Kasus Florence Sihombing dan Kegagalan Nalar Hukum
Apa pernyataan Florence yang menimbulkan dampak sedemikian dahsyatnya itu? Kutipan dari Path-nya adalah sebagai berikut: "Jogja miskin, tolol dan tak berbudaya, teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal di Jogja" dan "Orang Jogja bangsat. Kakak mau beli Pertamax 95 mentang-mentang pake motor harus antri di jalur mobil trus ga dilayani. Malah disuruh antri di jalur motor yang stuck panjangnya gak ketulungan. Diskriminasi. Emangnya aku ga bisa bayar apa. Huh. KZL."
Konteksnya tidak terlalu sulit dicerna. Bayangkan ada 2 produk, X dan Y. X lebih mahal daripada Y tetapi proses untuk mendapatkan Y lebih lama karena anda harus mengantri (barang lebih murah, peminat lebih banyak, antrian lebih panjang). Anda memiliki dana yang cukup untuk membeli produk X dan memutuskan untuk membeli X yang harganya lebih mahal karena anda lebih menghargai nilai waktu anda. Tetapi ketika kemudian sampai di kasir untuk membeli X, anda diminta pindah ke barisan pembeli Y yang panjangnya sungguh keterlaluan. Alasannya anda tidak boleh membeli X? Karena baju anda jelek.
Bagaimana tanggapan anda atas kasus di atas? Apakah tindakan penjual tersebut wajar? Apakah ini contoh tindakan diskriminatif tanpa alasan yang kuat? Dalam situasi serupa, apakah anda akan menghela nafas anda dalam-dalam? Atau anda akan marah-marah sambil bersumpah serapah? Kalau anda Paman Gober, mungkin yang akan anda lakukan adalah membeli perusahaan yang bersangkutan dan memecat semua karyawannya yang menyebalkan itu (sebagaimana sering kita lihat dalam komik Donal Bebek). Itu juga yang akan saya lakukan kalau uang saya berlimpah.
Ada yang bisa melarang saya untuk melakukan hal tersebut? Ya mungkin karyawan-karyawan dari perusahaan yang saya beli ini akan mencoba menggugat hak pesangon mereka. Bisa jadi saya harus membayar hak pesangon mereka yang cukup mahal di pengadilan. Tetapi karena selain kaya, saya juga paham hukum, saya putuskan saja untuk memailitkan perusahaan ini, melikuidasi semua asetnya, dan memberikan uang pesangon yang tak seberapa kepada karyawan saya. Kalau pun mereka mau menuntut di masa depan, perusahaannya sudah tidak ada, dan pemegang saham dan perusahaan adalah dua entitas yang berbeda. Apakah ada yang bisa menghalangi skema saya ini? Kemungkinan besar, tidak ada.
Apakah saya bisa ditahan karena pada prinsipnya saya sudah menyakiti hidup para karyawan yang membuat saya sebal itu? Hampir pasti tidak ada alasan untuk menahan saya. Yang saya lakukan sah secara hukum dan walaupun skemanya rumit, karena uang saya banyak, manfaat yang saya dapat dari membubarkan perusahaan dan melihat karyawan-karyawan itu menangis di tepi jalan tetap memberikan nilai manfaat pribadi yang lebih besar dibandingkan biaya yang saya keluarkan.
Sayangnya Florence tidak punya dana sebanyak Paman Gober. Dia cuma mahasiswi UGM yang naik motor sebagai kendaraan pribadinya. Dia tidak bisa menggunakan skema saya di atas. Paling-paling dia hanya bisa menghela nafas, atau marah-marah. Bisa jadi dia khawatir sebagai wanita untuk marah-marah langsung di depan petugas SPBU. Maka pilihan akhirnya adalah marah-marah di Path yang dikenal sebagai media sosial untuk hal-hal yang lebih privat (walaupun memang sulit di masa kini untuk membedakan hal mana yang privat dan publik).
Yang memilukannya adalah: kemarahan Florence dan konteksnya yang sebenarnya cukup wajar itu dibesar-besarkan sampai kemudian dianggap melanggar ketentuan dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik ("UU ITE"). Dalam hal ini, Florence dituduh melanggar Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE, yaitu dengan sengaja dan tanpa hak: (i) mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, atau (ii) menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Ini kasus yang sangat menarik dan juga penting. Kalimat pasal yang begitu sederhana seperti di atas membuka banyak kemungkinan interpretasi. Pertama, bisa jadi bukan Florence yang harusnya dihukum karena ia tidak dapat dianggap dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi yang memuat penghinaan. Apa yang dimaksud dengan tanpa hak? Bagaimana kalau misalnya kita menganggap bahwa Path adalah media yang digunakan untuk keperluan diseminasi informasi secara terbatas, katakanlah hanya untuk teman-teman terdekat. Bisa jadi saya akan menyampaikan penghinaan yang keras terhadap orang lain ketika saya sedang berbicara dengan teman-teman dekat saya tetapi saya tidak akan omongkan penghinaan itu di depan muka target saya, atau di depan publik. Ini kan wajar. Kalau anda merasa tidak pernah melakukan hal serupa, saya ucapkan selamat karena anda layak jadi wali atau nabi.
Dengan pembacaan di atas, malah seharusnya orang-orang yang ditangkap adalah mereka yang kemudian justru membagi-bagikan pernyataan Florence ke khalayak ramai. Orang-orang ini yang pantas ditangkap karena tanpa hak membagikan informasi yang selayaknya tidak disampaikan ke muka umum dan menimbulkan kontroversi yang tidak perlu. Bayangkan berapa banyak sumber daya yang dihabiskan untuk membahas kasus seremeh ini? Polisi yang menangkap Florence, Jaksa dan Hakim untuk menjalankan persidangan, UGM yang sampai sibuk harus menjalankan rapat etika, dan publik yang harus ikut berkomentar, termasuk saya. Semua hanya karena ada beberapa orang yang tidak cukup cerdas untuk bisa membedakan informasi mana yang patut dibawa keluar dan mana yang harus disimpan baik-baik.
Isi dari Path pada dasarnya terkunci untuk dapat dilihat oleh orang lain kecuali orang tersebut sudah menjadi teman dari pemilik akun Path yang bersangkutan. Benar bahwa isi dari Path dapat diunggah juga ke Facebook dan Twitter sepanjang dipilih oleh si pemilik. Pertanyaannya, apakah Florence sengaja mengunggah amarahnya itu di media sosial lainnya? Atau kemudian hal ini dilakukan oleh orang lain? Ahli hukum yang baik harus memahami setiap fungsi media sosial dan tidak menyamaratakan mereka semua, apalagi dalam kasus yang melibatkan hidup orang semacam kasus Florence ini.
Berikutnya adalah soal definisi penghinaan itu sendiri dan target dari penghinaan. Ini masalah yang rumit karena melibatkan banyak unsur subjektif. Saya belum pernah mendengar suatu kota atau suatu wilayah bisa menyatakan dirinya dihina. Misalnya saya menghina Jogja, apakah kemudian satu warga Jogja dapat mewakili Jogja untuk menuntut saya? Atas dasar apa? Bagaimana kalau warga yang lain kemudian memutuskan bahwa saya tidak menghina Jogja? Lalu apa harus dilakukan musyawarah atau voting terlebih dahulu oleh seluruh warga Jogja untuk menentukan: (i) apakah saya menghina Jogja, dan (ii) siapa yang nantinya berwenang dari warga Jogja untuk menyampaikan laporan atas penghinaan yang saya lakukan? Anda bisa lihat betapa absurdnya pemikiran ini kan?
Bandingkan kasus ini dengan Jakarta. Keruwetan dan keparahan kota Jogjakarta tidaklah seberapa dibandingkan dengan Jakarta. Anda mau adu kota mana yang lebih ribet? Anda pasti kalah dengan Jakarta. Mereka yang tinggal di Jogja mungkin tidak bisa membayangkan berapa banyak umpatan yang berseliweran di kalangan warga Jakarta atas kota dan sesama penduduknya. Bahkan ketika Fauzi Bowo masih menjadi Gubernur Jakarta, tidak terhitung banyaknya umpatan yang muncul atas dirinya di media sosial. Korban penghinaan lainnya tentu saja para pengendara sepeda motor yang merasa jalanan adalah milik nenek moyang mereka. Saya masih menanti adanya paguyuban pesepeda motor Jakarta yang akan mengajukan laporan atas penghinaan yang rutin mereka terima sehari-hari di media sosial.
Atau kita pakai kasus terbaru: Bekasi. Bekasi sempat menjadi permainan dan lawakan di media sosial karena kemacetan yang luar biasa dan penderitaan yang dialami warganya setiap pergi dan pulang ke Bekasi. Tentu ada yang pro dan kontra soal kondisi Bekasi. Ada yang setuju dengan lawakan tersebut, ada yang berpendapat bahwa orang-orang yang menghina Bekasi itu sebenarnya tidak pantas menghina Bekasi dan sebagainya. Tetapi yang jelas tidak ada satu pun orang yang ditahan hanya karena ia mengunggah meme-meme yang menghina Bekasi itu di muka umum.
Sekarang saya tanya, apa bedanya menyatakan Jogja tolol dan menyatakan bahwa untuk ke Bekasi anda harus naik roket karena lokasinya berada di luar planet Bumi? Dua-duanya sama-sama penghinaan. Yang satu langsung pada pokoknya, yang satu berbentuk lawakan (yang bisa jadi lucu menurut saya tetapi dianggap langsung menghina bagi para warga Bekasi yang cinta mati terhadap Bekasi), tetapi menurut saya esensinya sama saja: MENGHINA. Lalu? Kenapa tidak ada LSM atau siapa pun lah dari Bekasi yang kemudian menindaklanjuti kasus ini?
Apa karena kali ini pelakunya banyak? Dan karena kalau tidak setuju dengan pelakunya yang banyak ini, nanti si pelapor akan dicap sebagai orang yang tidak punya selera humor dan sebagainya, dan mungkin nanti malah akan di-bully ramai-ramai? Penegakan hukum macam apa yang akan kita lakukan kalau standarnya tidak jelas seperti ini? Sepanjang pelakunya banyak, lalu kasus ditiadakan karena polisinya juga takut? Bagaimana mungkin orang tidak berpikiran bahwa kasus Florence adalah bentuk diskriminasi hanya karena dia sendirian? Bagaimana dengan semua orang yang menyebarkan amarah Florence di Path? Kenapa tidak sekalian ditangkap?
Mungkin ini lah salah satu aspek yang masih menyedihkan di negara kita. Ketika kasusnya heboh, semua orang ribut soal Florence. Entah marah-marah, entah memberikan dukungan, sehingga akhirnya membuat kasus sederhana ini menjadi konsumsi publik yang berlebihan. Tetapi pada akhirnya, setelah hingar bingar itu selesai dan kita semua sudah puas menyampaikan penilaian moral kita macam bagaimana harusnya berbicara di media sosial, yang menjalani konsekuensi hidupnya adalah Florence Sihombing. Dan kini dia diskors satu semester dan akan menghadapi persidangan di muka pengadilan negeri. Untuk apa? Untuk hal yang secara rutin juga dilakukan oleh banyak orang di Indonesia dan juga planet Bumi ini melalui beragam media lainnya!
Saya pernah beberapa kali mengajar di UGM dan juga menikmati liburan di Jogja, tetapi bagi saya kasus ini terlalu menyakitkan hati. Tidak pantas dan juga tidak efisien menghukum seseorang untuk sesuatu yang sebenarnya remeh temeh dan tidak berakibat negatif secara signifikan kepada masyarakat (kalau bukan karena dibesar-besarkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab). Pada akhirnya ini soal analisis untung rugi. Kecuali Florence dinyatakan tidak bersalah, atau tidak dihukum, atau jaksanya memutuskan untuk menghentikan kasus absurd ini, saya tidak akan lagi mau mengajar di UGM. UGM seharusnya bisa melakukan hal yang lebih baik dari ini. Dan percayalah, yang akan rugi karena saya tidak mengajar di UGM bukan saya.