Ilusi Pemimpin Tegas
3 ide utama yang diusung dalam artikel tersebut:
- Demokrasi Indonesia masih prematur, sehingga untuk menjamin adanya mekanisme akuntabilitas yang kuat dari pejabat publik dan legislator, Indonesia membutuhkan pemimpin seperti Prabowo yang akan memimpin dengan kontrol yang kuat dan tangan besi. Menurut penulisnya, sekalipun Prabowo berasal dari orde baru dan memiliki rekam jejak yang bermasalah di bidang hak asasi manusia, hanya Prabowo yang dapat menawarkan stabilitas dan petunjuk yang dibutuhkan oleh Indonesia saat ini.
- Kepemimpinan Indonesia selanjutnya harus dilandaskan keyakinan/ketegasan (lead by conviction) dan bukan pembangunan konsensus. Menurut penulisnya, gaya kepemimpinan SBY yang mencoba membangun konsensus sudah gagal.
- Gaya kepemimpinan Jokowi yang menunjukkan pemimpin yang bisa didekati (approachable) dan mendengarkan juga tidak cocok di Indonesia karena tidak akan bisa menghadapi pengambilan keputusan yang sulit di Indonesia. Jokowi dalam hal ini belum cocok untuk Indonesia saat ini.
Apa Sebenarnya yang Dimaksud dengan Pemimpin Tegas?
Permasalahan utama dengan ide Prabowo sebagai pemimpin tegas adalah karena tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana Prabowo akan tegas memimpin kita semua, bagaimana dia akan menyelesaikan konflik antar berbagai kepentingan politik dan ekonomi yang ada di Indonesia, bagaimana dia akan menyelaraskan kebijakan pusat dan daerah di Indonesia. Yang selalu saya dapatkan dari pendukung Prabowo adalah bahwa dia pokoknya akan tegas dan bertangan besi dalam menghadapi semua permasalahan di atas. Artikel yang saya komentari tersebut pun juga tidak menjelaskan mekanisme apa yang akan ditempuh Prabowo.
Tentu saja saya sangat bermasalah dengan slogan tak bermakna ini. Tegas ini maksudnya apa? Apakah seperti dalam video ini ketika Prabowo bercerita dengan berapi-api tentang kebocoran Rp1.000 trilyun dalam anggaran negara kita? Dia tampak sangat bersemangat dan juga nampak mampu menggugah semangat penontonnya dengan suara yang keras dan raut muka yang garang. Tetapi kalau saya perhatikan baik-baik selama 35 menit dia berbicara, tidak terdapat penjelasan yang memadai soal klaim adanya kebocoran dari perpajakan (360 trilyun), APBN (500 trilyun) dan subsidi energi (300 trilyun). Angkanya terdengar fantastis, tetapi sumber data tidak terlihat dengan jelas, mekanisme perhitungannya juga tidak jelas, dan lebih lucu lagi, apabila tuduhannya benar, semua isu yang dibawa dalam presentasi itu jelas menyalahkan anggota koalisinya yang merupakan bagian dari pemerintahan saat ini. Lebih parah lagi, Prabowo menyatakan bahwa subsidi energi adalah bentuk kebocoran, tapi dalam kampanyenya saya baca sendiri dia ingin mempertahankan subsidi BBM dan pupuk. Jadi ini contoh ketegasan atau plin plan, beda forum, beda omongan?
Saya sangat berharap bahwa definisi pemimpin tegas bukan lah sebagaimana saya sampaikan di atas, karena kalau demikian, tidak perlu Prabowo, saya pun juga sudah bisa jadi Presiden Republik Indonesia dengan modal orasi suara keras dan meyakinkan. Bahkan lebih jauh lagi, banyak khotib Sholat Jumat dengan penampilan yang lebih tegas lagi juga siap jadi Presiden. Saya nominasikan khotib reguler di Mesjid Bursa Efek Indonesia, dijamin Prabowo pun kalah soal suara menggelegar dan berapi-api.
Lalu apa artinya pemimpin tegas versi Prabowo? Penulis artikel yang saya komentari memberikan contoh bahwa tidak ada wakil parlemen dari Gerindra yang terlibat kasus korupsi (berhubung KPK tidak mengeluarkan data per partai, saya tidak bisa verifikasi soal ini). Menurut si penulis, ini semua adalah karena Prabowo efektif memimpin Gerindra dan akan melibas setiap anggotanya yang terlibat dalam kasus korupsi (masih asumsi karena tidak ada penjelasan mengenai korelasi antara kepemimpinan Prabowo dengan ketaatan hukum anggota partai).
Tapi asumsikanlah kalau anggota Partai Gerindra taat hukum karena tangan besi Prabowo, lalu apakah kita bisa berasumsi bahwa Prabowo akan mampu menjalankan politik tangan besi kepada semua pihak? Gerindra adalah partai politik buatan Prabowo, beberapa calonnya dibiayai oleh Prabowo (setahu saya), dan jumlah kadernya belum terlalu banyak. Wajar kalau bisa dikontrol oleh Prabowo dengan pendekatan sistem komando. Pertanyaan utamanya, apakah gaya demikian bisa dipergunakan untuk mengontrol seluruh parlemen, birokrasi pemerintahan, dan segenap bangsa Indonesia?
Apa iya anggota partai politik lain akan manut begitu saja terhadap Prabowo? Bagaimana kalau mereka tidak setuju dengan Prabowo, mereka merasa tidak berhutang budi pada Prabowo, tidak dibayarin oleh Prabowo? Bagaimana kalau mereka merasa Prabowo mengganggu kepentingan politik mereka? Pendekatan tangan besi ala Gerindra (apabila benar demikian) adalah pendekatan yang sifatnya sangat konfrontatif. Bisa jadi berjalan dengan baik kalau semua setuju sistem komando. Tetapi ini bukan militer. Ini dunia nyata yang isinya orang-orang sipil dengan segala keinginan dan kepentingan pribadi mereka. Bagaimana caranya menyatukan perbedaan kepentingan tersebut sehingga bisa menghasilkan hasil yang maksimal? Ini yang tidak bisa dijawab oleh Prabowo dan pendukungnya.
Pertanyaan lebih lanjutnya, kalau pendekatan tangan besi tidak diterima oleh pihak lainnya, kelanjutannya akan seperti apa? Ini yang sebenarnya menimbulkan kekhawatiran, dan kekhawatiran itu beralasan. Kalau Prabowo melihat bahwa orang-orang tidak mau menurut pada dirinya setelah dia mencoba menggunakan pendekatan tangan besi, dia punya 2 pilihan. Satu, mencoba mencari konsensus (yang menurut penulis artikel di atas tidak cocok untuk Indonesia masa kini). Dua, menempuh metode yang lebih ekstrim, menyingkirkan orang-orang yang tidak setuju dengan pilihan yang dia ambil.
Kata beberapa pendukung Prabowo, tidak mungkin Prabowo akan mengambil Opsi 2. Saya senang kalau itu benar, tetapi lalu apa artinya slogan Prabowo adalah pemimpin yang tegas kalau ujung-ujungnya dia harus cari konsensus juga? Apa bedanya dia dengan Jokowi? Kalau dia benar-benar tegas sebagaimana selalu didengung-dengungkan, probabilitas dia mengambil Opsi 2 tentunya menjadi lebih besar.
Silakan baca artikel ini. Prabowo mempertanyakan konsep pemilihan langsung, konsep voting dalam demokrasi kita. Dia ingin mengadakan pertemuan besar dalam skala nasional untuk membuat "konsensus" baru. Dia menuduh sistem kita adalah cetakan Barat, dan bahwa pemilihan langsung tidak cocok dengan bangsa Indonesia. Bagaimana caranya saya tidak khawatir bahwa Prabowo memang benar-benar berencana untuk menghancurkan institusi demokrasi yang kita bangun dengan susah payah ketika dia sendiri jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya pada sistem yang kita miliki saat ini. Dan dalam konteks ini, saya sengaja memberikan tanda kutip pada kata konsensus yang digunakan oleh Prabowo, karena saya sangat mempertanyakan apa yang dia maksud dengan konsensus tersebut.
Saya tidak terlalu heran kalau ada orang yang mendukung ketegasan dan tangan besi ala Prabowo di atas. Institusi demokrasi bagi sebagian orang memang dianggap tidak berguna dan buang-buang uang, membuka lahan korupsi yang lebih luas. Orang-orang mempermasalahkan sulitnya mengambil keputusan saat ini. Sebagai contoh: lambatnya kita dalam melakukan pembebasan tanah untuk proyek kepentingan umum. Bagi orang-orang tersebut, kenapa para pemilik tanah yang bandel itu tidak disingkirkan saja dengan cepat supaya tidak mengganggu laju pembangunan?
Saya juga pernah berpikiran yang sama. Tahun 1998 ketika saya masih SMP, saya juga berpikiran bahwa Suharto seharusnya tidak dijatuhkan. Apa itu demokrasi yang tak jelas? Siapa pula Gus Dur, kok bisa-bisanya negara kita dipimpin oleh pemimpin yang memiliki cacat fisik yang nyata? Ini hasil demokrasi kita di tahun 1999? Tapi setelah saya belajar lebih jauh, masuk Fakultas Hukum, mendalami Law & Economics (Hukum dan Ekonomi) dan belajar Public Choice, saya sadar, pemikiran jaman SMP saya itu memang pemikiran kelas anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan saya akan sampaikan di bawah ini mengapa ilusi pemimpin tegas adalah suatu hal yang berbahaya dan faktanya juga sudah gagal karena diterapkan bertahun-tahun di Indonesia tanpa ada hasil yang signifikan.
Kegagalan dan Ilusi Pemimpin Tegas (Kasus Indonesia)
Permasalahan utama dengan pemimpin bertangan besi adalah karena, seperti disampaikan oleh penulis artikel yang saya tanggapi, manusia bukan malaikat (termasuk Prabowo dan saya). Karena manusia bukan malaikat yang pasti baik dan sempurna, maka kita tidak bisa percaya sepenuhnya pada manusia. Siapa yang tahu bahwa seorang pemimpin pasti akan baik untuk seterusnya, senantiasa bijak setiap saat?
Mengapa kemudian kita perlu menciptakan institusi demokrasi dan hukum? Jawabannya sederhana, karena kita ingin menciptakan sistem check and balance. Ini bukan sekedar konsep Barat atau apapun lah itu, ini konsep yang logis dan rasional, mencegah jangan sampai ada penyalahgunaan wewenang oleh satu institusi atau pemimpin kepada masyarakat karena kekuasaan yang terpusat dan tanpa tanggung jawab kepada siapapun akan mudah untuk disalahgunakan. Ingat kata-kata Lord Acton: kekuasaan cenderung koruptif, kekuasaan absolut akan koruptif secara absolut pula.
Jangan terjebak dengan ide bahwa Lord Acton adalah orang Barat dan kata-katanya di atas hanya pepesan kosong. Saya bahkan tidak perlu bersusah payah memberikan contoh negara yang berantakan macam Mesir. Indonesia sudah punya pengalaman berpuluh-puluh tahun dengan gaya kepemimpinan tegas dan kita bisa lihat sendiri hasilnya seperti apa.
Sukarno di tahun 1959 meruntuhkan institusi demokrasi dan hukum kita dengan membubarkan parlemen dan mengubah konstitusi kita secara ilegal. Tidak ada yang bisa melawan Sukarno karena dia didukung militer. Bahkan ketika saya membaca buku hukum tahun 1960-an pun, para Guru Besar juga tidak berani mengkritik dekrit Presiden yang jelas-jelas tidak konstitusional! Lalu apa hasil akhirnya?
Hasil akhirnya buruk sekali. Sukarno menjadikan MPR sebagai tukang stempel kebijakan pribadinya, dia diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup. Kebijakan politik Indonesia makin konfrontatif dengan bangsa lain, kita habiskan anggaran negara untuk program-program yang tidak jelas. Inflasi 600% lebih di tahun 1965-1966 dan akhirnya Sukarno disingkirkan. Ini contoh nyata hasil pemimpin yang memimpin dengan tegas berlandaskan keyakinan pribadi. Orang lapar tidak bisa dikasih slogan dan pidato.
Lalu kita bertemu dengan Orde Baru. Awalnya cukup sukses, kondisi negara membaik, Presiden Suharto mau mendengarkan (kata kunci: mendengarkan) penasihat ekonominya. Tapi lalu apa hasil akhirnya? Dia berkuasa terlalu lama dan berhenti mendengarkan. 32 tahun berkuasa, Indonesia harusnya lepas landas jadi negara adidaya, Singapura dan Malaysia harusnya bahkan bukan saingan kita. Namun semuanya omong kosong belaka. Di akhir pemerintahan, kita memiliki sistem demokrasi dan hukum yang lemah, birokrasi yang tidak efisien dan mental yang koruptif, krisis ekonomi, dan daya saing yang lemah.
Bayangkan, selama 32 tahun itu, kebijakan kurang tegas bagaimana lagi? DPR/MPR hanyalah tukang stempel. Atas nama rakyat (entah rakyat yang mana) dan kepentingan umum, semua bisa dilakukan oleh Pemerintah. Tidak ada yang akan melawan karena yang melawan sudah pasti lenyap. Menelurkan suatu undang-undang semudah membalikkan telapak tangan. Biaya pemilu juga tidak besar-besar amat, toh kita semua sudah tahu siapa pemenangnya setiap 5 tahun sekali.
Dan selama 32 tahun itu, Pemerintah dan Propinsi-Propinsi mayoritas dipimpin Jenderal (gubernur di Jakarta juga mayoritas Jenderal). Orang-orang berargumen kita butuh kembali dipimpin militer yang kuat (kasihan SBY, dia mantan Jenderal juga, tapi tidak dianggap representasi militer). Lah, selama 32 tahun itu mereka melakukan apa? Kenapa tidak ada yang melaksanakan pembangunan infrastruktur ketika semua masih gampang untuk dilakukan?
Lihat Jakarta, tidak ada yang pernah menjalankan pembangunan MRT di masa lalu padahal orang-orang bisa memperkirakan bahwa Jakarta akan menjadi kota megapolitan dengan memperhitungkan tingkat pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia, level urbanisasi dan ketimpangan pembangunan di daerah. Kota seperti itu sudah pasti butuh sistem transportasi massal untuk mencegah kemacetan. Lebih ironis lagi, Jerman dan konsultannya sudah menawarkan program serupa sejak 1969! Tapi tidak jalan sampai baru di tahun 2013 ini akhirnya dimulai. Lalu fungsi pemimpin tegas itu apa?
Di jaman Orde Baru, kita sudah punya yang disebut sebagai Program Pembangunan Lima Tahunan dan Program Pembangunan Jangka Panjang. Isinya bagus dan rinci. Di atas kertas, dengan program demikian, harusnya kita sudah betul-betul jadi negara adidaya setara Jepang dan Amerika Serikat. Tetapi kenapa tidak terlaksana dengan benar padahal Indonesia dipimpin oleh orang paling tegas di planet Bumi ini? Sekarang, bahkan kita tidak pantas dibandingkan dengan Jepang dan Amerika. Bandingkan saja dulu dengan Singapura dan Malaysia, bagaimana status kita?
Kenapa Indonesia bermasalah seperti itu walaupun sudah dipimpin pemimpin tegas? Jawabannya sederhana, karena sistem check and balance tidak jalan. Tidak ada mekanisme kontrol dari masyarakat terhadap kinerja Pemerintah karena tidak ada yang berani untuk melakukan hal itu. Saya sudah sering sampaikan di blog saya bahwa manusia adalah makhluk rasional yang mengutamakan kepentingan pribadinya terlebih dahulu. Kalau orang jadi pemimpin yang bisa bebas melakukan apa pun termasuk memperkaya diri sendiri tanpa perlu dimintai pertanggungjawaban, jelas orang tersebut akan memiliki insentif untuk berbuat seenaknya. Maka tidak heran program-program itu cuma jadi macan kertas dan institusi kita berantakan.
Sekarang saya tanyakan kepada orang-orang yang mengklaim bahwa kita butuh menyelamatkan Indonesia dengan pemimpin tegas. Apa yang mau diselamatkan? Bagaimana nanti si pemimpin tegas ini akan menyelamatkan kita semua? Apa jaminannya dia bisa menyelamatkan kita? Lebih penting lagi, cara dia untuk menyelamatkan kita itu akan menyelesaikan masalah atau justru menimbulkan masalah baru yang lebih berat lagi bagi kita? Bisa tidak tim Prabowo menjelaskan dengan lebih baik, lebih rinci, visi misi mereka tentang pemimpin tegas itu seperti apa. Karena kalau mengandalkan informasi yang ada sejauh ini, penjelasannya tidak memuaskan.
Selain itu, visi adanya pemimpin tegas yang akan menyelamatkan satu negara ini mungkin lebih tepat disebut sebagai mimpi belaka. Karena dalam kenyataannya, tidak ada orang yang bisa memimpin negara ini sendirian, orang tidak bisa bertarung sendirian sehebat apapun dia karena pada akhirnya kita butuh kerja sama.
Saya sudah sering melihat contoh pemimpin bisnis tangguh yang gagal membangun institusi dan penerus sehingga ketika dia meninggal atau pensiun, maka bisnis yang sebelumnya kuat berjalan menjadi tinggal kenangan saja. Mengapa? Karena dia tidak bisa mendidik generasi penerusnya. Mereka cuma jadi orang-orang yang tidak bisa berdiri dan berjalan sendiri, selalu menunggu untuk diberi instruksi dan akhirnya bagai anak ayam kehilangan induknya ketika si pemimpin lenyap.
Orde Baru juga salah satu contohnya. Dulu katanya kasus intoleransi di negara kita rendah, dan kemudian baru banyak tercatat di masa reformasi. Mengapa demikian? Saya pikir bukan karena pendidikan di masa reformasi ini salah, tetapi justru karena sedari awal sikap intolerasi hanya ditekan saja keberadaannya. Kita tidak dididik dengan benar untuk bisa menerima perbedaan, menerima konsep Bhineka Tunggal Ika secara menyeluruh. Kita taat saat itu hanya karena takut bukan karena kita benar-benar percaya bahwa toleransi itu penting. Hasilnya? 32 tahun yang sia-sia karena manusia kita tidak tercerahkan. Dan anda masih percaya bahwa sistem tangan besi akan memberikan hasil yang maksimal?
Alternatif Dari Pemimpin Tegas: Membangun Konsensus dan Ketegasan Berdasarkan Check and Balance
Sebenarnya ada alternatif lain yang lebih tepat untuk diterapkan di negeri kita, yaitu pendekatan konsensus. Kita bukan bangsa Cina atau Jepang yang sangat homogen. Mereka tidak bisa dibandingkan dengan kita yang terdiri atas ribuan suku dan etnis dengan ragam agama dan budaya yang begitu banyak. Mau menggunakan pendekatan top down lagi? Berjalan 40 tahun lebih dan terbukti gagal. Mengapa kita justru tidak membina dan memperbaiki lagi institusi demokrasi dan hukum kita, mengedepankan pendekatan berbasis konsensus?
Saya hampir 10 tahun menjadi corporate lawyer menangani ratusan negosiasi untuk transaksi bisnis dan berdasarkan pengalaman tersebut, pendekatan yang diperlukan ketika kita ingin menutup suatu transaksi adalah dengan jalan mencari konsensus, mencari pendekatan yang sebisa mungkin memuaskan semua pihak dan akan selalu ada proses give & take. Ini adalah bagaimana dunia aktual berjalan karena kita tidak bisa memaksakan semua keinginan kita kepada pihak lain.
Pendekatan berbasis konsensus juga membutuhkan dialog dan dialog ini lah yang akan membuat para pihak bisa saling menyadari manfaat yang dapat diambil dari suatu keputusan, biaya keputusan itu serta kompensasi yang diharapkan. Sebagai lawyer, saya lebih memilih untuk ribut di awal ketika kita bernegosiasi dan menyusun kontrak, tetapi kemudian pada saat pelaksanaannya nanti, semua berjalan dengan baik karena semua pihak sudah tahu hak dan kewajibannya dan sudah dijaga supaya tidak mudah melenceng. Potensi konflik masa depan menurun karena sudah ada dialog. Kalau saya cuma bisa memaksa, bukan saja konflik di awal, tetapi juga akan konflik di akhir!
Kalau Pemerintah perlu mengambil suatu keputusan demi kepentingan umum yang mungkin akan merugikan pihak tertentu, maka pendekatan berbasis konsensus lah yang harus diutamakan baru kemudian bisa diambil langkah lainnya setelah konsensus tidak dapat dicapai. Bukankah pendekatan ala musyawarah mufakat itu yang dianut dalam Sila Keempat Pancasila? Bahkan kalau kita mau bicara jujur, pendekatan ala tangan besi tidak dikenal dalam Pancasila dan UUD 1945 (beserta amandemennya), lalu mengapa kita justru memilih pendekatan tangan besi? Prabowo ini setia pada Konstitusi atau tidak sebenarnya? Jangan lupa bahwa konsep pemilu adalah amanat undang-undang dan Konstitusi!
Selanjutnya soal ketegasan berbasis check and balance, saya ada contoh menarik. Si penulis artikel yang saya komentari di atas mengkritik kebijakan Jokowi di Jakarta ketika dia menaikkan Nilai Jual Objek Pajak atas tanah dan properti di Jakarta. Selain dituduh kebijakan populis, mekanisme yang ditawarkan kepada masyarakat yang menolak kenaikan NJOP, yaitu banding ke Pemda DKI, dinilai oleh si penulis sebagai menambah birokrasi yang tidak perlu dan menyusahkan. Saya sungguh bingung dengan contoh yang diberikan oleh penulis ini. Mengapa demikian?
Karena justru program itu menunjukkan bahwa Jokowi tetap ingin menjalankan sistem check and balance dalam menjalankan kebijakannya yang belum tentu disetujui semua orang. Kalau kita pakai logika si penulis soal pemimpin tegas ala Prabowo, bahkan mekanisme banding itu tidak akan diperlukan seandainya Prabowo yang memutuskan untuk menaikkan NJOP. Buat apa ada mekanisme banding? Kan memimpin berdasarkan keyakinan? Saya sudah yakin seyakin-yakinnya bahwa NJOP perlu naik, buat apa saya memberikan forum untuk banding, saya tidak perlu mendengarkan masukan orang lain. Ini kalau kita pakai logika si penulis.
Lebih lanjut lagi, program itu justru bukti nyata bahwa Jokowi berani mengambil posisi yang tegas dalam pengambilan kebijakan. Saya jujur saja. saya benci pajak karena saya harus bayar mahal untuk pajak saya. Dan dalam bidang pajak, saya tidak suka dengan kebijakan Jokowi maupun Prabowo. Tetapi saya cukup yakin kalau saya perhatikan visi dan misi masing-masing Capres, Prabowo (dengan isu kebocorannya) dan Jokowi akan sama-sama meningkatkan pendapatan pajak, dan ada kemungkinan besaran pajak akan naik lagi bagi orang-orang seperti saya. Masalahnya, Jokowi tegas menyatakan dan sudah berani melakukan kebijakan yang membuat orang mungkin tidak suka dengan dia. Dan dia bersedia dikritik dan membuka ruang kepada orang yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Prabowo? Sejauh ini masih bersembunyi dibalik isu kebocoran, dan juga tidak jelas bagaimana caranya dia akan menghadapi orang yang tidak setuju. Lalu siapa sebenarnya pemimpin yang tegas itu? Jawab dengan jujur, bukan dengan retorika omong kosong.
Contoh juga program menaikkan upah minimum di Jakarta oleh Jokowi. Diberlakukan untuk semua perusahaan di Jakarta. Ada yang menolak? Jelas sekali ada. Saya juga tidak setuju. Namun diberikan mekanisme banding serta mekanisme pengesampingan pemberlakuan kewajiban UMP kalau ternyata mereka belum siap untuk menaikkan UMP. Ini contoh pemimpin yang berani bersikap tegas menjalankan kebijakannya tetapi terbuka untuk kritik. Ini contoh ketegasan yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dan ini yang perlu kita jaga di Indonesia kalau kita sungguh ingin lepas landas.
Kesimpulan Sementara
Saya sudah sampaikan alasan-alasan saya bahwa saya tidak tertarik dengan pemimpin bertangan besi dan bahwa dalam prakteknya, keberadaan pemimpin bertangan besi sudah gagal di Indonesia, membuka pintu yang terlalu besar bagi penyalahgunaan, dan kemungkinan besar tidak akan sukses mendidik generasi baru Indonesia yang berdikari dan siap bersaing dengan bangsa lainnya. Saya berharap sebenarnya ada orang yang bisa menjelaskan dengan lebih baik lagi soal ketegasan ini, namun sayangnya orang tersebut tidak ada.
Oleh karenanya, dengan hanya adanya 2 calon, dan dengan memperhatikan hasil debat presiden bidang hukum dan ekonomi (yang saya tulis sebelumnya) serta konsepsi pemimpin tegas, sejauh ini dukungan saya masih tetap saya berikan kepada Jokowi. Dan saya sampaikan di sini, dengan skor 3-0 seperti ini, sudah kecil kemungkinan saya untuk memindahkan dukungan kepada Prabowo kecuali dia berani janji bahwa rate pajak turun jadi maksimal 10%. Baru lah dia pantas didukung.