Bosan mendengar pidato yang tak berkesudahan itu, saya akhirnya berdiri dan menyatakan: "anda semua ini sedang mempraktekkan kesombongan intelektual, apanya yang agen perubahan sementara sebagian besar dari anda saja masih hidup di bawah lindungan orang tua." Sayang saya tak bisa berlama-lama menyampaikan uneg-uneg saya karena rekan-rekan seangkatan sudah memelototi saya. "Orang macam gini nih yang bikin angkatan bakal dihukum ramai-ramai," mungkin itu yang ada di pikiran mereka. Tapi saya jujur memang tak suka dengan klaim bombastis itu, khususnya ketika mereka mengklaim mahasiswa sebagai pencerah masyarakat akar rumput. Mungkin karena saya salah satu korban krisis 1998, saya tak bisa berleha-leha memikirkan nasib bangsa karena yang saya tahu kalau saya tak cepat-cepat lulus dan punya prestasi, nasib masa depan saya tak akan jelas-jelas amat.
Saya tak habis pikir, bagaimana caranya orang-orang yang sangat cerdas dan terpelajar ini berpikir bahwa mahasiswa bisa dididik menjadi agen perubahan yang peduli pada nasib rakyat dan sebagainya sementara pola orientasinya sangat feodalistis. Contoh nyatanya? Komisi disiplin, sebuah komisi yang menurut saya tak ada gunanya selain memberikan kesempatan kepada mahasiswa yang lebih senior untuk memarahi anak-anak juniornya. Dan untuk apa? Menciptakan kedisiplinan? Kedisiplinan macam apa yang akan didapat dari marah-marah tak jelas seperti itu? Masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Cocok buat lucu-lucuan setelah selesai, tetapi kalau program ini diharapkan akan mengubah pola pikir mahasiswa secara fundamental, lupakan saja itu.
Pada saat angkatan saya diminta untuk mengurus acara orientasi untuk mahasiswa angkatan 2002, saya mendapatkan posisi mengurus tim Mentor Akademik. Saya bermimpi bisa menciptakan sistem mentor yang baik dimana mahasiswa junior bisa mendapatkan rekan senior yang akan membantu mereka di bidang akademik, memberikan petunjuk tentang apa saja yang harus dipersiapkan dalam menghadapi kegiatan belajar di kampus dan agar hubungan antara mentor dan adik kelasnya bisa berjalan baik. Tapi sayangnya acara mentoring lebih banyak dipotong dan oleh karenanya menjadi tidak efektif. Untuk apa? Tentu saja untuk acara kedisiplinan yang maha seru itu.
Kisah saya belum selesai. Setelah program ospek (versi lebih kasar dan keras dari orientasi) dihilangkan di tahun 2000, tiba-tiba muncul ide jenius dari fakultas untuk mengembalikan ospek terhadap angkatan 2003 dan angkatan saya diminta untuk mengurus acara tersebut. Katanya acara ini diperlukan untuk meningkatkan solidaritas angkatan dan supaya murid tak kurang ajar kepada seniornya. Heh? Ini luar biasa, sudahlah angkatan saya sebenarnya menikmati tak perlu merasakan ospek, sekarang kita akan memulai lagi ritual bodoh itu? Saya hanya bisa menyampaikan kemarahan di forum angkatan, tetapi acara itu pada akhirnya tetap berjalan dan sejauh yang saya tahu masih tetap berlanjut. Dikembalikannya program ospek membuat saya makin bertanya-tanya, apa sebenarnya yang dimaksud dengan menciptakan mahasiswa sebagai agen perubahan? Apa yang mau diubah kalau tradisi yang buruk saja justru diulang kembali?
Tahun 2004, saya diminta mengisi acara orientasi untuk mahasiswa baru sebagai pemenang kompetisi Mahasiswa Berprestasi Utama FHUI. Acara yang menyenangkan, kapan lagi saya punya kesempatan untuk menyampaikan kepada para mahasiswa baru bahwa seluruh sistem yang dibangun di kampus adalah sistem feodal? Ekspresi muka komisi disiplin dan beberapa dosen di kursi belakang auditorium ketika saya mengkritik sistem absurd itu tidak akan saya lupakan, priceless. Dan saya tidak menyesali sedikit pun kalimat yang saya sampaikan di forum itu: "Mahasiswa harus ambisius, harus mandiri, dan punya cita-cita jadi orang besar. Lebih penting lagi, hargai rekan yang juga ambisius dan berani untuk mengejar cita-citanya." Saya minta beberapa mahasiswa yang waktu itu berani bicara untuk menyampaikan pandangan mereka, dan kalau bisa, dalam bahasa Inggris. Setelah selesai, tak lupa saya ingatkan untuk memberikan tepuk tangan meriah karena mereka berani bicara. Kenapa tidak?
Apa yang anda harapkan dari sistem pendidikan yang hanya diwarnai kekerasan dan doktrin-doktrin tak bermutu tanpa memperhatikan insentif manusianya sama sekali? Saya belum pergi ke Amerika saat itu, tapi saya bahkan tak perlu pergi jauh-jauh ke Amerika sekedar untuk menyatakan bahwa sistem orientasi universitas kita sedari awal sudah tak masuk akal dan tidak dibangun berdasarkan data atau pun teori yang valid!
Tak kalah penting dari isu feodalisme, mana mungkin mahasiswa bisa menjadi agen perubahan kalau etos kerja dan belajarnya culun? Kuliah jaman saya adalah kuliah yang gampang. Saya punya banyak waktu untuk membaca buku-buku lainnya karena untuk kuliah saya hanya perlu belajar diktat. Sebagian besar bahan ajar (kalau bukan 100%) ada di diktat. Bahkan sebenarnya beberapa mata kuliah tidak perlu pertemuan. Untuk apa? Baca saja diktatnya, semua sudah ada di situ. Beberapa mata kuliah juga hanya menguji kekuatan hafalan kita (dan jelas lebih banyak dibandingkan dengan soal yang bersifat analitis). Tidak sulit karena tidak membutuhkan analisis yang mendalam. Apa ini metode belajar yang akan kita terus gunakan untuk menciptakan agen perubahan?
Saya berani menjamin kalau dulu saya diterima dan mengambil Master dan PhD di University of Chicago segera setelah lulus kuliah, saya kemungkinan besar tak akan lulus. Alasan utama mengapa saya bisa menjalankan tugas membaca paper dan buku ratusan halaman per minggu serta ujian yang sifatnya murni analitis adalah karena saya sudah bekerja bertahun-tahun sebagai konsultan hukum. Kalau tanpa etos kerja sebagai konsultan, bubar jalan dengan beban seberat itu. Tak heran Chicago menyediakan layanan konseling psikologi untuk mahasiswa hukum sekaligus pasangan hidupnya karena tingkat stress mahasiswa bisa berpengaruh ke pasangannya.
Tentunya saya berpikir positif bahwa pengalaman buruk saya di Indonesia hanya terjadi di jaman saya, dan bahwa kini pandangan saya itu sudah usang dan tidak sesuai fakta. Tetapi ketika saya sempat diberikan kesempatan mengajar di FHUI dan FH UGM di tahun 2013, saya mendapati bahwa ternyata etos belajar mahasiswa belum banyak berubah. Makalah-makalah yang saya bagikan gratis tidak dibaca sama sekali, walaupun sepengetahuan saya, kampus kita di Indonesia belum cukup kaya untuk membeli akses terhadap jurnal-jurnal yang saya bagikan tersebut. Tetapi yang membuat saya lebih kecewa lagi adalah karena bahkan tidak ada perasaan bersalah sama sekali dari para mahasiswa tersebut. Mereka tertawa renyah ketika saya tanya, "kalian semua tidak ada yang baca papernya ya?"
Oke lah, mungkin saya berharap terlalu jauh kalau etos membaca dan belajar itu bisa dibangun dalam sekejab, tetapi 10 tahun sudah berlalu sejak saya lulus kuliah dan saya masih menemukan kasus seperti ini di 2 universitas yang berbeda? Atau mungkin sampel data saya tak mencukupi karena hanya 2 kelas. Tak representatif sama sekali, cuma anekdot. Sunguh, saya berharap saya 100% salah, bahwa kondisi yang saya temui itu hanya anomali belaka dan bukan kenyataan secara umum. Karena kalau ini berlaku secara umum, negara kita benar-benar berada dalam keadaan darurat, darurat yang serius, bukan darurat yang mengada-ngada yang dibuat demi pencitraan murahan.
Saya sudah menulis panjang lebar sebelumnya soal isu pendidikan di Indonesia dalam tulisan "Mendidik Bukan Sekedar Pengabdian." Kalau tulisan tersebut berbicara soal penawaran (supply) pendidikan (soal bagaimana kita memberikan insentif kepada dosen/pengajar untuk memberikan kinerja terbaiknya), sekarang kita berbicara soal permintaan (demand) terhadap ilmu. Saya tak berbicara tentang bagaimana menciptakan mahasiswa yang siap bekerja. Itu sudah merupakan suatu keharusan, saya berbicara tentang bagaimana caranya agar mahasiswa bisa memiliki etos belajar yang kuat, mencintai ilmunya dan mau berpikir secara analitis dan mendalam. Tidak grasak-grusuk dan tak sabaran.
Jujur saja, saya melihat ada semacam kecenderungan di negara yang kita cintai ini bahwa intelektualitas itu tidak terlalu dibutuhkan. Bahwa isu intelektualitas cuma berkutat dengan teori. Dan tanpa praktek, teori-teori itu tak ada gunanya. Mau tahu hasilnya seperti apa? Hasilnya seperti yang kita dapat sekarang, ketika gema "kerja, kerja, dan kerja" tidak didukung dengan "riset, data, dan analisis." Ngasal sekali kalau mengklaim orang pintar di Indonesia sudah kebanyakan, dan yang kurang adalah yang mau berpraktek langsung. Kalau benar jumlahnya banyak, bagaimana mungkin kebijakan disusun secara ngasal?
Atau anda pikir anda sudah jagoan di lapangan, terbiasa berpikir pragmatis dan kreatif? Anda tidak akan bisa jadi orang pragmatis kalau pengetahuan teoretis anda melempem. Saya bicara dari pengalaman saya menjadi konsultan hukum yang menangani beragam transaksi kompleks bernilai ratusan juta dolar. Richard Posner tidak akan bisa mengembangkan filosofi pragmatisme dalam mengadili kasus hukum sebagai hakim seandainya dia bukan salah satu orang paling pintar dan paling banyak baca yang pernah saya lihat di Amerika Serikat. Kalau anda pikir mengurus negara bisa dilakukan dengan modal niat baik dan niat kerja saja, anda tak layak jadi pemimpin. Dan kalau dari kecil anda sudah berpikiran seperti itu, kaderisasi kita berarti gagal total!
Bagaimana mungkin saya tak khawatir, sebuah lembaga pemberi beasiswa negara sempat berpikiran bahwa cara terbaik untuk melatih para peserta beasiswa adalah dengan jalan latihan baris berbaris dan program motivasi. SALAH! Mereka tak butuh program-program seperti itu. Mereka butuh program yang bisa membuka jaringan baru bagi mereka, yang memberikan panggung bagi mereka untuk menunjukkan bahwa mereka layak dan bermutu untuk menerima beasiswa tersebut. Kalau mereka sudah diterima di universitas top dunia, artinya mereka sudah lulus seleksi, tinggal mengembangkan saja. Untuk apa lagi diberikan program pelatihan yang tak nyambung? Kenapa bisa begini? Ya kalau universitas saja masih membiarkan program orientasi berbasis gaya feodal, jelas saja pemikirannya mandeg sampai usia tua karena sudah dibiasakan feodal sejak kecil. Anti teori pula, cukup pakai wangsit dari alam gaib.
Kemudian anda pikir isu penyusunan kebijakan publik itu semudah membalikkan telapak tangan? Saya ingat sempat diundang menjadi pembicara untuk acara diskusi di FEUI dengan tema Victimless Crime. Saya sampaikan, judulnya saja sudah salah. Kalau kita menghitung kemaslahatan sosial (social welfare) secara menyeluruh, maka tidak ada yang namanya kejahatan tanpa korban, karena setiap kerugian terhadap satu individu akan berpengaruh terhadap kemaslahatan seluruh masyarakat. Contoh: seks bebas. Apakah seks bebas tidak ada biayanya? Jelas ada, biaya kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular, stigma buruk secara sosial, dan sebagainya. Pertanyaannya, kalau kita disuruh mengurus isu ini, kebijakan apa yang akan diambil? Apakah akan kita hukum pelakunya? Siapa yang melaksanakan pengawasan? Memangnya kita bisa mengawasi seluruh rumah dan hotel di seluruh Indonesia? Atau lebih baik kalau kita misalnya menggunakan pendekatan pendidikan seks dan kontrasepsi? Pendekatan moral tidak akan bisa memberikan solusi karena pendekatan ini cuma bisa bicara "pokoknya."
Di acara itu juga dibahas soal prostitusi. Beberapa mahasiswa berargumen bahwa prostitusi lebih baik dilegalkan karena akan memberikan pendapatan kepada negara dalam bentuk pajak. Saya katakan bagus, tapi jawaban seperti itu levelnya baru sekedar lulus tahapan pemberantasan buta huruf dalam ilmu ekonomi. Di tahap yang lebih tinggi, kalau kita melegalisasi suatu industri, maka akan ada juga biaya pengawasan untuk memastikan bahwa semua pemain bermain sesuai aturan. Berapa biayanya? Lebih murah dibandingkan dengan seandainya prostitusi tetap ilegal? Lalu katakanlah kita akan memajaki industri prostitusi dan mengumpulkan mereka di satu lokasi. Seandainya pajaknya terlalu tinggi dan harga prostitusi menjadi terlalu mahal di atas harga pasar naturalnya sehingga permintaan menurun, akan ada insentif untuk memunculkan pasar gelap yang menawarkan harga lebih murah supaya industri tersebut tetap bertahan, dan jelas akan ada biaya untuk memastikan bahwa pasar gelap tersebut tidak berjalan. Ini berarti legalisasi saja tidak cukup kecuali kita juga memikirkan efek substitusi dalam bentuk penciptaan kesempatan yang lebih baik bagi pelaku prostitusi.
Dari 2 isu di atas, sudah bisa dilihat kompleksitas dari permasalahan yang seringkali hanya dilihat hitam-putihnya saja di Indonesia. Ini baru 2 masalah, dan percayalah, masih banyak isu yang lebih penting dan mendesak di Indonesia. Negara kita tak pernah kekurangan masalah. Pertanyaannya, apa mungkin kita bisa memberikan jawaban yang tepat kalau landasan keilmuan kita serta penguasaan sarana teknisnya tidak mencukupi? Jelas tidak! Tanpa pengetahuan teoretis yang cukup, anda cuma akan jadi generasi asal bunyi. Lebih buruk lagi, sudahlah asbun dalam berpikir, lantas merasa bisa mengubah dunia dengan modal niat baik, tak tahunya berhasil mendapatkan jabatan publik dan langsung berpraktek dengan ilmu seadanya. Resep sempurna untuk menciptakan negara odal-adul.
Teori dan praktek saling membutuhkan! Sebelum aktif berkiprah, inteleknya juga harus mumpuni. Sayangnya saya belum melihat etos untuk mengejar ilmu setinggi-tingginya tersebut sudah berjalan secara maksimal di Indonesia. Semua ingin diburu-buru, serba instan. Yang penting terkenal dulu saja, mikir belakangan. Apakah kita akan mengulangi lagi kesalahan yang sama seperti yang sedang kita lihat saat ini? Merasa bisa memperbaiki bangsa, tak sabar menanti prosesnya, sehingga akhirnya dengan semangat yang meluap-luap yakin bisa menyelamatkan masyarakat akar rumput? Halo, kita semua adalah bagian dari akar rumput tersebut! Sendirian, kita semua bukan siapa-siapa bahkan sekalipun anda masuk daftar 100 orang terkaya Indonesia versi Majalah Globe. Negara ini terlalu besar untuk dipegang satu orang. Lupakan model berpikir dimana kita sendirian bisa menyelesaikan semua masalah. Anda perlu bagi-bagi tugas. Inilah fungsi pendekatan multidisipliner.
Jadi, bagaimana agar ada insentif bagi mahasiswa untuk bisa menjadi kader dan agen perubahan yang diidam-idamkan sejak lama itu? Apakah ada kewajiban moral untuk menjadi agen perubahan? Saya tidak percaya kewajiban moral yang tak jelas, saya lebih percaya bahwa setiap orang ingin memaksimalkan manfaat yang ia terima. Pikirkan kembali insentif dan prioritas anda. Ingin lahir, hidup, dan mati sebagai orang biasa? Atau ingin menjadi orang yang luar biasa? Kalau ingin menjadi luar biasa, sudah dipikirkan bagaimana caranya agar langkah menjadi luar biasa itu akan tercapai? Atau hanya akan menjadi impian omong kosong saja? Apakah cara untuk menjadi luar biasa hanya ada satu atau banyak?
Satu hal yang pasti, anda tak bisa jadi luar biasa kalau etos belajar saja belum punya. Tanpa rasa keingintahuan yang tinggi, kita akan cepat berpuas diri akan pengetahuan kita, dan tak lama kemudian kita merasa sudah tahu segalanya. Ini mengapa saya bersyukur pergi ke Chicago dan sekali lagi mengalami perasaan frustrasi yang amat sangat ketika saya harus menerima kenyataan bahwa pengetahuan teknis saya masih tertinggal terlalu jauh. Ilmu hukum saja tak cukup ternyata untuk menghadapi kompleksitas permasalahan dunia.
Saya tak bilang bahwa kemudian mahasiswa tak boleh berpolitik atau berorganisasi. Seperti yang saya sampaikan, anda semua punya prioritas masing-masing. Pesan saya hanya pastikan benar-benar bahwa langkah yang anda ambil itu sudah dipertimbangkan masak-masak. Dunia mahasiswa adalah transisi dari masa remaja ke dunia orang dewasa, pastikan langkah yang akan anda ambil tidak akan anda sesali di kemudian hari. Mulailah bertindak dewasa dengan memilih jalur hidup anda sendiri. Selamat memilih!