Ketika saya membaca artikel balasan dengan judul "LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa, Benarkah Klaim Ini?", saya sebenarnya masih meragukan apakah penulisnya benar-benar Fithra Faisal yang asli. Walaupun demikian, saya memiliki firasat kuat bahwa penulis artikel balasan tersebut (siapapun dia) adalah juga penulis artikel sebelumnya "LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa," mengingat pola penulisannya sama. Artikel pertama berbicara soal usulan kebijakan publik tetapi secara misterius tidak menyebutkan kebijakan apa yang hendak diusulkan, sementara artikel kedua menambahkan suatu pertanyaan di judul namun sampai akhir isi artikelnya, ternyata jawabannya tidak pernah diberikan. Dari sudut pandang cocokologi, ini yang namanya cocok secara alamiah tanpa perlu dicocok-cocokkan lagi karena sama-sama memberikan harapan palsu.
Showing posts with label Discrimination. Show all posts
Showing posts with label Discrimination. Show all posts
Rupa-rupanya petunjuk dari langit tiba dengan sekejab setelah penolakan itu. Saya yang sudah lama bahkan tidak berminat untuk debat melalui artikel pun tak kuasa menolak gejolak di hati untuk memberikan tanggapan atas artikel tersebut. Sempat terpikir apakah saya akan kembali menikmati sushi yang sangat lezat itu dengan tenang sambil menutup mata dan menikmati hidup seperti biasanya atau haruskah saya menyampaikan ke grup Selasar bahwa saya akan menanggapi artikel itu (yang berarti memberikan komitmen untuk menulis)? Sesaat menimbang melalui Cost Benefit Analysis sebagaimana biasanya saya praktekkan dalam hidup sehari-hari, akhirnya saya putuskan untuk menanggapi artikel tersebut. Bukan apa-apa, kalau yang menulis artikel barusan adalah tipikal tukang obat atau analis abal-abal yang mudah ditemukan di pinggir jalan sedang menawarkan dagangannya, saya akan hiraukan dengan seketika, tapi kali ini penulisnya adalah ekonom muda yang saya anggap punya kualitas mumpuni, dan seharusnya tulisannya berbobot tinggi, apalagi mengusung usulan kebijakan publik.
Sayangnya sebagaimana akan saya uraikan dengan lebih rinci di bawah ini, artikel di atas seharusnya tidak layak tayang dan tidak pantas dijadikan usulan kebijakan. Saya juga sangat mempertanyakan apakah artikel itu sedang ditulis oleh Fithra sebagai seorang ekonom serius atau jangan-jangan ditulis oleh orang lain yang menyaru menjadi Fithra, seorang moralis yang berpikir bahwa dia bisa menyembunyikan identitasnya (yang sebenarnya bukan Fithra) dengan memberikan sedikit bubuhan ilmu ekonomi dalam analisisnya (itu pun kalau bisa disimpulkan bahwa analisisnya memenuhi kaidah ilmu ekonomi yang ajeg). Supaya saya tak dituduh bertele-tele dengan pendahuluan saya di atas, marilah kita masuk ke pokok perkara tentang artikel Fithra, paragraf per paragraf yang relevan.
Mulai dari bagian awal artikelnya terlebih dahulu:
"Yang ingin saya lihat adalah bagaimana pengaruh dari sikap pro LGBT sebuah negara terhadap pertumbuhan ekonominya. Dari beragam variabel dalam survey tersebut, saya mengkonstruksi tiga hal yang paling relevan, diantaranya adalah: i) dukungan figur publik (baik politikus maupun artis); ii) dukungan pemerintah dan; iii) dukungan pemuka agama. Model yang dibangun didasarkan pada teori pertumbuhan ekonomi klasik, di mana ekonomi dapat tumbuh dengan dengan bantuan modal dan tenaga kerja, di mana kecenderungan LGBT yang semakin besar di sebuah negara akan berdampak kepada kondisi kependudukan yang memburuk. Hal ini dapat dijelaskan dari fakta terang benderang bahwa pasangan LGBT tidak dapat menghasilkan keturunan (Bukankah gembok harus bertemu kunci dan sendok bertemu garpu? Coba bayangkan kalau anda membuka gembok dengan gembok, mana bisa terbuka?). Kondisi kependudukan yang memburuk tersebut pada gilirannya akan menghambat ekonomi untuk terus tumbuh."
Ada banyak isu dari paragraf di atas, tetapi mungkin yang pertama kali harus dipertanyakan adalah klaim bahwa kecenderungan LGBT yang semakin besar akan berdampak pada kondisi kependudukan yang memburuk dimana hal ini disebabkan oleh fakta yang terang benderang bahwa kaum LGBT tidak dapat memiliki anak. Darimana asalnya klaim dan fakta yang katanya terang benderang ini? Faktanya kaum LGBT dapat memiliki keturunan. Di negara-negara maju, konsep surrogate parent adalah suatu hal yang mungkin terjadi untuk kemudian dipadukan dengan aturan hukum terkait adopsi atau pengurusan anak. Pasangan LGBT dapat meminta pihak lain untuk menjadi donor sperma atau donor telur atau meminjamkan rahimnya guna mendapatkan keturunan. Memangnya setiap pasangan LGBT pasti tak menginginkan keturunan? Bayangkan juga kalau teknologi kloning sudah berjalan.
Yang lebih penting lagi, ada semacam lompatan ide yang terlampau jauh, yaitu ide bahwa seakan-akan bertambahnya LGBT akan menimbulkan krisis kependudukan. Apakah memang benar demikian adanya? Bagaimana dengan pasangan heteroseksual yang memilih untuk tidak memiliki keturunan? Salah satu konsep mendasar dalam ilmu ekonomi adalah Biaya Kesempatan (Opportunity Costs). Memiliki keturunan bukannya tanpa biaya. Ini bukan dunia fantasi dimana semua anak terlahir langsung dewasa, sopan, pintar, dan bisa mengurus diri sendiri tanpa bantuan orang tuanya.
Kenyataannya, biaya investasi anak bisa jadi sangat tinggi dan membutuhkan banyak pengorbanan baik dalam bentuk materi maupun waktu. Tidak semua orang menempatkan prioritasnya untuk memiliki anak khususnya ketika mereka melihat kesempatan lain yang lebih baik (apalagi investasi dalam bentuk anak belum tentu selalu memberikan hasil di masa depan, namanya juga investasi). Krisis kependudukan di Jepang dan Korea misalnya seringkali diatribusikan kepada isu ketimpangan perlakuan gender dimana wanita yang hamil atau memiliki anak sangat dipersulit untuk mempertahankan karirnya atau bahkan memperoleh promosi. Karena ketimpangan tersebut, kaum wanita akhirnya memutuskan untuk menunda usia perkawinan atau bahkan tidak memiliki keturunan sama sekali demi mempertahankan karir mereka. Krisis itu juga dapat diperparah dengan kebijakan yang anti imigran asing guna menopang jumlah penduduk.
Ketika kita bicara kebijakan publik, kita tentunya harus bicara analisis untung rugi (CBA). Tidak pantas kalau ekonom dan penyusun kebijakan publik menggunakan pendekatan "pokoknya", pokoknya begini atau begitu tanpa alasan memadai. Pertanyaan mendasarnya, dibandingkan dengan sekian banyak faktor lainnya dalam krisis kependudukan di negara-negara maju (yang sangat kompleks), seberapa besar kasus kaum LGBT menyumbang masalahnya (itu pun dengan asumsi bahwa kemungkinan kaum LGBT memiliki keturunan adalah nol seperti diandaikan oleh Fithra)? Apakah ada data yang mendukung bahwa dikarenakan LGBT, jumlah penduduk manusia berkurang drastis? Apakah jumlah kaum LGBT telah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat sedemikian rupa sehingga keberadaannya menyumbang secara signifikan terhadap isu kependudukan dan oleh karenanya membutuhkan intervensi pemerintah? Tanpa bisa menjawab pertanyaan tersebut, saya khawatir inti artikel Fithra tak lebih dari sekedar mencari justifikasi ilmiah ala-ala atas ide yang ditulisnya dengan gamblang di bawah ini:
"Dalam artikel ini, saya tidak akan menjelajahi data kaum Sodom dan Gomorah serta melampirkan ayat betapa Tuhan membenci kaum ini sehingga memberikan azab yang ganas. Biarlah para ustadz yang bercerita."
Mudahnya, sebagai penyusun kebijakan publik, untuk apa meributkan kasus hipotetis yang sebenarnya tidak memiliki efek berat terhadap isu kependudukan? Ibarat kata, kita meributkan dan menyiapkan diri habis-habisan untuk menghadapi jatuhnya peristiwa meteor raksasa yang mungkin tak akan pernah jatuh ke bumi padahal ada lebih banyak isu krusial lainnya yang harus ditangani dengan keterbatasan sumber daya yang ada di planet bumi (misalnya pemanasan global, ketimpangan ekonomi, perang, dan sebagainya). Tidak masuk akal kan? Akan aneh kalau kita menghabiskan biaya untuk "menghilangkan" kaum LGBT guna menuntaskan permasalahan kependudukan (ini hanya contoh mengingat sampai akhir artikelnya, Fithra tidak pernah menjelaskan kebijakan apa yang hendak dia usung, kita akan bahas isu ini lebih mendalam di bawah ini), sementara isu lainnya yang kemungkinan besar lebih penting malah dibiarkan saja tanpa solusi. Dimana letak pertanggungjawaban publiknya?
Paragraf berikutnya dari artikel Fithra juga tak kalah unik: "Hasil bercerita bahwa persentase dukungan figur publik terhadap LGBT yang semakin besar ternyata tidak berdampak signifikan tehadap pertumbuhan ekonomi. Dari sini, tersirat bahwa meski figur publik berkoar-koar mendukung LGBT, hanya sedikit dari masyarakatnya yang betul-betul terpengaruh sehingga efek tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi tidak terlalu kentara."
Saya bingung kenapa Fithra menjadikan variabel ini sebagai variabel yang relevan untuk pro atau kontra atas LGBT. Apakah sekarang kita hendak mulai mengatur isu apa yang sebaiknya dibahas dan didukung oleh figur publik? Kita sekarang lebih tahu soal mana yang seharusnya ditwit atau diunggah ke Facebook oleh para aktor dan aktris kita? Apa definisi figur publik? Yang follower-nya lebih dari sejuta per orang? Apakah hanya di sosial media atau meliputi semua jenis media? Cukup aktor dan aktris layar kaca atau sekalian aktor politik? Lebih penting lagi, memangnya sungguh-sungguh ada kausalitas antara trending topic dengan pertumbuhan ekonomi? Bagaimana caranya? Karena kalau demikian adanya, semua permasalahan ekonomi kita bisa diselesaikan dengan hashtag #hashtagsolusipertumbuhanekonomi #lifeisgood #LOL.
Ataukah jangan-jangan efek dari dukungan figur publik tersebut tidak terasa karena jumlah kaum LGBT terlalu sedikit untuk menimbulkan riak gelombang pertumbuhan ekonomi? Asumsinya, dukungan figur publik ternyata membuat kaum LGBT rajin dan semangat bekerja demi masa depan yang lebih baik. Tetapi kalau demikian adanya, bukankah Fithra sudah menjawab sendiri mengapa kita tak perlu ambil pusing memikirkan kebijakan publik apa yang perlu dilakukan atas LBGT, wong jumlahnya sedikit. Mungkin aktivitas figur publiknya yang perlu ditambah, kali ini dengan memanas-manasi kaum heteroseksual untuk bekerja giat mengalahkan kaum LGBT dalam persaingan sehat. Siapa tahu dengan itu kita akan berhasil mewujudkan #hashtagsolusipertumbuhanekonomi.
Adapun hal yang paling cepat membuat saya mendelik ketika saya menelusuri artikel Fithra adalah dahsyatnya klaim Fithra bahwa kenaikan kebijakan pro LGBT akan menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Saya kutip langsung kalimatnya di bawah ini:
"Namun jika melihat faktor pemerintah, setiap 1 persen kenaikan kecenderungan pro LGBT, maka terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.1 persen. Di sini, dapat dilihat bahwa peran pemerintah selaku pembuat kebijakan adalah cukup krusial, baik itu bersifat pro maupun kontra terhadap LGBT. Dari sini pula, kita dapat melihat bahwa kebijakan pemerintah yang memiliki kecenderungan pro terhadap LGBT dapat meng-constraint pertumbuhan ekonomi."
Ini klaim yang sangat berani (dan mungkin juga sangat jenius). Tanpa memberikan referensi data secara rinci, dasar perhitungan korelasi, bahkan tanpa kejelasan dengan apa yang dimaksud dengan kebijakan pro LGBT, Fithra menyimpulkan bahwa kebijakan pro LGBT (apapun itu) memperlambat pertumbuhan ekonomi. Bagaimana cara menghitungnya sementara variabelnya saja tidak jelas? Seyakin apa Fithra sehingga bahasa yang digunakan mengacu kepada kausalitas (dengan menggunakan kata "maka") dan bukan sekedar korelasi (ini dengan asumsi bahwa hitung-hitungannya benar menunjukkan ada korelasi)?
Sederhana saja isunya, apa yang dimaksud dengan kebijakan pro LGBT? Apakah pernyataan seorang menteri di suatu negara tentang perlunya perlindungan hak-hak kaum LGBT dapat dianggap sebagai komponen dari kebijakan pro LGBT? Ataukah kebijakannya harus dalam bentuk tegas macam pemberian dana untuk program pendidikan pro LGBT atau bahkan legalisasi perkawinan sesama jenis? Apakah kebijakannya harus dinyatakan secara tertulis dalam suatu peraturan perundang-undangan? Harus di level legislatif atau cukup di level eksekutif? Harus di level pusat atau cukup di level regional? Ataukah kebijakan tersebut dapat dalam bentuk tidak tertulis/informal? Bagaimana apabila suatu Pemerintah mendiamkan aktivitas LGBT, apakah itu bisa otomatis dianggap pro LGBT karena tidak secara aktif menentang? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan untuk memastikan bahwa batasan dan definisi kebijakan pro LGBT dapat diukur. Tanpa batasan yang jelas, data bisa mudah dimanipulasi. Masih bagus kalau ada yang cukup kritis untuk menanyakan dasar analisisnya, tapi kalau kemudian klaim di atas diterima mentah-mentah oleh masyarakat pembaca (karena yang menulis dianggap tahu apa yang dibicarakan), pertanggungjawaban ilmiahnya bagaimana?
Tapi tidak cukup sampai di sana, Fithra memberikan klaim lainnya yang tak kalah bombastis:
"Sementara itu, pengaruh yang lebih besar didapat dari faktor pemuka agama, yaitu setiap 1 persen kenaikan kecenderungan pemuka agama yang pro terhadap LGBT maka pertumbuhan ekonomi akan turun sebesar 0.12 persen dengan tingkat signifikansi yang lebih besar dari dua faktor yang disebut sebelumnya. Temuan ini tentunya menyiratkan bahwa pemuka agama adalah gerbang terakhir penjagaan sebuah negara terhadap LGBT. Jika para pemuka agama kontra terhadap LGBT, sebagian besar masyarakat akan taat dan kecenderungan masyarakat yang berketurunan akan semakin banyak. Hal ini tentu pada gilirannya akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sebaliknya, semakin banyak pemuka agama yang pro LGBT, atau bahkan menjadi pelaku LGBT itu sendiri (kalau ini yang terjadi niscaya jamaah di masjid bakal kocar-kacir), maka potensi 'hilang generasi' akan semakin besar."
Saya kesulitan mengungkapkan dengan tepat perasaan saya selain bahwa saya merinding ketika membaca klaim di atas, entah bagaimana caranya telah tercipta suatu kausalitas yang kompleks dan pasti bahwa pemuka agama (saya bahkan tidak akan menanyakan lagi apa yang dimaksud dengan definisi pemuka agama, melelahkan mengulang-ulang kritik yang sama) adalah gerbang terakhir penjagaan negara terhadap LGBT, bahwa kalau mereka kontra LGBT maka masyarakat akan taat dan oleh karenanya kecenderungan berketurunan juga bertambah. Semua ini disimpulkan dengan dasar klaim bahwa kalau pemuka agama cenderung pro-LGBT maka pertumbuhan ekonomi akan menurun.
Oke lah, pertama-tama ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Ingat bahwa negara-negara yang dijadikan contoh utama oleh Fithra adalah negara-negara Uni Eropa. Stagnasi pertumbuhan ekonomi adalah salah satu ciri negara maju yang digadang sebagai akibat dari diminishing marginal rate of return. Ini pun baru satu kemungkinan penjelasan dari sekian ribu penjelasan. Faktor pertumbuhan penduduk pun juga hanyalah salah satunya.
Kita perlu bicara terus terang, kecuali Fithra bisa menunjukkan secara gamblang proses perhitungannya, saya khawatir semua klaim di atas lebih layak untuk masuk ke daftar koleksi Spurious Correlation yang bisa diakses sebagian di sini. Sebagai contoh, tahukah anda bahwa tingkat pemberian gelar doktor di bidang teknik sipil berkorelasi 95% dengan konsumsi keju mozzarella per kapita? Mungkin ini dikarenakan lulusan doktor teknik sipil perlu banyak makan keju supaya bisa berpikir lebih jernih (kalau ini benar, lulusan doktor teknik sipil terbaik seharusnya berasal dari Italia). Atau tahukah anda bahwa tingkat pendapatan toko dingdong (ketahuan kalau saya generasi 90-an) berkorelasi 98% dengan jumlah pemberian gelar doktor ilmu komputer? Kalau tidak ada doktor ilmu komputer, siapa yang akan membuat mesin dingdong?
Yang lebih lucu lagi adalah klaim bahwa pemuka agama adalah gerbang terakhir anti LGBT dan bahwa sebagian besar masyarakat akan taat dan oleh karenanya akan cenderung untuk berketurunan. Tahu dari mana bahwa pemuka agama adalah gerbang terakhir dan sebagian besar masyarakat taat pada pemuka agama? Datanya dari mana? Banyak contoh bertebaran, apakah bisa dibuktikan ada kausalitas antara kerajinan orang shalat dan bayar zakat dengan jumlah ceramah agama yang dia dengar atau jumlah ustaz di masjid? Ini bisa jadi bahan penelitian yang menarik.
Contoh yang lebih gamblang, soal bunga bank yang dikategorikan sebagai riba. Saya tidak akan membahas di sini tentang soal apakah bunga bank layak dikategorikan sebagai riba atau riba harus diharamkan tanpa kecuali (untuk membahas ini butuh satu disertasi dan masih dalam proses). Kita anggap saja bahwa pendapat mayoritas ulama di Indonesia (termasuk fatwa MUI) mengenai keharaman riba adalah final. Dalam hadis Bukhari, riba termasuk satu dari 7 dosa besar yang sama dengan dosa syirik, murtad dan membunuh orang tanpa hak. Di hadis lainnya, dosa riba disamakan dengan 36x dosa zina atau setara dengan dosa hubungan incest dengan ibu kandung. Faktanya, aset bank syariah tak seberapa dibandingkan dengan aset bank konvensional di Indonesia (dengan kata lain, jumlahnya kecil). Demo terhadap tempat lokalisasi dan perjudian gampang untuk dicari, tetapi demo menentang bank konvensional dan pengusiran bank konvensional dari wilayah Indonesia? Sama susahnya seperti mencari tuyul atau Nyi Roro Kidul. Jadi apakah kita masih bisa dengan gampang mengklaim bahwa apa yang disampaikan pemuka agama akan mayoritas diikuti oleh masyarakat kebanyakan? Jawabannya tergantung, tergantung dengan kepentingan masing-masing anggota masyarakat. Mereka juga bukan orang bodoh dan bisa melakukan CBA mereka sendiri.
Begitu pula dengan klaim bahwa karena masyarakat akan mendengarkan pemuka agama, maka kecenderungan berketurunan akan jadi semakin tinggi. Selain saya cukup yakin bahwa klaim ini belum ada data validnya, memangnya selama ini orang memiliki keturunan semata-mata karena perintah agama? Atau jangan-jangan itu semua karena desakan orang tua yang ingin menimang cucu ditambah budaya yang cukup lazim di Asia bahwa anak pada akhirnya akan mengurus orang tuanya sehingga anak secara tak langsung dianggap sebagai investasi asuransi masa depan? Saya tidak mengklaim ini satu-satunya penjelasan. Saya hanya hendak menyampaikan bahwa ada terlalu banyak penjelasan soal alasan mengapa orang mau berketurunan!
Jangan lupa juga klaim Fithra bahwa jumlah pertumbuhan penduduk akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Apakah memang jumlah pertumbuhan penduduk akan selalu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan? Negara seharusnya kan bukan skema Ponzi yang hanya bisa hidup dengan mengandalkan pertambahan jumlah peserta. Satu isu yang tidak dibahas dengan gamblang oleh Fithra adalah sebenarnya dia sedang mengkhawatirkan Eropa, Cina atau Indonesia? Apakah Indonesia sedang mengalami krisis pertumbuhan penduduk? Apakah Indonesia akan mendapatkan lebih banyak manfaat dari kontrol jumlah penduduk atau malah sebaliknya? Apakah Indonesia akan mengalami krisis penurunan jumlah penduduk dalam waktu dekat atau kita malah akan memiliki terlalu banyak tenaga kerja yang tak produktif?
Secara implisit, Fithra sendiri mengklaim bahwa kebijakan pro-LGBT akan menjadi mekanisme kontrol kependudukan yang berlebihan sebagaimana ia katakan di sini: "Memang ada beberapa artikel ilmiah yang menunjukkan bahwa LGBT dapat mendorong population control yang kemudian dianggap penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun alih-alih memajukan sebuah bangsa, kontrol yang berlebihan seperti ini justru akan menghancurkan potensi masa depan negara tersebut." Tetapi tentu saja untuk bisa memberikan klaim seperti ini, Fithra harus bisa menunjukkan bahwa keberadaan LGBT dengan sangat efektif dan secara berlebihan telah mengontrol jumlah penduduk di Indonesia (sehingga perlu dikurangi atau dibasmi). Kalau benar, mungkin praktisi dan peneliti efek kebijakan KB dan demografi di Indonesia perlu belajar dari kaum LGBT karena nampaknya kebijakan KB yang diusung mereka selama ini masih belum cukup efektif untuk meredam laju pertumbuhan penduduk Indonesia (tentunya saya bercanda, saya bisa dikutuk oleh almarhum Prof. Widjojo Nitisastro, sang maestro demografi dan begawan ekonomi Indonesia, kalau saya menawarkan kebijakan asal-asalan seperti itu).
Di bagian penutup artikelnya, Fithra menyampaikan sebagai berikut: "Jika ustadz dan pendeta tidak dapat meyakinkan para pemangku kebijakan, mudah-mudahan tulisan ini dapat menuntun mereka untuk dapat berpikir lebih jernih dan rasional, bukan sekedar pakai ilmu kira-kira." Misteri terbesar dari artikel Fithra adalah saya tidak tahu kebijakan apa yang hendak dia usung. Yang lebih misterius lagi adalah dengan rekomendasinya untuk berpikir jernih dan rasional bukan sekedar pakai ilmu kira-kira, mengapa saya mendapati bahwa artikelnya tersebut memuat terlalu banyak perkiraan yang jatuh dalam ranah ilmu kira-kira? Mungkin perkiraan saya salah, mungkin semuanya memang cuma kira-kira belaka. Kira-kira menurut anda bagaimana?
Secara Fithra tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebijakan pro-LGBT, saya juga sulit memprediksikan kebijakan anti atau kontra LGBT yang hendak digadang Fithra supaya pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap sehat dan tidak mengalami masalah seperti di Eropa dan Cina (terlepas adanya perbedaan signifikan dalam tingkat kemajuan teknologi, institusi dan pertumbuhan ekonomi, karena itu semua nampaknya tidak penting untuk dipikirkan). Tentunya perlu diingat bahwa kaum LGBT juga manusia yang dapat menjadi faktor produksi. Mengingat sejauh ini belum ada temuan yang menunjukkan bahwa kaum LGBT bekerja dengan kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan kaum heteroseksual dan Fithra nampak sangat mementingkan pertumbuhan ekonomi, saya berasumsi bahwa usulan kebijakannya tidak akan melibatkan diskriminasi di lapangan pekerjaan maupun genosida.
Apa mungkin kebijakannya hendak dibuat dalam bentuk terapi normalisasi? Eugenics? Diskriminasi dalam segala aspek lainnya yang tidak terkait dengan pertumbuhan ekonomi? Mungkin larangan memegang jabatan politik atau menjadi figur publik, dan sebagainya? Tak tahu lah saya apa yang mau diusung supaya kebijakannya bisa dianggap sebagai kebijakan kontra LGBT. Saya cuma berharap Fithra akan membaca lagi artikelnya sendiri tentang Ekonomi Diskriminasi yang baru ditulisnya bulan Oktober tahun lalu supaya nanti proposal kebijakannya tidak bertentangan dengan ide indah yang ia tulis di artikel itu.
Saya juga tertarik untuk tahu lebih jauh dari Fithra kalau seandainya semua alasan efek LGBT terhadap pertumbuhan ekonomi ini hanya angan-angan belaka, maka bahaya laten apa yang sebenarnya akan kita hadapi dari keberadaan LGBT dan mengapa kita butuh kebijakan kontra LGBT? Sekali lagi saya ingatkan, kita sedang bicara kebijakan publik, bukan isu moral benar atau salah seperti yang diklaim sendiri oleh Fithra. Ada banyak isu moral lain selain LGBT yang bisa jadi punya efek juga ke pertumbuhan ekonomi, kenapa harus ribut sekali soal LGBT ini sampai-sampai mengada-adakan masalah yang kemungkinan besar tidak ada? Atau karena sementara ini LGBT memang sedang jadi trending topic saja sampai nanti diganti dengan isu yang lain? Pantas pertumbuhan ekonomi kita sedang kurang bagus, mungkin bukan karena ekonomi global sedang memburuk atau kebijakan investasinya plin plan, tetapi karena trending topic-nya tidak fokus! Sedikit-sedikit berganti bergantung minat masyarakat sedang kemana.
Sebagai penutup, saya mencoba membayangkan seandainya artikel LGBT di atas dibawa untuk dibahas dalam workshop di University of Chicago Law School atau Departemen Ekonomi UChicago (tentu saja ini hipotetis belaka, kemungkinan artikel seperti itu dibahas di workshop tersebut adalah nol besar), entah seperti apa ladang pembantaiannya. Saya sudah sering menyaksikan profesor-profesor kelas wahid yang dibantai di workshop-workshop tersebut, padahal klaim mereka tak terlalu bombastis dan datanya segudang, tetapi tetap saja celahnya ada dimana-mana, mulai dari teknik pengumpulan data, kualitas sampel, bias dari sampel, sampai filosofi dari idenya itu sendiri. Apalagi kalau makalah/artikelnya hanya didasarkan pada klaim pribadi penulisnya bahwa penelitiannya bersifat empiris dan datanya valid. Klaim seperti ini sama nilainya dengan klaim bahwa sebetulnya saya adalah Batman.
Saya juga masih sulit untuk percaya bahwa artikel LGBT di atas ditulis oleh Fithra, khususnya menimbang reputasi dan artikel-artikelnya selama ini yang menurut saya selalu berkualitas. Bagaimana mungkin artikel ini ditulis oleh orang yang sama yang menulis artikel tentang bahaya diskriminasi dan strategi pembangunan Indonesia? Oleh karena itu, setelah menimbang berbagai potensi skenario, dan dengan mengandalkan prinsip Occam's Razor, saya berkesimpulan bahwa penjelasan yang paling masuk akal mengapa artikel itu muncul adalah karena Fithra Faisal kemungkinan besar telah diculik dan seseorang saat ini sedang mencatut namanya untuk menulis artikel tersebut. Where's Liam Neeson when we need him the most? Bring the real Fithra back!
Tapi ini tidak berarti bahwa kita akan tinggal diam saja menunggu hilangnya diskriminasi terhadap wanita, apalagi ketika kita tahu ada institusi pemerintah yang melakukan tindakan diskriminatif tersebut. Contoh nyatanya adalah Kepolisian Republik Indonesia ("Polri") yang melaksanakan tes keperawanan terhadap calon polisi wanita ("Polwan"). Berita lengkapnya dapat dilihat di sini. Ide dari Polri adalah bahwa tes keperawanan diperlukan untuk mengetahui nilai moralitas dari calon Polwan. Polri khawatir bahwa calon polwan tersebut bisa jadi berprofesi sebagai pelacur dan oleh karenanya seharusnya tidak dapat diterima bekerja sebagai Polwan. Ini pernyataan yang sangat misoginis. Kalau saya berwenang, polisi yang menyatakan hal seperti itu akan saya pecat karena membahayakan institusi.
Selanjutnya, Polri berargumen bahwa calon polisi pria tidak menjalani tes keperjakaan dengan alasan tidak ada tes yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah seorang pria masih perjaka. Ini lawakan yang tidak lucu. Lebih parah lagi, tes keperawanan tersebut pada prinsipnya menimbulkan trauma dan rasa sakit yang tidak perlu terhadap calon Polwan yang menjalani tes. Fakta bahwa tes tersebut dilakukan oleh dokter wanita tidak membantu.
Sesuai tradisi Chicago, kita tidak akan membahas masalah tes keperawanan dari sudut pandang hak asasi. Kita akan membahas masalah ini dari sudut pandang ekonomi. Tindakan yang dilakukan oleh Polri jelas dapat dikategorikan sebagai diskriminasi. Melalui tes keperawanan, Polri membebani biaya yang lebih banyak kepada wanita untuk menjadi polisi dibandingkan dengan pria. Ingat, biaya tidak melulu soal uang, tetapi apapun yang perlu dikorbankan untuk mendapatkan sesuatu. Tes keperawanan dengan efek traumatis dan rasa sakitnya jelas menambahkan biaya bagi kandidat Polwan, biaya yang tidak perlu ditanggung oleh calon polisi pria karena tes keperjakaan mustahil untuk dilakukan, setidaknya dengan teknologi masa kini.
Dengan tambahan biaya tersebut, secara tidak langsung, Polri membuat karir di bidang kepolisian menjadi lebih mahal bagi wanita. Sesuai dengan hukum permintaan (the laws of demand), efeknya sederhana: harga yang lebih mahal akan menurunkan permintaan atas produk yang bersangkutan. Jumlah wanita yang ingin mendaftar menjadi polisi seharusnya juga akan menurun.
Secara ekonomi, diskriminasi tanpa alasan yang wajar dapat berdampak negatif bagi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Membedakan pegawai berdasarkan prestasi bisa diterima karena prestasi berkorelasi erat dengan kontribusi terhadap institusi. Tetapi membedakan pegawai berdasarkan alasan yang tidak berpengaruh terhadap kontribusi si pegawai? Untuk apa? Saya mengajurkan anda untuk membaca buku The Economics of Discrimination untuk memahami lebih jauh masalah ini. Buku yang diolah dari disertasi almarhum Gary Becker, Profesor ekonomi dari University of Chicago dan pemenang Nobel tahun 1992, akan memberikan gambaran lebih mendalam mengapa diskriminasi itu merugikan.
Contoh sederhana bagaimana diskriminasi berpotensi merugikan kita semua: Katakanlah ada beberapa institusi pemberi kerja di Amerika yang membedakan perlakuan terhadap calon karyawan kulit hitam dan kulit putih. Berdasarkan penilaian objektif, bisa jadi kandidat kulit hitam sebenarnya lebih bermutu dibanding kandidat kulit putih. Tetapi karena dia berkulit hitam, dan institusi pemberi kerja tidak menyukainya (dalam istilah Becker, ini disebut sebagai taste for discrimination), akhirnya institusi tersebut memilih calon kulit putih.
Dengan memilih calon kulit putih yang kalah dari segi kualitas, insititusi tersebut sebenarnya membayar biaya tambahan untuk memenuhi hasrat diskriminasinya. Mengapa demikian? Karena institusi itu dapat memperoleh kandidat yang lebih baik yang akan memberikan kontribusi lebih banyak bagi keuntungan perusahaan, tetapi institusi itu justru memilih kandidat yang lebih jelek. Dan karena kandidat yang diambil lebih jelek, biaya produksi institusi tersebut pun akan bertambah, dan ini dapat berpengaruh pada harga akhir produk yang menjadi lebih mahal bagi konsumen.
Seandainya kompetisi usaha berjalan dengan sehat dan ketat, tindakan diskriminasi pada akhirnya akan menjadi tidak rasional. Dalam situasi dimana harga tidak bisa dinaikkan karena persaingan, perusahaan yang rasional akan melakukan segala upaya untuk mengurangi biaya produksi, dan itu berarti harga untuk melakukan diskriminasi terhadap kandidat berkualitas akan menjadi semakin mahal. Tentu kita paham apa efeknya bukan? Rasionalitas mencari keuntungan pada akhirnya akan mengurangi level diskriminasi.
Permasalahannya, dalam kasus Polri, tidak ada persaingan usaha karena hanya ada satu korps kepolisian di Indonesia. Polri adalah pelaku monopoli dan biaya operasionalnya pun ditanggung APBN yang dibiayai oleh pajak kita. Tanpa ada koreksi dari luar, tidak akan ada insentif bagi Polri untuk melakukan perbaikan. Mereka bisa seenaknya saja memenuhi hasrat diskriminatif tanpa memikirkan dampaknya bagi masyarakat. Coba dipikir baik-baik, untuk apa melakukan diskriminasi kepada calon Polwan yang bisa jadi akan memberikan kontribusi yang maksimal kepada Polri?
Penelitian empiris oleh John List dan Uri Gneezy sebagaimana dibahas di buku mereka, The Why Axis, menunjukkan bahwa apabila wanita menjadi pemimpin komunitas, mereka dapat menjadi pemimpin yang lebih baik dibandingkan dengan pria. Melalui penelitian di sebuah komunitas matriarkal mutlak di Pakistan dan membandingkannya dengan komunitas patriarkal mutlak di Afrika, List dan Gneezy memahami bahwa pembentukan karakter wanita dan pria lebih ditentukan oleh budaya dibanding genetika. Kaum wanita di Pakistan tersebut menunjukkan semua kualitas yang umumnya diidentifikasi sebagai perwujudan maskulinitas seperti keberanian mengambil keputusan, ketegasan, dan sebagainya.
Wanita pada prinsipnya dapat berkontribusi bagi perkembangan kesejahteraan kita semua. Membatasi aktivitas wanita bukan saja merupakan ide bodoh yang ketinggalan jaman, tetapi juga tidak memahami realitas dunia yang makin empiris. Lupakan konsep-konsep doktrinal yang anda pikir benar. Dunia tunduk pada analisis untung rugi (sebagaimana saya bahas di sini).
Ide bahwa moralitas Polwan perlu dijaga juga sangat tidak masuk akal, apalagi berpikiran bahwa tes keperawanan akan menjadi bukti empiris yang kuat bahwa seseorang bermoral. Bagaimana dengan calon polisi pria yang tidak bisa dites keperjakaannya, bagaimana kita tahu kalau mereka bermoral? Apa standar moral hanya soal seks? Saya sudah berkali-kali membahas dalam tulisan saya bahwa penggunaan moral sebagai standar lebih banyak menimbulkan kesia-siaan. Sebagaimana saya bahas panjang lebar di sini dan di sini, bahkan agama saja tidak efektif untuk mempengaruhi perilaku hukum, apalagi standar moral yang tidak jelas.
Polri harusnya fokus pada insentif. Sekali lagi, insentif! Polri harus paham analisis untung rugi dalam memilih calon polisi dan menyusun tes yang menunjukkan bagaimana calon polisi akan mengambil keputusan dalam beragam situasi dengan memperhatikan insentif yang mereka dapat. Kalau saya boleh sarankan, lebih baik Polri berdiskusi dengan John List, yang sekarang menjabat sebagai kepala Departemen Ekonomi University of Chicago. John List sudah berkali-kali menyusun eksperimen empiris untuk mengetahui bagaimana manusia berperilaku di dunia nyata.
Eksperimennya bahkan sekarang digunakan untuk menyusun sistem pendidikan yang dapat mengurangi jumlah anak putus sekolah di Chicago, dengan harapan bahwa pengurangan jumlah anak putus sekolah akan mengurangi tingkat kejahatan di masyarakat! Bayangkan, ini dunia modern, dimana kebijakan disusun berdasakan data dan penelitian bukan ide moral yang mengawang-awang entah dari mana. Apalagi kalau ide moral itu tidak memiliki basis yang kuat untuk diterapkan berdasarkan analisis untung rugi.
Saya tahu, di Indonesia ada begitu banyak masalah. Dan orang Indonesia gampang lupa. Masalah hari ini mungkin hanya penting untuk hari ini saja. Tetapi inilah mengapa saya membuat tulisan di blog, supaya akan selalu ada catatan bahwa institusi Polri sudah melakukan diskriminasi tak berdasar kepada calon Polwan. Bahwa hal itu salah dan Polri tidak memiliki justifikasi sama sekali untuk melaksanakan program tersebut!
I look first at Law No. 23/2002 on Protection of Children and I find in Article 13 of that Law that a child, while under the care of parents,guardians, or any other parties responsible for the custody,is entitled to protection from any form of discrimination. If we consider the above action as a discrimination, judging from the text of the Law, I doubt that the school can be blamed, since the text seems to be intended to protect children from discrimination by their own parents or guardians. A school might be considered as a guardian of a child during the school time, but if the child never enrolled in the first place, there would be no legal obligation to protect the child from any discrimination. And based on that notion, I can see why the school chose to instead cancel the admission rather than accept the kid, if the kid is already in the school, the school will be obliged to protect her from any kind of discrimination.
So what would be the answer to this problem? Let's take a look at the reasoning used by the school to cancel the admission, i.e., they say that other parents disagree having a child with a potential HIV in the school. If this is true and these parents are the majority faction in the school, I can see why the school ended up with their decision. I bet they know that in the modern interconnected world like we are having now, this case will cause public controversies, there will be uproar, and to certain extent their name will be tainted. But, as long as their legal risks are low and most parents whose child go to their school support such policy, their benefits are still higher and there will be less incentives to change such policy.
Should we change the law then? Should we impose liability to the school for cancelling the admission? Should we force them to accept a child whatever his/her sickness is and whatever the probability of that sickness in infecting other kids is? I admit, these are very hard questions, and before we can answer those questions, we should analyze first the economics of preventing risk of infectious diseases. The State of Illinois can be a good example where it requires all international students to have immunization from certain diseases. Failure to do so within a certain time frame will cause the students to be rejected from registering for the remaining quarters in an academic year. Can we call this as a discrimination to immigrants or visitors? Might be, but voters love a state that seems to protect their citizens interest and the state can always say that it has the obligation to protect its citizens from any unwanted casualties.
This is precisely the problem faced by the above school. On one hand, the risks of accepting a kid with HIV positive might be very small to the other kids enrolled in such school, after all, HIV is not a disease that can be easily transmitted to other person. But on the other hand, even though the risks are small, the majority have different perception, which, I suspect, is caused by availability heuristic, i.e., since HIV is such a famous disease with significant adverse effect to a person's health, people tend to think that the risks of having such sickness is also high and therefore they reject any possibility of having a kid with HIV positive around their kids.
If my prediction is correct, imposing liability to the school will make no sense. You can't expect them to solve the problem that is out of their control (you can't control the preference of all the people in this world and it would be even harder if these people are already becoming your stakeholders), and it is likely that even when the kid is finally admitted, she will receive more discrimination from other kids and their respective parents (because we know that even when the kid is not admitted yet, some parents have already voiced their concerns and rejections). It's a bad game for the poor kid. Of course, this should not be the end of the world for the kid.
Other schools might actually take this opportunity as a marketing tool. But to achieve that, they must state their policy from the beginning. As an example, they should say that their school is opened to any kids with HIV positive and that they will provide a safe environment for everyone when they open their school registration. Stating this from the beginning will have the effect of screening parents that might not agree to have their kids sharing a class room with a positive HIV kid and therefore, we can expect less rejection from other parents. Only parents who support such idea who will send their kids to the school and this will allow the creation of a better environment for the HIV positive kid.
Borrowing the term from one of my Professors, Lior Strahilevitz, we can call this strategy as an exclusionary vibe. You effectively screen people who disagree with your policy and discourage them from getting into your community without having to say that you reject them. It's a double edge sword, it can be used to discriminate people, but it can also be used positively, as in creating a healthier environment for kids development. Furthermore, can this be a good business? I would think so, there are still many people who buy the idea that having a non-discriminatory school is good for the education of their children. And when these schools can attract many students, other schools will soon follow.
To close this post, in dealing with hard cases like this, sometimes, imposing liability would only increase the costs for each parties involved and might not be beneficial for the kids. Using strategy to raise public awareness is good, but I would suggest not to continue with a legal fight unless we can ensure that the problem lies within the school itself and not the parents. Because if the other parents are the problem, punishing the school will only add more fire to these parents, and the end result might be backfired. Remember, you can't control people preferences, it would be more effective to screen these people out and build a different business. If it is profitable, and my guess is: it is, the problem can be solved quicker than we thought.