Gara-gara menemukan twit imut di atas, saya jadi teringat salah satu diskusi beberapa bulan lalu soal apakah keberadaan causa prima (yang biasanya diterjemahkan menjadi Tuhan) itu suatu keniscayaan secara logika (logical necessity), dan oleh karena itu harus benar adanya dalam setiap keadaan. Pendek kata, dalam diskusi tersebut saya menyampaikan bahwa keberadaan causa prima tidak niscaya secara logika dan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dibuktikan baik secara logika maupun empiris, dan oleh karenanya ada peran yang besar dari iman dalam beragama, khususnya untuk hal-hal yang ujungnya memang sesederhana percaya ga percaya.
Posisi ini saya ambil bukan karena saya anti filsafat, apalagi tradisi filsafat analitik. Sebagai pendukung mazhab positivisme hukum dari sanad H.L.A Hart dan penulis disertasi soal teori interpretasi hukum dalam sistem hukum Islam dan Amerika Serikat, filsafat analitik adalah bagian integral karena berhubungan erat dengan logika dan filsafat bahasa dan dua-duanya tidak terpisahkan dari bagaimana cara memahami konsep hukum dan sumber-sumbernya serta cara menafsirkan isi hukum itu sendiri. H.L.A Hart sendiri juga bagian dari tradisi filsafat analitik cabang ordinary language bersama-sama dengan guru dan kemudian kolega dia, J.L. Austin di Oxford.
Justru karena minat saya terhadap filsafat analitik yang bersikeras menggunakan metode pikir yang sangat teliti (rigorous) (termasuk menggunakan pendekatan matematika, logika dan sains terhadap metode filsafat supaya menjadi lebih disiplin) itu lah yang menyebabkan saya mengambil posisi tersebut. Kalau mau teliti, ya harus konsekuen supaya tidak campur aduk antara bias iman dengan pemikiran filosofis.
Walaupun diskusi soal keniscayaan causa prima ini cukup panjang dan kompleks (termasuk apakah secara logika keberadaan infinite regress itu dimungkinkan), inti permasalahannya sebenarnya bisa direduksi menjadi isu berikut: apakah mungkin sesuatu itu bisa muncul dari ketiadaan (can something come out from nothing)? Suatu pertanyaan fundamental yang memang sudah lama membingungkan banyak manusia. Dalam diskusi tersebut, saya sudah sampaikan bahwa secara empiris, belum ada yang bisa membuktikan dengan 100% kepastian bahwa sesuatu tidak bisa atau bisa muncul dari ketiadaan. Mungkin terkesan mengada-ada karena umumnya orang akan berpikir bahwa mustahil bisa muncul sesuatu dari ketiadaan, tapi kalau dikembalikan ke ranah empiris dan bukan cuma sekedar diskusi warung kopi, jawabannya adalah kita tidak tahu secara pasti.
Contoh beberapa buku yang mencoba membahas isu ribet ini adalah: A Universe from Nothing oleh Lawrence M. Kraus dan Void - The Strange Physics of Nothing oleh James Owen Weatherall. Ada juga beberapa artikel ilmiah yang membahas hal ini seperti misalnya What Came Before the Big Bang dan Spontaneous Creation of the Universe from Nothing. Intinya, belum ada jawaban empiris yang konklusif, semua masih bisa diperdebatkan. Dengan situasi empiris yang masih tak mampu memberikan jawaban yang memuaskan, tidak heran ada beberapa filosof yang ingin menemukan kepastian lebih dulu dan untuk itu mereka membangun argumen bahwa kemustahilan sesuatu muncul dari ketiadaan itu adalah niscaya secara logika dan oleh karenanya pasti benar dalam setiap situasi dan kondisi. Hal ini memang konsekuensi dari pengertian logical necessity sebagaimana bisa dilihat di kutipan twit di awal artikel ini. Namun demikian, karena kita hendak membangun suatu klaim yang fantastis yang dianggap otomatis benar setiap saat, tentunya butuh ketelitian supaya jangan sampai nanti termakan kritik terhadap ilmu logika bahwa semua logical necessity tak lebih dan tak bukan dari tautologis alias muter-muter.
Pembaca yang philosophically inclined (baca: suka meribetkan dirinya sendiri) bisa membaca lebih jauh argumen panjang lebar mengapa ketidakmungkinan sesuatu muncul dari ketiadaan itu bukan hal yang niscaya secara logika di artikel berikut: The Problem with Nothing: Why The Indefensibility of Ex Nihilo Nihil Goes Wrong for Theists. Untuk argumen yang sudah saya sederhanakan, bisa lanjut baca di bawah ini.
Salah satu argumentasi populer dari mengapa sesuatu tidak bisa muncul dari ketiadaan secara logika adalah karena secara metafisika, yang namanya tiada ya tiada, bagaimana caranya dia bisa jadi ada sementara dari awal ia tiada, tidak ada potensi mengada dari sesuatu yang tiada. Terkesan logis tapi menurut saya tidak tepat dan juga tidak teliti bahkan cenderung tautologis (dan oleh karenanya tidak layak diklaim secara metafisika juga). Mengapa demikian?
Sederhananya, dalam ketiadaan yang absolut, tidak ada hal atau aturan yang bisa menghalangi potensi ketiadaan itu untuk menjadi sesuatu atau pun tidak menjadi apapun sama sekali. Pemahaman bahwa dari suatu ketiadaaan pasti tidak bisa menjadi ada tidaklah niscaya secara logika dan saya belum tahu ada orang yang bisa membuktikan sebaliknya dalam sejarah filsafat selain orang-orang yang mengklaim bahwa ketiadaan sudah pasti tidak berpotensi menghasilkan sesuatu yang ada.
Saya bisa paham mengapa orang sulit melihat hal yang menurut saya sudah jelas sekali ini, khususnya karena seringkali juga orang mencampuradukkan absence of evidence sebagai evidence of absence (ketiadaan bukti akan A menjadi bukti bahwa A tidak ada). Kesalahan pola pikir empiris ini mungkin terbawa ke ranah filsafat analitik dan karena kenyataannya belum ada juga yang bisa membuktikan sebaliknya, godaan untuk menjadikan kemustahilan ketiadaan untuk memunculkan sesuatu sebagai keniscayaan logika juga sulit untuk dihindari karena sudah terasa nyaman dan obvious. Tapi tentunya rasa nyaman bukanlah jawaban dari semua permasalahan anda (kecuali dalam hubungan cinta, halah).
Kita kembali lagi sedikit ke argumen logika soal ini supaya lebih jelas kritik saya. Satu, bagaimana mendefinisikan ketiadaan? Supaya diskusi logika masih bisa jalan, proposisi awalnya adalah bahwa ketiadaan yang dimaksud di sini bukan ketiadaan yang absolut dan tidak terikat dengan apapun, melainkan ketiadaan yang masih ada potensi berlakunya hukum-hukum logika secara ontologis. Bukan apa-apa, ini justru untuk membantu mereka yang mengklaim bahwa mustahil sesuatu mengada dari ketiadaan secara metafisika. Apabila definisi ketiadaan itu adalah "tiada apapun termasuk hukum logika" maka salah satu klaim keniscayaan logika bahwa tidak mungkin suatu hal yang tidak logis itu ada akan dipatahkan dengan sendirinya. Wong namanya juga ketiadaan/nothing kan? Kenapa kalian bisa mikir bahwa aturan logika yang kalian buat itu jadi eksis dan mengikat dalam situasi ketiadaan absolut?
Dua, setelah kita bisa menyepakati proposisi bahwa suatu hal yang tidak logis itu tidak mungkin ada dan sebagai konsekuensinya kita juga sepakat dengan proposisi bahwa dalam ketiadaan itu masih ada hukum-hukum logika, maka kita bisa lanjut ke 2 proposisi berikutnya, yaitu bahwa: (i) dalam ketiadaan, karena tidak ada apa-apa selain hal yang niscaya secara logika, maka tidak ada juga hal yang bisa membatasi atau mengatur ketiadaan tersebut selain hal-hal yang niscaya secara logika, dan (ii) karena tidak ada yang membatasi apa yang bisa muncul dari ketiadaan (selain hal yang niscaya secara logika), maka tidak ada hal juga (selain yang niscaya secara logika) yang dapat menghalangi apapun untuk muncul atau terjadi dari ketiadaan tersebut.
Dan kita kembali ke kritik awal saya di atas. Dengan menggunakan proposisi-proposisi di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam ketiadaan, aturan bahwa dari ketiadaan hanya muncul ketiadaan alias ex nihilo nihil juga tidak bisa diberlakukan. Untuk bisa membuktikan sebaliknya, orang harus dapat menunjukkan bahwa adalah suatu hal yang niscaya secara logika bahwa hanya ketiadaan yang bisa muncul dari ketiadaan dan belum ada yang bisa memberikan jawaban ini (selain tentunya klaim kosong sebagaimana disebut di atas, which is a fun pun indeed!). Lebih sederhananya lagi, konklusi dari diskusi di atas adalah bahwa probabilitas sesuatu bisa muncul dari ketiadaan adalah bukan nol. Saya akan berhenti di sini karena tujuan saya sudah tercapai (artikel Richard Carrier masih melanjutkan soal potensi adanya multiverse tapi buat saya diskusi itu sudah tidak relevan untuk diskusi kita hari ini walaupun tema multiverse merupakan hal yang sangat menarik juga). Yang jelas, hal yang sama juga berlaku untuk keberadaan Tuhan. Argumen ini juga sama menegasikan posisi atheisme bahwa probabilitas keberadaan Tuhan adalah nol. Ini mengapa saya sering kali menyatakan bahwa atheisme sebenarnya tak berbeda jauh dengan agama kalau malah bukan jenis agama baru, sama-sama berbasis doktrin dan keyakinan/iman, cuma beda saja imannya, satu percaya ada Tuhan, satu lagi ga percaya ada Tuhan.
Jadi mengapa saya menulis panjang lebar mengenai isu ini? Bagi saya penting sekali untuk menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan adalah soal iman yang belum bisa dibuktikan ada atau tidak adanya secara ilmiah melalui sains maupun secara logika melalui filsafat. Tanpa adanya bukti yang tak terbantahkan baik dari segi sains maupun filsafat, soal iman dikembalikan menjadi percaya dan ga percaya dan karena isunya percaya ga percaya, sesama manusia juga tidak perlu bersikeras memaksakan versinya kepada orang lain atau ribut gontok-gontokan karena sesuatu yang dia percaya itu bisa jadi tidak dipercayai oleh orang lain.
Ini juga alasan mengapa hampir 20 tahun yang lalu saya pindah dari belajar teologi/tasawuf dan jadi fokus dengan hukum Islam. Soal hukum dan kebijakan publik, sifatnya riil, empiris (walaupun saya tahu ada banyak orang juga yang mencampuradukkan isu hukum dan kebijakan publik sebagai bagian dari masalah iman yang justru menyulitkan diri mereka sendiri kalau mau taat asas dan logika, tapi ini bahasan lain kali) dan langsung berpengaruh ke hajat hidup orang banyak. Soal iman, mau ribut sampai akhir zaman kemungkinan besar pun ga akan ketemu jawabannya karena ga ada yang bisa membuktikan ada atau sebaliknya (paling tidak dengan teknologi saat ini, bahwa hal ini bisa jadi dibuktikan suatu hari nanti adalah isu empiris yang masih kita tunggu-tunggu jawabannya). Oleh karenanya, soal iman ini bagusnya memang menjadi isu individu langsung antara manusia dan Tuhannya. Tentunya kalimat terakhir ini adalah opini saya, bukan suatu keniscayaan logika, jadi selalu bisa diperdebatkan 😁😁😁.
2 comments:
Artikel yg menarik. Klo boleh menanggapi, mungkin diawal perlu mendefiniskan dlu apasih “ada” itu, lalu mendefinisikan apa “mengada” itu? Dan mungkin isu ini cenderung masuk ke ranah epistemologis
Pertanyaan yang menarik sekaligus sulit dijawab. Kalau minjam konsep Wittgenstein, some things can only be shown but cannot be said. Definisi "ada" yang kepikiran sama saya hampir semuanya tautologis atau mendekati itu lah, semisal "ada" adalah segala sesuatu yang hadir atau mewujud baik secara fisik/eksternal maupun dalam pikiran (internal) (definisi eksternal dan internal ini sendiri pun masih diperdebatkan dalam metafisika, but please bear with me).
Selanjutnya "Mengada" bisa didefinisikan sebagai menghadirkan atau terhadirkan dari sebelumnya tidak ada menjadi ada. Di sini ada 2 arti, ketiadaan secara aktif memproduksi sesuatu yang ada atau sesuatu itu muncul sendiri karena ga ada yang menghalangi (karena ga ada apa-apa in the first place).
Tulisan saya tidak membahas isu ini secara eksplisit dalam konteks epistemologi karena pertanyaanya akan berubah drastis dari "apakah ketiadaan atau causa prima itu ada atau tidak sedari awal" menjadi "apakah kita bisa mengetahui keberadaan causa prima atau konsep ketiadaan itu sendiri." Walaupun memang kalau misalnya bagi mereka yang secara metafisika masih menerima konsep bahwa ketiadaan hanya bisa menimbulkan ketiadaan and nothing else dan oleh karenanya menurut mereka masih perlu ada causa prima, mereka akan menjawab bahwa mereka bisa mengetahui keberadaan causa prima dengan menggunakan sistem logika mereka.
Tulisan saya hanya menunjukkan bahwa keberadaan causa prima tidak niscaya secara logika dan artinya pertanyaan epistemologi mengenai apakah kita bisa mengetahui soal causa prima ini juga masih belum terjawab.
Post a Comment