Di tempat lain, Dodi, seorang politisi, dan Emir, akademisi, beradu argumen lewat Twitter mengenai suatu kebijakan publik. Dua-duanya belum pernah bertemu dan berinteraksi sebelum timbulnya isu ini dan hanya berdebat gara-gara seorang follower Emir yang kebetulan di-follow oleh Dodi, me-RT twit dari Emir. Dalam debat tersebut, keduanya naik darah dengan cepat. Emir menuduh Dodi bahwa ia tidak paham peranannya sebagai politisi dan hanya menghambur-hamburkan uang rakyat guna membuat kebijakan yang buruk. Tersinggung dengan pernyataan Emir, Dodi balas menuduh bahwa Emir hanyalah seorang plagiator yang tidak layak untuk menjadi akademisi. Keduanya kemudian sama-sama pergi ke polisi untuk saling melaporkan lawannya dengan tuduhan penghinaan di muka publik melalui media elektronik.
Fransiska, seorang wiraswasta muda, baru saja menikmati makanan yang sangat tidak enak dan pelayanan yang tidak memuaskan di Ristorante G, sebuah restoran Italia yang dikenal sebagai lokasi terbaru berkumpulnya para profesional muda yang trendi di Jakarta. Fransiska kemudian menulis ulasannya tentang Ristorante G di blog pribadinya dan memberikan penilaian yang sangat negatif terhadap restoran tersebut. Tak lama kemudian, pengunjung Ristorante G menurun drastis. Alasannya tak jelas, salah satunya mungkin karena ulasan negatif dari Fransiska yang kebetulan sedang naik daun sebagai food blogger. Gunawan, pemilik Ristorante G, kemudian melaporkan Fransiska ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Alasannya? Ulasan Fransiska tidak objektif, berlebih-lebihan dan sangat merugikan bisnis Gunawan.
Kasus-kasus penghinaan dan pencemaran nama baik memang tidak akan pernah ada habisnya. Dalam waktu 2 minggu sejak saya membahas kasus Florence Sihombing, saya sudah mendengar 3 kasus baru tentang penghinaan: tukang sate yang dituduh menghina Presiden (karena memfitnah Presiden dan menyebarkan video porno palsu), penyair yang dituduh mencemarkan nama baik seorang konsultan survei politik (karena menyatakan bahwa si konsultan tak layak dianggap sebagai sastrawan), dan istri dari seorang pegawai yang dituduh menghina bos pegawai tersebut di muka umum (karena marah-marah di Facebook atas keputusan bos suaminya yang menurutnya tidak adil). Menurut saya, masih cukup maraknya kasus pidana penghinaan setelah ada beberapa kasus yang ramai di media (semisal kasus Prita vs RS Omni dan Benhan vs Misbakhun) merupakan gejala yang mengkhawatirkan. Sayangnya, secara umum masyarakat kita masih adem-ayem dan masih lebih sibuk mengomentari soal apakah bahasa Inggris Presiden kita hitungannya bagus atau tidak ketika ia berpidato di forum APEC.
Bisa jadi kekhawatiran saya tidak beralasan. Dari 240 juta manusia di Indonesia, mungkin secara statistik, kasus penghinaan yang masuk ranah pidana hitungannya tidak seberapa dan oleh karenanya belum layak menjadi perhatian. Walaupun ada beberapa korban, mereka yang sibuk menghina orang lain juga banyak yang tidak dipidanakan, jadi secara probabilistik, kecil kemungkinannya dikenai sanksi dan oleh karenanya, masyarakat tidak khawatir bahwa mereka bisa dipidana karena salah ucap baik di ruang publik atau di hadapan orang tertentu. Hal ini membutuhkan penelitian empiris lebih lanjut, tetapi sebelum kita sampai ke situ, saya ingin menyampaikan beberapa konsep normatif yang perlu kita renungkan mengenai pemidanaan terhadap penghinaan.
Merujuk ke Bab XVI KUHP yang membahas penghinaan dan kawan-kawannya, secara umum, penghinaan didefinisikan sebagai penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal, dengan maksud agar hal tersebut diketahui secara umum. Kemudian apabila diminta untuk membuktikan apakah hal yang dituduhkan itu benar dan kemudian pelaku tidak bisa atau tidak mau membuktikannya, maka ia bisa juga dituduh melakukan fitnah dengan pidana penjara yang lebih berat dari sekedar penghinaan biasa.
Apabila ternyata hal yang dituduhkan tidak bersifat pencemaran nama baik, sekalipun dilakukan di muka umum atau hanya di depan muka pihak yang dituduh, maka tindakan tersebut akan masuk dalam kategori penghinaan ringan (dengan ancaman pidana yang juga lebih ringan). Selanjutnya, tuduhan di atas tidak akan dianggap sebagai pencemaran nama baik apabila perbuatan tersebut dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri. Terakhir, KUHP menyatakan bahwa perbuatan penghinaan tidak dapat dituntut jika tidak ada pengaduan dari pihak yang terkena kejahatan (tidak berlaku untuk penghinaan terhadap pejabat dan kepala negara).
Versi pasal penghinaan dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ("UU ITE") pada prinsipnya tidak berbeda jauh dengan KUHP, hanya memperberat sanksi dan mengubahnya menjadi delik laporan, yang berarti: tanpa pengaduan dari "korban" pun, pelaku penghinaan bisa tetap disidik dan dipidana, dan kasus tidak berhenti apabila pengaduan tersebut dicabut. Memang, karya agung anak bangsa ini membuat pasal-pasal kolonial buatan penjajah menjadi seperti mainan anak-anak. Kalau penjajah represif, maka bangsa sendiri tidak boleh kalah dalam hal bertindak represif. Itu kira-kira inti dari pasal pemidanaan penghinaan dalam UU ITE.
Pertanyaan utamanya adalah, perlukah kita memiliki aturan pidana soal penghinaan? Coba kita lihat contoh kasus yang saya berikan di awal. Semuanya berpeluang untuk masuk ranah pidana berdasarkan KUHP atau UU ITE, setidak-tidaknya masuk kategori penghinaan ringan. Namun akal sehat kita mungkin akan mulai membanding-bandingkan. Masuk akalkah apabila negara harus mengurusi Amir yang sakit hati karena ibunya dihina Badu? Bagaimana kalau misalnya Ibu Amir bukan pelacur? Apakah kasus ini akan dianggap sebagai fitnah? Pentingkah fitnah seorang Badu bagi Amir dan ibunya, khususnya apabila Amir adalah anak orang kaya nomor satu di Indonesia sementara Badu cuma anak tukang sapu? Bagaimana kalau status Amir dan Badu dibalik?
Atau bagaimana dengan kasus Dodi dan Emir. Dua orang yang sebenarnya tidak pernah bertemu di dunia nyata, dan juga probabilitas bertemunya sebenarnya sangat rendah. Mereka bisa tidak saling mengganggu dan bisa meneruskan hidup mereka dengan damai. Apakah pertengkaran karena emosi sesaat ini perlu diurus oleh negara?
Terakhir kasus seperti Fransiska dan Gunawan. Sekilas tampak layak untuk masuk ranah pidana. Ada kerugian yang nyata dan kerugian itu bersifat besar. Isunya adalah, apakah bisa dibuktikan ada kausalitas atau korelasi antara ulasan Fransiska dan memburuknya kondisi restoran Gunawan? Jangan-jangan kualitas Ristorante G memang mengecewakan dan pasar menghukumnya dengan jumlah pengunjung yang sedikit.
Doktrin klasik hukum pidana menyatakan bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium, yang berarti bahwa hukum pidana adalah langkah terakhir yang akan digunakan dalam menghadapi suatu permasalahan hukum. Walau mungkin ahli hukum klasik tidak paham ilmu ekonomi secara mendalam, mereka setidaknya paham bahwa hukum pidana tidak bisa dipakai sembarangan. Mengapa? Hukum pidana membutuhkan penegakan yang aktif oleh negara dan aparatnya (bedakan dengan penegakan hukum perdata yang sifatnya pasif dan dibiayai oleh para pihak yang terlibat melalui pembayaran biaya pengadilan). Tanpa ada penegakan, hukum pidana hanya akan jadi macan kertas yang tidak akan berdampak signifikan.
Sebagai contoh, misalnya orang meributkan hukuman mati dengan alasan kalau hukuman mati efektif, pasti sudah tidak ada kejahatan lagi di muka bumi. Ini logika yang salah. Hal yang sama juga berlaku terhadap sanksi pidana lainnya. Seandainya semua sanksi atas kejahatan adalah hukuman mati dan probabilitas ditangkap serta dikenai sanksi adalah 100%, saya cukup yakin jumlah kejahatan akan menurun drastis. Tetapi kalau probabilitas ditangkap hanya 10% dan dijatuhi hukuman mati hanya 10% yang artinya hanya ada kemungkinan 1% ditangkap dan dijatuhi hukuman mati, kemungkinan besar sanksi itu tidak akan ada dampaknya.
Aspek utama dari penegakan hukum tentunya adalah biaya penegakan hukum. Biaya ini bukan cuma sekedar biaya menggaji polisi, hakim, dan jaksa. Ada biaya yang bisa muncul karena penyalahgunaan wewenang oleh aparat hukum, ketidakmengertian aparat terhadap hukum yang berlaku, penjatuhan hukuman kepada pihak yang salah, penjatuhan sanksi yang tidak tepat, dan masih banyak lagi. Intinya, sistem pidana tidak mungkin sempurna sementara sumber daya kita terbatas.
Dengan kondisi seperti itu, diperlukan prioritas dalam melakukan penegakan hukum. Salah satu cara untuk menentukan prioritas yang tepat tentunya adalah menentukan tindak pidana mana yang paling penting untuk dikurangi keberadaannya. Semakin besar kebutuhan untuk mengurangi atau menghilangkan tindak pidana itu, maka semakin banyak sumber daya yang perlu dikerahkan untuk penanggulangan tindakan tersebut.
Pertanyaan lanjutannya, apa itu tindak pidana? Secara hukum, jawabannya mudah: segala macam tindakan yang dirumuskan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku. Jawaban ini tentunya tidak memuaskan. Dari sudut pandang ekonomi, secara umum tindak pidana dapat didefinisikan sebagai tindakan yang menimbulkan kerugian pribadi atau sosial. Tetapi perlu diingat bahwa tidak semua tindakan merugikan perlu dipidanakan karena tindakan merugikan juga sangat banyak macamnya.
Tindakan yang merugikan kepentingan banyak orang dan menguntungkan segelintir orang saja merupakan jenis tindakan yang paling mudah untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Contohnya korupsi dan perusakan lingkungan hidup. Semakin sedikit pihak yang terlibat dan semakin tidak jelas objek kerugian, maka semakin rendah juga prioritas kita untuk menyelesaikan masalah tersebut melalui ranah pidana.
Kasus pencurian misalnya. Objeknya jelas, ada barang yang dicuri. Kerugiannya pun jelas. Kita juga tidak mungkin membiarkan sebuah masyarakat dimana pencurian dapat dibiarkan berjalan bebas bahkan seandainya kenikmatan yang didapat oleh si pencuri lebih besar dari korban pencurian. Bayangkan suatu masyarakat yang kehilangan kepercayaan terhadap sesama anggota masyarakat dan juga menghabiskan biaya secara berlebihan untuk melindungi asetnya karena pencurian disahkan.
Bagaimana dengan penghinaan? Masalah dengan penghinaan adalah karena penghinaan menggabungkan unsur subjektif dan objektif. Kata "anjing" bisa dianggap sebagai penghinaan luar biasa bagi orang tertentu, tetapi bisa dianggap sebagai bentuk keakraban antar teman dekat. Kerugian yang ditimbulkan karena kekesalan akibat dihina sebagai anjing juga sulit diukur. Apakah saya akan merasa merugi Rp10.000 atau Rp100.000.000 karena penghinaan tersebut?
Di sisi lain, penghinaan atau fitnah bisa jadi berakibat buruk secara riil. Misalnya seperti dalam kasus Ristorante G di atas. Katakanlah, Ristorante G memang kehilangan pelanggan dan Gunawan merugi besar-besaran gara-gara ulasan Fransiska. Kerugiannya jelas bisa dihitung, lalu apakah Gunawan kemudian sebaiknya memidanakan Fransiska?
Ini mengapa menurut saya pendekatan delik penghinaan sebagai delik aduan (seperti misalnya usulan untuk mengubah delik penghinaan di UU ITE menjadi delik aduan) tidak menyelesaikan masalah secara tuntas. Selama masih ada unsur subjektif dalam penghinaan, maka kemungkinan dibawanya kasus yang remeh temeh ke pengadilan akan tetap ada bahkan sekalipun delik penghinaan adalah murni delik aduan.
Dan tidak mengherankan apabila ada yang akan menggunakan sarana pidana penghinaan ini untuk menyingkirkan lawannya atau menakut-nakuti kritik. Bagi "korban", biaya kasus penghinaan sebenarnya murah bahkan dalam masyarakat yang tidak suka dengan tukang adu. Kalau si "korban" tidak terlalu peduli reputasinya, satu-satunya biaya yang perlu ia pertimbangkan adalah biaya untuk pergi ke kantor polisi dan melaporkan pelaku penghinaan. Setelahnya, ia tidak perlu lagi terlibat dalam proses pidana karena sudah diserahkan kepada negara. Apabila ini merupakan delik aduan, maka "korban" juga memiliki posisi tawar yang lebih kuat untuk menerima kompensasi dari pelaku karena nasib pelaku sedikit banyak berada di tangan "korban" yang akan menentukan apakah pengaduannya akan dicabut atau tidak. Apabila ini delik laporan, sifatnya bahkan lebih ganas lagi, karena "korban" tinggal berlepas tangan dan menyerahkan kepada negara untuk menyidik dan mengadili si pelaku.
Masalahnya, yang membiayai negara untuk mengurus kasus ini adalah kita semua. Si "korban" pun juga mungkin membayar pajak, tetapi berapa besar sumbangannya dibandingkan dengan semua orang lain? Boleh dikata, ia menggunakan sarana negara dengan mengorbankan hak orang lain untuk memidanakan orang dengan alasan yang bisa jadi sebenarnya tidak penting dan tidak membawa kemaslahatan kepada masyarakat banyak. Belum lagi kalau kemudian sumber daya yang digunakan untuk mengurus kasus penghinaan itu sebenarnya bisa dipakai untuk menangani kasus lain yang memiliki prioritas lebih tinggi.
Oleh karenanya, usulan awal saya, secara umum, kasus penghinaan seharusnya tidak bisa otomatis dibawah ke ranah pidana, melainkan harus diselesaikan terlebih dahulu di ranah perdata. Apabila kasus ini dibawa ke ranah perdata, maka "korban" harus dapat membuktikan adanya kerugian yang nyata sebagai akibat dari penghinaan yang ia alami. "Korban" yang rasional hanya akan pergi ke pengadilan apabila probabilitas kemenangannya dikalikan dengan jumlah ganti rugi yang akan ia terima dari pelaku penghinaan lebih besar dari total biaya yang akan ia keluarkan. Silakan baca makalah saya di sini untuk melihat model ekonomi pelaku litigasi.
Dengan model di atas, kemungkinan besar kita tidak akan melihat kasus macam Amir dan Budi atau Dodi dan Emir masuk ke ranah pengadilan karena biaya perkaranya hampir pasti akan jauh lebih besar dibandingkan dengan potensi ganti rugi yang akan didapat oleh "korban". Adapun untuk kasus Fransiska dan Gunawan, bisa jadi perkaranya akan masuk ke pengadilan bergantung pada besaran ganti rugi yang bisa diterima oleh Gunawan dan kemampuan Fransiska untuk membayar ganti rugi tersebut.
Lalu kapan penghinaan masuk ke ranah pidana? Ada kemungkinan memang ketika ranah perdata tidak cukup efisien untuk menyelesaikan kasus penghinaan. Misalnya dalam kasus dimana pelaku memiliki sumber daya atau jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan korban. Contoh kasus fitnah terhadap Jokowi pada saat menjadi calon presiden bisa menjadi contoh yang baik. Membawa kasus ini ke ranah perdata bisa jadi menyulitkan karena pelakunya terlalu banyak dan membuktikan unsur kerugian yang dialami dari tiap pelaku fitnah secara satu persatu juga tidak mudah, karena yang akan membuktikan adalah Jokowi sendiri dan bukan negara. Itu pun saya masih berpendapat sifat deliknya seharusnya aduan dan hanya bisa dilakukan oleh korban. Kasus seperti tukang sate seharusnya tidak perlu terjadi andai delik dalam UU ITE bersifat delik aduan dan bukan delik laporan.
Bagaimana merumuskan konsep di atas ke dalam peraturan perundang-undangan? Perlu kajian lebih lanjut yang tidak cukup untuk dimuat dalam satu artikel blog, tetapi secara garis besar, saya akan mengusulkan bahwa semua delik penghinaan harus menjadi delik aduan dan, kecuali dalam kondisi khusus, pengaduan hanya bisa diajukan hanya apabila pelapor bisa membuktikan bahwa kasus ini tidak dapat diselesaikan secara perdata atau penyelesaian secara perdata di pengadilan akan membebani pelapor. Bagaimana membuktikan kesulitan pelapor? Bisa jadi kita serahkan kepada diskresi polisi atau jaksa, atau harus dibawa ke muka sidang dan ditentukan oleh hakim. Bisa jadi juga UU menyatakan bahwa penghinaan hanya bisa dibawa ke ranah pidana dalam hal ada kerugian objektif yang melewati batasan nilai tertentu.
Sebagaimana saya sampaikan di atas, ide di atas perlu dielaborasi dengan penelitian lebih lanjut. Dan seharusnya para akademisi di Indonesia lebih gencar untuk menekuni isu ini karena isu penghinaan berhubungan erat dengan kebebasan berpendapat. Pasal penghinaan yang terlalu pro kepada "korban" rentan disalahgunakan karena memberikan insentif kepada "korban" untuk melaporkan siapapun yang mereka anggap telah menghina mereka, terlepas apakah penghinaannya sendiri substantif atau merugikan.