihat ada foto spanduk ojek pangkalan yang menolak kehadiran Gojek atau GrabBike di suatu apartemen, yang pertama kali terbayang di pikiran saya bukanlah kaum bodoh termarjinalkan yang sedang berusaha mengais sedikit rezeki melainkan pebisnis pintar yang paham konsep monopoli tanpa harus capek-capek mengenyam pendidikan tinggi di bidang ekonomi. Siapa yang tak senang jadi pelaku monopoli? Harga bisa dipatok lebih tinggi, kualitas layanan bisa diturunkan, kapasitas produksi juga tak perlu produktif-produktif amat. Yang penting profit minimum yang diinginkan sudah tercapai.
Apakah kemudian pelaku ojek pangkalan tak rasional ketika menolak uluran kerja sama dari Gojek? Belum tentu. Isu alokasi waktu antara kerja dan bersantai-santai sudah lama dibahas dalam ilmu ekonomi. Saya beberapa kali membaca kisah tentang tingginya pendapatan supir Gojek. Tetapi dalam kisah itu selalu ada catatan: supir yang bersangkutan rajin kerja seharian. Ini bisa jadi eksperimen yang menarik. Mengingat ada beberapa supir pangkalan yang kemudian pindah ke sistem Gojek, dapat ditanyakan kepada mereka, apa alasan utamanya? Ingat, bersantai-santai tak selalu irasional. Ada kenikmatan tersendiri dalam bersantai-santai sebagaimana ada kenikmatan dalam menghasilkan uang yang lebih banyak. Yang paling enak tentunya adalah banyak santainya sekaligus banyak uangnya. Maka bayangkan kalau anda memiliki bisnis demikian dan kemudian muncul orang yang mengganggu. Apabila analisis ini benar, maka uluran tangan dari Gojek kemungkinan besar tak akan efektif selama jumlah supir ojek (atau minimal pemimpin-pemimpinnya) yang menikmati model bisnis lamanya lebih banyak dari model bisnis ala Gojek.
Lalu apakah potensi konflik ini akan terus membesar? Ini belum bisa diprediksi. Seperti saya sampaikan di atas, harga Gojek nampaknya belum merepresentasikan harga aslinya sehingga masih ada ruang perubahan permintaan dari para konsumen. Kita juga belum mengetahui data pasti minat kebanyakan supir ojek, model bisnis apa yang mereka lebih sukai? Bagi yang suka model lama, berapa "harga" yang mereka tetapkan sebelum mereka bersedia untuk menggunakan model baru? Apakah kemudian ojek pangkalan juga masih akan mempertahankan suasana konflik tersebut? Kekuatan monopolistik per pangkalan mereka yang kini sedang diuji dan ini akan sangat bergantung dengan relasi mereka dengan konsumen.
Naif kalau kita berasumsi bahwa konsumen akan luar biasa peduli dengan nasib para supir dari masing-masing kubu. Kisah perjuangan tiap supir memang indah kalau dituangkan dalam artikel berita atau buku. Siapa tahu bisa jadi the next best seller dalam kategori buku self-help. Namun demikian, isu utama bagi kebanyakan konsumen adalah soal harga dan kemudahan akses transportasi. Ojek pangkalan bisa jadi akan mengupayakan supaya persaingan bisa dihindari, misalnya dengan jalan intimidasi dan kekerasan, tapi tentunya menjalankan praktek demikian butuh biaya. Harus ada yang sibuk berjaga-jaga. Kekerasan bisa masuk ranah pidana dengan sanksi penjara. Kemudian harus dihitung sejauh mana area mereka harus dijaga karena bisa jadi konsumen memilih untuk berjalan lebih jauh guna menemui supir Gojek mereka. Mau tak mau, ini juga akan berpengaruh ke harga ojek pangkalan. Mereka harus memastikan bahwa harga mereka setidaknya merefleksikan harga Gojek ditambah ongkos konsumen untuk berjalan sedikit lebih jauh. Belum lagi ongkos yang timbul apabila aksi mereka tidak simpatik bagi konsumen dan semakin mengurangi minat konsumen. Seperti kata Gary Becker, semua aksi irasional (kalau kita masih bersikeras menganggap para supir ojek pangkalan sebagai manusia irasional) pada akhirnya akan tunduk pada kekuatan paling absolut di dunia ini, kelangkaan.
Bagaimana dengan Gojek? Terlalu cepat untuk mengklaim bahwa Gojek telah menjadi pelaku monopoli yang mendominasi seluruh pasar ojek. Kalau memang ini bisnis yang menarik, pemain baru juga akan tertarik untuk menangkap pasar yang masih tersedia dan ini akan mempengaruhi kekuasaan Gojek (yang saat ini saja sudah disaingi oleh GrabBike). Apalagi kalau minat yang tinggi terhadap Gojek saat ini dikarenakan Gojek masih menggunakan harga promo. Kalau harga asli Gojek ternyata jauh lebih tinggi dan pelayanannya tak cukup untuk menarik minat konsumen untuk berpaling dari ojek pangkalan, maka kekhawatiran bahwa ojek pangkalan akan musnah juga terlalu prematur. Memangnya dipikir membuat bisnis sukses itu gampang? Bisnis ada dan jatuh bangun, apalagi bisnis yang mengandalkan jaringan teknologi. Siapa yang dulu percaya Google akan menghabisi Yahoo atau Microsoft menghabisi IBM. Kita butuh data akurat untuk mengetahui apakah Gojek saat ini memang benar-benar berkuasa secara ekonomi atau semua ini cuma ilusi di sosial media.
Yang pasti, saya belum melihat adanya kebutuhan mendesak akan intervensi dari pemerintah. Pasar ojek sedang mencari titik ekuilibrium baru dan sebaiknya dibiarkan saja dulu untuk sementara ini. Yang lebih penting untuk disadari, setelah kita kupas bungkusnya, baik Gojek maupun ojek pangkalan adalah grup kepentingan (interest group) yang saling bersaing dalam sistem ekonomi yang kapitalistik. Kita sudah lihat bagaimana kepentingan ini bermain dalam bisnis taksi versus Uber yang sebenarnya sama persis model bisnisnya dengan ojek pangkalan versus Gojek. Jangan terpana dengan kisah pertentangan antar kelas. Ujung-ujungnya tak pernah jauh dari profit dan kompetisi untuk mendapatkan profit lebih banyak dengan cara yang lebih mudah. Jangan lupa juga bahwa masih ada kubu konsumen yang kepentingannya pun berbeda dengan kepentingan para produsen ini.
Penyakit yang sering saya lihat di sini adalah availability heuristic. Ketika suatu isu sedang trendi dibahas, maka seakan-akan isu ini menjadi penting dan kritis. Tak heran bangsa ini sedikit-sedikit mengalami "darurat" ini dan itu. Asal masuk berita, dan kemudian disebarkan di beberapa situs berita lainnya, tiba-tiba suatu isu yang bisa jadi sudah lama ada dan tak tersentuh menjadi isu krusial yang dapat mengguncang keutuhan bangsa dan negara (padahal sebelumnya tak ada yang peduli karena memang tidak krusial). Namun karena naiknya juga sekejab, tak lama kemudian isu itu pun sudah ditelan dengan isu lainnya.
Untuk kepentingan media, sah-sah saja. Namanya juga bisnis yang mengandalkan minat pembaca. Kalau tak bombastis, mau dapat uang dari mana? Tapi pemerintah? Masa kita biarkan pemerintah tak fokus dan bingung sendiri dengan kebijakan yang hendak disusun karena sibuk mengandalkan riak informasi dari masyarakat yang suka meributkan apa pun yang bisa diributkan? Secara normatif, tentu ini harus dihentikan, tak semua isu cukup penting untuk ditangani oleh pemerintah. Sebagaimana tak bosan-bosannya saya sampaikan, pemerintah perlu melakukan analisis untung rugi (CBA) secara hati-hati. Masih banyak isu lain yang lebih penting daripada persaingan antar tukang ojek. Yang berbahaya adalah ketika pemerintahnya sendiri menyadari minat masyarakatnya terkunci pada hal-hal yang bombastis saja. Kalau demikian, yang kita dapatkan adalah lingkaran setan, masyarakatnya gemar meributkan hal yang tidak perlu, pemerintahnya sibuk pencitraan karena pencitraan lebih gampang daripada kerja dengan serius.