Ketentuan terkait pidana penistaan agama diatur dalam Pasal 4 Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama ("PNPS 1965") yang menambahkan ketentuan baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu Pasal 156a yang berbunyi sebagai berikut: "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan yang Maha Esa."
Penjelasan resmi dari Pasal 156a di atas menyatakan: "huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan di sini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan demikian, maka uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal ini."
Saya tidak akan membahas lebih jauh apakah penetapan presiden Sukarno di atas sebenarnya bisa dianggap sebagai undang-undang mengingat dari tata peraturan perundang-undangan yang normal, tidak mungkin keputusan presiden bisa mengalahkan atau mengganti ketentuan undang-undang (termasuk menambahkan ketentuan baru dalam KUHP). Jadi saya asumsikan dulu untuk kepentingan pembahasan kita bahwa ketentuan di atas mengikat sebagai suatu undang-undang yang sah.
Adapun kutipan pernyataan Ahok yang dipermasalahkan dalam kasus ini adalah kurang lebih sebagai berikut: "...bapak ibu ga bisa milih saya, ya kan, dibohongin pakai surat Al-Maidah 51 macam-macam itu, itu hak bapak ibu, ya, jadi kalau bapak ibu merasa ga bisa milih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin itu ya, ga papa, karena ini panggilan pribadi bapak ibu..." Pertanyaan utamanya, apakah potongan kalimat kurang lebih 20 detik dari total temu wicara sekitar 45 menit itu memenuhi unsur tindak pidana penodaan agama? Video lengkapnya bisa dilihat di sini.
Sebagaimana telah beberapa kali saya sampaikan mengenai pemidanaan atas kasus-kasus terkait penghinaan dan penodaan agama (di sini, di sini, dan di sini), saya selalu menyarankan agar sifat tindak pidananya dihilangkan atau paling tidak dibatasi karena standar yang digunakan untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan penghinaan atau penodaan sering kali tak jelas dan oleh karenanya pasal-pasal tersebut menjadi rentan disalahgunakan. Khusus untuk penghinaan yang terkait isu agama, saya juga pernah membahas panjang lebar tentang bagaimana seharusnya umat Islam bersikap melalui artikel saya di sini. Tapi mengingat peraturannya sendiri masih belum dicabut dan nampaknya ada cukup banyak elemen masyarakat yang sedang emosi akibat pernyataan di atas, kita perlu mendalami lebih jauh unsur penodaan agama dalam kasus ini.
Merujuk kepada PNPS 1965 sebenarnya tidak banyak membantu karena baik pasal maupun penjelasannya tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan menodai agama, hanya dikatakan bahwa tindak pidana ini adalah yang semata-mata ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Berarti setidaknya ada 2 unsur yang harus dianalisis, unsur niat dan unsur memusuhi atau menghina (mengingat unsur mengeluarkan perasaan di muka umum sudah jelas terbukti dari adanya video dan juga acara temu wicara di Pulau Seribu itu). Terkait pembuktian niat, saya akan serahkan kepada ahli lainnya, termasuk mungkin ahli psikologi dan bahasa tubuh karena acaranya sendiri berlangsung cukup lama dan nampaknya sulit memisahkan potongan kalimat di atas dari konteks acara secara keseluruhan untuk memahami apakah ada niat menghina/menodai.
Saya lebih tertarik kepada konsep penghinaannya sendiri. Dari berbagai analisis yang beredar, penghinaan atau penistaan agama dianggap muncul karena adanya kalimat "dibohongi pakai surah Al-Maidah 51." Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa (dapat dibaca di sini) yang menyatakan bahwa: (i) surah Al-Maidah: 51 secara eksplisit berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin dan ayat ini menjadi salah satu dalil larangan menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin, (ii) ulama wajib menyampaikan isi surah Al-Maidah ayat 51 kepada umat Islam bahwa memilih pemimpin muslim adalah wajib, (iii) setiap orang Islam wajib meyakini kebenaran isi surah Al-Maidah ayat 51 sebagai panduan dalam memilih pemimpin, dan (iv) menyatakan bahwa kandungan surah Al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan di atas sebagai sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Qur'an.
Walaupun definisi penodaan sendiri tidak pernah dijelaskan dalam PNPS 1965, dari sudut pandang logika hukum, paling tidak harus bisa dibuktikan terlebih dahulu bahwa pernyataan Ahok soal dibohongi dengan Al-Maidah 51 adalah suatu kesalahan, khususnya dari segi hukum Islam. Bagaimana caranya kita bisa dianggap menodai sesuatu apabila yang kita sampaikan ternyata benar? Menurut KBBI, menodai bisa berarti mencemarkan, menjelekkan nama baik atau merusak kesucian, keluhuran, dan sebagainya. Sementara bohong didefinisikan sebagai tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Logika ini juga yang nampaknya dipakai dalam Fatwa MUI dimana Fatwa MUI menyimpulkan bahwa pernyataan Ahok tersebut salah dari sudut pandang hukum Islam karena menurut MUI, kaum Muslim wajib memilih pemimpin Muslim dan dengan demikian, mereka tidak dibohongi dengan keberadaan Al-Maidah:51.
Sebagaimana sudah dibahas di artikel saya sebelumnya, memang banyak tafsir dari ulama klasik yang melarang kaum Muslim menjadikan kaum non-Muslim sebagai pemimpin, walaupun ada juga tentunya pendapat lain yang lebih kontemporer yang menganggap bahwa larangan ini hanya berlaku untuk pemimpin kafir yang zalim atau khusus dalam situasi perang/permusuhan. Isu utamanya adalah konsep dan definisi pemimpin tak bisa dipisahkan dari bentuk negara yang menaungi keberadaan si "pemimpin" tersebut. Dan karena belum ada pendapat tunggal mengenai bentuk negara dalam hukum Islam, dengan sendirinya, konsep dan definisi "pemimpin" juga menjadi ambigu. Belum lagi ditambah fakta bahwa istilah awlia dalam Qur'an (sebagaimana juga dimuat dalam Al-Maidah:51) tidak terbatas hanya ditafsirkan sebagai pemimpin, namun juga teman setia yang cakupannya sebenarnya jauh lebih luas.
Fatwa MUI sayangnya tidak menjelaskan lebih jauh soal apa yang dimaksud dengan pemimpin, padahal kuncinya ada di situ. Uniknya, fatwa MUI kali ini juga tidak memberikan satupun kutipan dari Qur'an, Hadis dan kitab-kitab fikih (yang biasanya dikutip oleh MUI) untuk mendukung ide bahwa pemimpin non-Muslim adalah haram dan bahwa semua umat Islam wajib meyakini kebenaran hal tersebut. Kerancuan ini yang kemudian menimbulkan multi tafsir dan juga memunculkan tuduhan dari sebagian orang bahwa fatwa ini bersifat politis, bukan lagi murni akademis. Kenapa saya sebut akademis? Karena fatwa ulama tidak memiliki kekuatan hukum mengikat baik dari sudut pandang hukum Indonesia maupun hukum Islam (yang menyebabkan munculnya ide forum shopping atau talfiq). Orang bisa bebas mengikuti atau menolak suatu fatwa sehingga umumnya fatwa ditulis dengan dasar-dasar yang dianggap ilmiah sehingga isinya bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Apalagi dalam kasus kita, konsekuensi dari kesimpulan yang dimuat dalam fatwa MUI di atas sangat besar karena fatwa tersebut secara implisit mempertanyakan akidah orang-orang Muslim yang tidak menganggap bahwa larangan memilih pemimpin non-Muslim merupakan kebenaran yang bersifat absolut. Soal akidah tentunya tak bisa sembarangan. Saya pernah menulis di sini tentang mengapa isu hukum yang seringkali memiliki perbedaan pendapat seharusnya tidak dibawa ke ranah akidah.
Maka kita harus bertanya, ketika MUI atau pun organisasi atau ulama lainnya sedang membahas konsep pemimpin di Indonesia, sejauh mana mereka akan mendefinisikan istilah itu dan sampai sejauh mana larangan memilih pemimpin kafir itu berlaku? Apakah hanya akan berhenti di jabatan gubernur pada saat Pilkada? Atau mau dibawa ke ranah jabatan lain? Jelas bahwa kalau kita bicara pemimpin, seharusnya tidak hanya terbatas pada gubernur. Malah saya yakin kalau hanya dikhususkan pada gubernur, kita justru akan dianggap berbohong.
Ambil contoh kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah yang sempat saya bahas di artikel sebelumnya. Ketika Al-Mawardi membolehkan adanya jabatan Menteri Pelaksana yang boleh diisi oleh orang non-Muslim, Al-Mawardi berargumen bahwa hal itu dikarenakan si Menteri memiliki kewenangan terbatas (hanya melaksanakan hal-hal yang diinstruksikan oleh Khalifah) serta tak memiliki kewenangan anggaran maupun kemampuan mengangkat pegawai. Kalau kita mengaplikasikan konsep ini di Indonesia (wewenang terbatas dan tidak meliputi kuasa anggaran dan pegawai), definisi pemimpin bisa meliputi banyak sekali jabatan, mulai dari level ketua RT, ketua RW, lurah, bupati/walikota, gubernur, hakim agung, hakim konstitusi, kepala departemen dan badan-badan negara (seperti OJK, BI, dan BKPM), menteri sampai Presiden. Besar kemungkinan jabatan wakil (wakil gubernur, wakil presiden, dan sebagainya) juga masuk dalam konsep ini. Kita bahkan belum bicara di level teman setia yang seharusnya bisa meliputi sahabat, partner bisnis, rekan kerja atau bos di perusahaan. Inikah yang dimaksud dengan pemimpin oleh MUI dan para pihak yang mendukungnya? Kenapa tidak dipertegas seperti itu sekalian? Karena kalau demikian penafsiran yang dipilih dan diamini oleh MUI dan para pendukungnya, klaim bahwa pernyataan Ahok di Pulau Seribu adalah suatu kesalahan tentunya menjadi logis dan masuk akal, keberadaan pemimpin non-Muslim 100% haram dalam segala bentuk dan jabatan.
Namun apabila kita konsekuen memilih penafsiran ini, keharaman memilih pemimpin non-Muslim seharusnya bukan saja terbatas pada kasus dimana rakyat sedang atau akan memilih pemimpin mereka di level Pilkada atau Pilpres, tetapi berlaku juga pada semua pejabat Muslim yang hendak memilih dan mengangkat pejabat non-Muslim. Dalam penafsiran ini, Presiden Jokowi, selaku orang Muslim, sudah tak lagi beriman ketika mengangkat Ignasius Jonan sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral karena Jonan orang Katolik (dan jelas jabatan Menteri ESDM memiliki wewenang yang luas, apalagi jabatannya sangat strategis dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak). Lagipula, apa alasannya kalau kata "memilih" hanya dibatasi pada memilih dalam Pemilu? Toh bagi sebagian ulama, Pemilu dan demokrasi juga tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Memilih tidak harus selalu dalam konteks demokrasi. Istilah yang lebih tepat sebenarnya adalah "menjadikan."
Konsekuensi lebih lanjutnya, sistem yang memungkinkan terpilihnya pemimpin non-Muslim juga seharusnya haram. Dalam kaidah hukum Islam yang sangat terkenal, ketika suatu tindakan diharamkan, semua tindakan yang membantu terciptanya tindakan itu juga haram (contoh: kalau minum alkohol haram, maka menjual dan memproduksi alkohol juga haram walaupun tidak diminum). Dengan sendirinya, bentuk negara kesatuan Republik Indonesia pun harus diharamkan karena negara Indonesia memperbolehkan majunya calon non-Muslim dalam setiap pemilihan pemimpin dan juga membolehkan orang non-Muslim untuk memegang jabatan tertentu dalam pemerintahan. Bagaimana mungkin kita membiarkan sistem yang memfasilitasi orang non-Muslim berjalan sementara kita meyakini bahwa kaum Muslim tak boleh dipimpin oleh secuil pun kaum non-Muslim? Mungkin bentuk negara yang benar adalah ketika ada segregasi yang jelas antara kaum Muslim dan non-Muslim, sistem pajak saat ini dihapuskan dan orang-orang non-Muslim diwajibkan membayar jizyah.
Tak hanya konsep negara kesatuan yang haram. Para founding fathers Muslim di masa lalu juga sebenarnya telah melakukan perbuatan haram dengan menjadikan founding fathers non-Muslim sebagai kawan setia dalam berjuang melawan penjajahan. Seharusnya mereka semua meyakini sebagai kebenaran mutlak bahwa kaum non-Muslim tak bisa dipercaya dan selalu menginginkan hal-hal yang buruk bagi kaum Muslim (lihat sumber tafsirnya dalam artikel saya tentang Al-Maidah: 51). Jadi, apakah ini tafsir yang akan kita ambil? Kalau benar kita ambil, saya cukup yakin bahwa kita baru saja melakukan perbuatan makar terhadap negara Indonesia karena menolak bentuk negara kesatuan. Sesuatu yang anehnya didiamkan saja selama ini walaupun sebenarnya merupakan tindak pidana serius berdasarkan KUHP.
Sampai di sini mungkin ada yang berpendapat bahwa tafsiran di atas terlalu berlebihan atau mungkin maksudnya cuma satir. Tidak, saya tidak sedang menyusun tulisan satir atau sarkasme. Saya sedang serius menyampaikan konsekuensi logis suatu pemikiran, konsekuensi yang seringkali dilewati atau dianggap angin lalu. Omong kosong kalau kita mengklaim memiliki integritas pemikiran, bebas kepentingan dan murni ghirah, tetapi tak mau berpikir mendalam soal konsekuensi pemikiran sendiri.
Lagi pula, memangnya apa alternatif lainnya yang bisa membuat suatu tafsiran konsisten dan tak mengandung kebohongan? Definisi pemimpin hanya terbatas pada gubernur? Hal itu lebih tak jelas lagi dalilnya. Konsep pemilihan maksudnya hanya dalam batasan Pemilu? Wong konsep pemimpin yang dipilih rakyatnya saja belum disepakati kesesuaiannya dengan hukum Islam. Dan katakanlah kita aplikasikan ini hanya dalam konteks Pemilu, apa dasarnya untuk menyatakan bahwa pejabat Muslim bebas dari kewajiban untuk memilih (baca menunjuk/menjadikan) pejabat lain yang juga beragama Islam? Atau pemimpin yang wajib Muslim itu terbatas pada pemimpin dengan jumlah rakyat, pegawai, luas wilayah dan anggaran minimum tertentu? Batasannya seperti apa? Hal tersebut juga tak ada dalil eksplisitnya dalam Qur'an maupun Hadis, alias kita bisa menyusun teori kita sendiri. Perlu diingat, teori terkenal mengenai bentuk negara yang dikembangkan oleh Al-Mawardi sendiri sebenarnya tidak terlalu banyak mengutip Qur'an dan Hadis karena memang tidak ada pembahasan yang eksplisit dan detail mengenai konsep negara dan pemerintahan apalagi bentuk teknis soal wewenang dan persyaratan masing-masing pejabat. Buku Al-Mawardi ditulis sekitar 500 tahun setelah Islam berdiri dan Al-Mawardi mempelajari praktek yang terjadi di lapangan dalam kurun periode itu, yang tak lain adalah eksperimen Islam dalam menyusun sistem politik.
Atau mungkin kita bisa berdalil bahwa karena Indonesia bukan negara Islam, jadi wajar-wajar saja kalau sistemnya memungkinkan orang non-Muslim diangkat menjadi pemimpin. Yang penting yang Muslim tidak memilih yang non-Muslim. Tapi ini hanya berlaku dalam sistem Pemilu, bagaimana kita menjelaskan hal tersebut dalam kasus pemilihan pemimpin yang tidak melibatkan Pemilu, misalnya melalui komite atau pejabat tertentu? Apakah ini berarti mereka yang berada di pemerintahan harus mengeluarkan syarat baru bahwa semua orang non-Muslim tidak lagi boleh mengikuti lelang jabatan atau pemilihan dalam bentuk apapun demi mengikuti fatwa MUI? Bagaimana dengan keimanan orang-orang ini yang telah membiarkan orang non-Muslim ikut serta dalam proses seleksi kepemimpinan padahal mereka memiliki kewenangan untuk mengubah persyaratan tersebut?
Lalu mengapa cuma pemimpin? Mengapa tidak berangkat lebih jauh sampai ke level teman setia yang sebenarnya merupakan tafsiran awal dari Al-Maidah:51? Batasannya seperti apa? Tidak jelas. Contoh: perdagangan dengan orang kafir sah-sah saja katanya, tetapi kapan perdagangan sehari-hari berubah jadi pertemanan setia? Yang kafir tidak boleh jadi pelanggan tetap yang Muslim? Tiap hari kita pergi berinteraksi selalu disertai dengan niat bahwa kita tidak mengakui kebenaran agama Nasrani sedikit pun dan bahwa semua interaksi ini hanya sikap luar saja sekedar membina hubungan manusia yang minimal? Lelah sekali hidup seperti itu. Tetapi kalau mengaku kaffah, ya kenapa tidak sekalian bagi mereka yang memiliki keyakinan akan salahnya menjadikan orang non-Muslim sebagai pemimpin dan teman setia? Wajar orang akan mempertanyakan kualitas sikap yang hanya setengah-setengah atau yang mau enaknya saja, wajar juga kalau ada yang mempermasalahkan semua keributan ini sebagai isu politis ketimbang isu ghirah umat. Bagaimana bisa mengaku punya ghirah tapi bahkan tak paham apa isu yang sedang dibela?
Perlu dicatat, saya tidak sedang menyarankan agar umat Islam di Indonesia memilih jalur dimana kita putus hubungan dengan orang non-Muslim atau jalur dimana kita menyingkirkan semua kandidat non-Muslim dari kancah perpolitikan dan bisnis. Bukan saja hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kebhinekaan di Indonesia dan tentunya Konstitusi kita dan Pancasila, hal tersebut juga justru memperkeruh suasana dan menjelekkan nama Islam, seakan-akan orang Islam selalu berada dalam keadaan paranoid, takut diserang, takut ditipu, takut dimanfaatkan oleh orang non-Muslim. Ini kan aneh. Mayoritas tapi mentalnya lemah. Yang sedang saya pertanyakan adalah bagaimana caranya kita bisa menyatakan bahwa pernyataan Ahok salah dan oleh karenanya menodai Islam tanpa membuat seluruh sistem negara kesatuan Republik Indonesia bubar? Ini yang perlu direnungkan.
Mungkin tafsiran dimana isu larangan pemimpin non-Muslim ini terbatas pada masa perang dan konfrontasi lebih tepat untuk digunakan. Tafsiran ini sesuai dengan nilai-nilai Islam yang pragmatis sebagaimana sering saya ulas dalam artikel-artikel saya dan tidak perlu membuat kepala kita pusing mencari justifikasi soal mana tipe pemimpin yang haram dan mana yang tidak sebagaimana saya uraikan di atas. Dalam situasi klasik dimana konsep negara belum ada, wilayah masih diperjuangkan satu demi satu, dan dikepung pula dengan wilayah-wilayah yang dikuasai kaum kafir, sangat amat wajar anjuran untuk menolak pemimpin non-Muslim. Ya iya lah, kalau wilayah dan kesatuan kaum saja belum beres, bagaimana caranya mengambil pimpinan dari orang yang sama sekali tidak berbagi nilai yang sama dengan kita? Sementara itu di konsep negara modern yang basisnya lebih banyak ke wilayah dan nasionalisme, memaksakan konsep seperti ini tentu saja sulit. Realitasnya memang sudah berubah, menggunakan konsep yang konfrontatif dengan sesama warga negara sendiri jelas kontraproduktif dan menciptakan suasana yang saling tak mempercayai. Apalagi di Indonesia dimana bentuk negara kesatuan yang berbhineka sudah dianggap final (kecuali kalau anda mungkin memang sudah siap untuk melakukan pidana makar).
Dan apabila kita memilih tafsiran demikian, mau tidak mau konsep larangan pemimpin non-Muslim yang bersifat umum dan absolut tidak lagi menjadi benar dan dapat dipertahankan. Tidak mungkin kita menyatakan dua ide yang 100% bertentangan sebagai sama-sama benar. Secara logika, hanya salah satu konsep yang bisa kita pilih dengan segala konsekuensinya. Lalu kenapa kemudian ide larangan pemimpin non-Muslim yang umum itu kini disebarluaskan dan dianggap sebagai kebenaran absolut sampai-sampai akidah sesama Muslim bisa dipertanyakan? Silakan direnungkan kembali. Lebih penting lagi, apa urgensinya untuk menciptakan konfrontasi dengan ide demikian di era masa kini?
Mungkin ada yang akan berpendapat bahwa terlepas apakah pernyataan Ahok itu benar atau salah secara objektif, paling tidak secara subjektif, pernyataan tersebut telah menimbulkan keresahan dan kemarahan terhadap sebagian umat Islam karena dianggap menyakiti hati mereka. Dengan demikian, kasus ini bisa tetap dianggap sebagai penodaan agama. Ada beberapa permasalahan dengan klaim tersebut.
Pertama, apabila penodaan atas suatu agama dinilai hanya dari adanya pemeluk agama tersebut yang merasa dinodai, apa dasarnya sebagian umat Islam bisa mewakili sebagian yang lain untuk menyatakan bahwa seseorang telah menodai agama Islam? Apakah jumlahnya harus mayoritas? Atau semua orang Islam harus sepakat terlebih dahulu? Masa pidana dijatuhkan hanya berlandaskan pada banyak-banyakan suara? Penduduk Muslim di Indonesia ada lebih dari 200 juta manusia, kalau yang ribut mencapai 200 ribu orang pun sebenarnya tak sampai 0,1% dari total semua penduduk tersebut. Apakah bisa dianggap mewakili suara kaum Muslim Indonesia? Saya juga belum pernah mendengar adanya doktrin hukum pidana yang menyatakan bahwa seseorang bisa dipidana karena ada banyak orang lain yang beranggapan orang tersebut harus dipidana. Memangnya pengadilan punya nenek moyang anda?
Lebih penting lagi, seperti juga pernah saya bahas dalam berbagai artikel saya termasuk tentang Al-Maidah:51, mendasarkan pendapat akademik hanya pada suara mayoritas tanpa menelisik lebih jauh isi argumentasinya sangat riskan. Contoh yang sering saya gunakan adalah hukum perbudakan. Kehalalannya, termasuk kehalalan menyetubuhi budak tanpa persetujuan si budak (alias memperkosa) adalah pendapat mayoritas ulama klasik dengan dalil dari Qur'an dan Hadis. Apakah apabila kita tak lagi setuju dengan kehalalan itu dan mengutuk tindakan ISIS yang memperbudak kaum Yazidi maka kita sudah dianggap menodai Islam karena menghina pendapat dari para ulama yang agung di masa lalu?
Kedua, standar rasa sakit hati yang bisa menyebabkan pidana itu seperti apa? Sekedar sakit hati tanpa alasan apapun atau harus jelas penyebabnya? Bagaimana kalau yang sakit hati tak paham apa yang menyebabkan ia sakit hati? Apakah kemarahan buta tanpa alasan menjadi dasar untuk pemidanaan? Saya pikir semua ahli hukum tahu jawabannya. Jelas tidak. Kalau begini caranya, setiap kali ada 1 atau beberapa orang tersinggung karena ucapan orang lain, terlepas apapun ucapannya, orang lain tersebut bisa dipidana. Sistem hukum yang membiarkan hal tersebut terjadi adalah sistem hukum yang berantakan, bayangkan penyalahgunaannya.
Saya teringat kasus tragis di Afghanistan ketika seorang wanita Muslim, Farkhunda Malikzada, dihajar ramai-ramai dan dibakar hidup-hidup oleh massa di sekitar sebuah masjid (berita bisa dilihat di sini dan di sini). Alasannya? Ia dituduh membakar Qur'an. Ironisnya, penuduhnya sebenarnya seorang penjual jimat yang sedang ditegur oleh wanita itu karena berjualan di depan masjid. Hanya karena teriakan si penjual bahwa Farkhunda telah membakar Qur'an, tanpa pikir panjang, segerombolan orang langsung menyerbu dan membunuh Farkhunda. Yang lebih tak masuk akal lagi, ada imam Masjid di Afghanistan yang sempat membenarkan peristiwa ini karena menurutnya ketika Qur'an dihina, wajar orang murka dan tidak berpikir panjang. Tentu saja ini menimbulkan protes dari ribuan wanita Afghan. Tidak ada hukum yang memperkenankan orang marah untuk membunuh orang lain begitu saja, atau hukum yang membenarkan pembunuhan hanya karena emosi dengan alasan emosinya berbasis ghirah. Membenarkan hal tersebut sama saja menyatakan kepada khalayak ramai bahwa umat Islam tak mampu berpikir panjang, tak mampu mengontrol emosi, dan cenderung barbar. Contoh kasus seperti ini yang membuat nama Islam sebenarnya dinodai, dan kita semua tahu ini bukan cuma satu kasus.
Ketiga, apabila murni kita hanya memakai standar perasaan subjektif, akan timbul banyak perdebatan yang tak kunjung usai soal kapan penghinaan atau penodaan dianggap terjadi. Ambil contoh istilah kafir. Mungkin sebagian orang santai saja menggunakan istilah ini kepada orang yang beragama lain, tapi kalau orang lain tersebut tak terima, secara teknis, bisa saja diargumentasikan bahwa pernyataan kafir tersebut adalah bentuk penodaan karena konotasi kata "kafir" yang sangat negatif. Contoh lain, orang Nasrani percaya bahwa Yesus adalah putra Tuhan atau bagian dari Trinitas sementara orang Muslim percaya bahwa Yesus adalah seorang manusia biasa dan nabi. Hal tersebut merupakan keyakinan fundamental dari masing-masing agama. Apakah dengan demikian otomatis keduanya saling menodai agama lain karena saling tidak mengakui hal fundamental tersebut dan diajarkan pula secara umum melalui kegiatan dakwah masing-masing?
Berapa banyak ucapan khotib Jumat yang pernah saya dengar yang bisa dianggap menodai agama lain terlepas apakah dari sudut pandang kaum Muslim hal itu dianggap biasa-biasa saja. Contoh gampang soal orang kafir yang diklaim tak bisa dipercaya dan berniat menimbulkan keburukan untuk kaum Muslim yang sempat saya singgung di atas. Saya masih ingat persis di sebuah mesjid perkantoran ketika khatib shalat Jumat dengan enteng menyatakan bahwa kita tak bisa berteman dengan orang Nasrani karena kebencian mereka terhadap kaum Muslim. Apa yang mungkin diyakini oleh sebagian orang itu jelas bisa dianggap penghinaan bagi orang Nasrani karena sama saja mengklaim bahwa semua orang Nasrani pada dasarnya buruk. Diucapkan di depan ratusan jamaah pula dan dengan suara berapi-api. Dengan alasan subjektif, ajaib rasanya kalau sampai hal tersebut tidak dianggap melanggar ketentuan PNPS 1965 yang berlaku secara umum untuk semua agama. Atau kita akan berargumen bahwa pernyataan khotib itu sah-sah saja karena kaum Muslim di Indonesia mayoritas? Lah, masa kita yang sekarang jadi penindas baru setelah jadi mayoritas? Apa bedanya dengan kaum jahiliyah dulu ketika mereka mayoritas dan kaum Muslim hanya minoritas? Lagi-lagi ini perlu direnungkan secara mendalam.
Saya berharap bahwa tulisan ini bisa menjadi dasar untuk melakukan analisis yang lebih mendalam mengenai posisi yang kita ambil, khususnya dalam memahami kasus penodaan agama. Dan ini hanya bisa terjadi ketika kita mau berpikir secara sistematis dan menyeluruh. Pernah dalam suatu diskusi terkait hal di atas dalam sebuah grup WA, ketika saya meminta orang berpikir lebih jauh tentang isu perbudakan dan riba untuk memahami fleksibilitas hukum Islam, ujung-ujungnya mereka mengirimkan video tentang bahaya menggunakan akal dalam Islam dan kemudian menuliskan doa mohon petunjuk dari Allah SWT serta perlindungan dari kesesatan (intinya meminta diskusi diakhiri saja secara implisit). Ini lucu sekaligus menyedihkan, kemana ghirah-nya ketika disuruh berpikir? Semua semangat itu hanya bisa timbul ketika kita tak lagi berpikir dan murni terbakar emosi? Kalau demikian, apa yang bisa kita lakukan untuk menghindari terjadinya mob mentality macam yang terjadi di Afghanistan di atas? Moga-moga hal demikian tak terjadi di Indonesia.
Sebagai penutup, bagi mereka yang akan berdemonstrasi besok hari terkait isu penodaan agama, saya gembira bahwa akhirnya orang-orang ini merasa dan mengakui bahwa hak berdemonstrasi adalah bagian dari sistem demokrasi di Indonesia (aneh kalau sudah mengganggap punya hak namun tak mengakui kesesuaian hak itu dengan hukum Islam). Kapan lagi saya melihat ada orang-orang yang kemarin misalnya menganggap bahwa konsep Islam Nusantara tak masuk akal kemudian membalas fatwa haramnya berdemonstrasi dengan ide 'Urf alias adat istiadat untuk menunjukkan bahwa larangan itu seharusnya terikat dengan budaya Saudi Arabia sementara adat Indonesia berbeda. Saya berharap ini tak berhenti di sekedar comot mencomot fatwa yang disukai saja, tetapi juga dipertimbangkan masak-masak mengapa kita memilih mengambil satu posisi tertentu karena demokrasi tanpa partisipasi aktif dan rasional dari masyarakatnya tentu tak akan berjalan dengan baik. Saatnya kita jadikan perbedaan sebagai rahmat, bukan kutukan.
39 comments:
Mas Pram, mohon izin share tulisan ini. Terimakasih telah menuangkan dan membagikan pemikiran yang luar biasa.
Monggo, silakan banget.
Ijin share ya Mas
Mas Pram. This is a very good article. Izin share ya.
Pram, nice discussion. Tetapi menurutku diskusinya tdk perlu diperluas kepada cakupan "pemimpin" atau "teman setia". Dari sisi etika, ucapan ahok itu tidak etis. Apalagi disampaikan oleh seorang gubernur dalam sebuah acara publik. Jadi dalam hal ini ahok salah. Ucapan ahok menyiratkan dia tidak menghargai kitab umat muslim. Tapi mengenai apakah perlu fatwa MUI untuk tidak memilih ahok karena beliau bukan muslim, menurut saya tidak perlu.
Thanks for the comments, saya pikir diskusi itu perlu karena saat ini sudah dibawah ke ranch hukum. Kalau kita bicara etika, perdebatan bagaimanapun juga pada akhirnya akan berujung pada permintaan maaf yang mana sudah dilakukan. Dan ini bukan cuma untuk Ahok, tetapi juga semua khotib yang ngomong seenaknya tentang orang kafir di luar sana tapi ga diekspos. Moga2 jadi pelajaran untuk semua.
Ups, ranah, bukan ranch, haha.
Klo diskusinya dibawa ke ranah hukum, pembahasannya adalah apakah ucapan ahok "dibohongi surat al maidah" dapat dikategorikan sebagai penistaan agama atau tidak. Definisi Menistakan secara bebas dapat diartikan merendahkan. Ya tinggal dibuktikan apakah ucapan ahok merendahkan agama islam atau tidak. Ttg khatib di mesjid yg terkadang melakukan hal yg sama, saya jg tdk setuju dgn perbuatan mereka. Pendekatan islam tidak pernah dengab kebencian sebenarnya. khatib macam itu, ya biasanya ilmunya belum mendalam (saya sotoy). Hehehe
But that's exactly my discussion. Pasal 156a KUHP ga memberikan penjelasan lebih jauh soal menodai. Ini mengapa saya menggunakan analisis apakah kalimat Ahok itu benar atau tidak dari sudut pandang hukum Islam karena kalau ternyata tak salah, bagaimana caranya ia bisa dianggap menodai? Satu2nya cara agar Ahok dianggap salah dan bahwa umat sebenernya ga dibohongin, konsep larangan pemimpin non Muslim harus berlaku 100%, ga cuma untuk jabatan Gubernur, ga cuma ketika pemilu atau pilkada, tetapi juga setiap mekanisme pengangkatan pejabat. Then it would make sense. Tapi kalau tafsirannya tidak demikian karena sebenarnya itu mengancam kedaulatan negara kesatuan, ya bohong lah ketika larangan pemimpin non Muslim itu dikatakan berlaku mutlak dan menjadi sangat politis penggunaan ayat tersebut hanya dalam proses pilkada.
Bung Muchayatsyah, saya ingin menanggapi komentar anda ini, tapi saya bingung karena anda ngomong ngalor ngidul, inti kritiknya apa. Mungkin baiknya ditata dengan lebih runtut. Jadi jelas bagian mana dari artikel saya yang dikritik.
"...bapak ibu ga bisa milih saya, ya kan, dibohongin pakai surat Al-Maidah 51 macam-macam itu, itu hak bapak ibu, ya, jadi kalau bapak ibu merasa ga bisa milih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin itu ya, ga papa, karena ini panggilan pribadi bapak ibu..."
Ucapan bapak Ahok telah memposisikan ahli tafsir atau ulama sebagai pembohong di mata audiennya, sekaligus menganggap tafsirnya sebagai kebohongan. Anggapan seperti ini tidak mengherankan karena sebagai non muslim tentu saja dapat tidak meyakini doktrin agama Islam. Persoalannya beliau menyebarkan pemahamannya tersebut dan mempengaruhi masyarakat yang beragama Islam dengan menyebut mereka telah dibodohi seraya mendorong untuk lebih memperdulikan panggilan pribadi dari pada doktrin agama. Sampai di sini saya melihat usaha beliau menyalahi sila pertama, di mana seharusnya masyarakat itu Berketuhanan YME bukan meninggalkan Tuhannya dalam melaksanakan empat sila Pancasila lainnya. Pengaruh seperti ini khas kelompok sekuler, dan sayangnya dijadikan muatan kampanye sehingga menjadi kampanye perlawanan terhadap tafsir yang diyakini sebagian umat Islam.
Hi Rinda, terima kasih atas komentarnya. Seperti saya sampaikan dalam tulisan saya, kalau kita meyakini bahwa pemimpin non-muslim haram berlaku secara universal, maka dengan keumuman ayatnya, membatasi kata pemimpin hanya atas gubernur dan khusus dalam konteks pilkada saja merupakan suatu kebohongan, karenanya seharusnya berlaku untuk semua lapisan jabatan dan segala macam proses pemilihan, pun bisa juga diberlakukan untuk teman setia. Tetapi siapa ulama yang berani memberikan fatwa setegas itu di Indonesia tanpa terkena ancaman makar? Berarti harus ambil tafsir lain kan, tafsir yang memungkinkan pemimpin-pemimpin non-muslim ada di Indonesia yang beragam. Inilah isunya ketika kata pemimpin itu ga didefinisikan dan dibiarkan mengambang, bikin orang berantem ga jelas karena definisinya beda. Kasihan umatnya jadi ribut internal juga.
Bpk Pramudya AO,terimakasih atas uraiannya, sangat memperluas pemahaman saya bagaimana hidup yang patut di negara kesatuan Republik Indonesia ini.
Ijin untuk dapat dibagikan ya....
Horas....
Kalau menjadi materi yang di ajarkan di sekolah, saya yakin akan lebih matang pemahaman umat muslim khususnya dalam bersikap. saya sendiri baru tahu dan mendadak banjir informasi dari berbagai sumber yang simpang siur. kedewasaan dibutuhkan dalam menyikapi masalah ini. semoga demo berjalan damai dan sukses.
Mas pram tulisannya bagus banget.. saya izin share ya buat jadi bahan pemikiran temen2 yang liat.
bang Pram, terima kasih pencerahannya. Mohon ijin share ya
Joss tulisannya, kalo memang mau beriman sak kontol-kontolnya juga kudu beriman, jangan setengah2. *maap kasar
bang pram, ijin share yah
Pak Pram, saya mhn ijin bertanya, kalo dari sisi KUHP bagaimana pak? Maksudnya mengenai dugaan penistaan agama, adakah pasal-pasal yang mengaturnya? Dan bagaimana penjelasan pasal tersebut bila dihubungkan dengan kejadian yang terjadi saat ini? Apakah hanya dikaitkan dengan PNPS 1965 saja pak? Mh dimaafkan mengenai keterbatasan ilmu saya di bidang ini. Mhn pencerahannya. Terima kasih.
Mas Pram,
Sebenarnya logika yang mas gunakan sangatlah simple tapi powerful: Integritas. kalau mau pakai ya pakai secara keseluruhan, atau kalau gamau dipakai ya jangan dipakai sama sekali.
Dan tentu saja, natur manusia, sangat logis jika pada akhirnya pakai setengah-setengah hanya pada konteks yang menguntungkan diri saja.
Kalau mau diperluas, konsep seperti ini, keabsenan integritas, potentially adalah akar dari segala pemerintahan yang korup. Praktik pengambilan keputusan yang mau menang sendiri, praktik memperkaya diri sendiri, di depan senyum di belakang menghancurkan, mau gaji gamau kerja, ambil sesuatu yang bukan haknya, dll.
Yang lebih menarik lagi, mereka yang berpikir demikian adalah mereka yang berada di tingkat atas, para well-educated people, dimana seharusnya mereka aware dengan hal setengah2 ini. Jadi sangatlah mungkin kalau ini bukanlah buta emosi semata, tapi memang adanya eksistensi dari ketidakberadaan integritas.
And to make things worse, They do exactly what all leaders do: menularkan ide ini (ambil enaknya aja) ke kalangan masyarakat yang melihat mereka sebagai sosok pemimpin dengan cara mengajak orang2 untuk setuju dan membela mereka.
walaupun mereka hanya mengajak dalam satu kasus ini saja, tapi secara subtle mereka telah menanamkan nilai ini ke para pengikutnya. Yang setelah diamini, sedikit banyak akan menjadi gaya hidup yang berbahaya bagi orang-orang yang meresapinya. Sangat ironis dan mengkhawatirkan.
Tulisan yang sangat rasional, sulit untuk dibantah, dan terlebih, membuka wawasan saya tentang agama Islam. Saya sendiri pun bukan Muslim, namun dari dulu tidak pernah ada keraguan bagi saya bahwa Islam adalah ajaran yang sangat baik dan hebat; otherwise tidaklah mungkin lebih dari 1.5 miliar orang menganutnya. Dan memang terbukti, membaca artikel ini menunjukan bahwa bukan hanya uraian anda, namun ajaran2 yang diajarkan di agama Islam, ketika dijalankan dengan seharusnya, sangatlah rapi, konsisten, complete, logical. This is such a great way to introduce Islam to other people (or at least to me).
Terima kasih.
Hi Bung Alfred, hanya ada satu pasal terkait penodaan agama di KUHP, yaitu pasal 156a. Ini pasal yang muncul karena ditambahkan oleh PNPS 1965. Jadi bahasannya sudah sesuai dengan apa yang ada di atas ya.
Terima kasih, saya bersyukur ada gunanya.
Hi mas Pram.. Sy tertarik dg tulisamnya. Dlm tulisan diatas mas membahas pada soal keilmiahan MUI lalu dikaitkan dg hranah hukum,dan melebar pada sikap umat Islam dari berbagai contoh. Pendekatan mas yg mengkritis fatwa MUI tidak ilmiah akan lebih bagus jika disertai dg menunjukkan titik kritis tsb secara ilmiah. Agar tampak beda nyata ketida disandingkan antara kritisan mas dg objek yg dikritis. Krn kalo enggak tapi bermain banyak pada pelebaran opini sama saja dg point kritiknya sendiri mas..
Sy senang, mas banyak memberikan fakta dg mengutip pada kejadian era Mawardi maupun kekinian tetapi mengapa tidak memberikan rujukan ilmiah pada substansi eg pemaknaan kata Aulia sbg starting pointnya (big point)..? Kemudian, mas menyandingbandingkan apa yg dilakukan para khotib yg dianggap emosional krn posisi mayoritas dg umat muslim ketika minoritas di era mekah (sebelum penaklukan) utk menggiring opini apa yg umat Muslim lakukan hanyalah tedeng emosi semata tanpa kritis ilmiah (logic), tapi mas sendiri kok engga menyinggung kondisi ril sbg faktor yg mempengaruhi masa/situasi itu ya..? Eg situasi politik pada masa itu, strategi yg dipakai maupun hukum yg berlaku di eranya.
Sama, sy juga mendukung Freedom of Speech sbg kekayaan pikiran.
Hi Agatha, semua pembahasan terkait tafsir Awliya sudah saya diskusikan dalam artikel sebelumnya yang berjudul Al-Maidah 51 dan Politik Islam yang Tak Kunjung Lepas Landas. Link ada di kalimat paling atas di artikel saya ini. Silakan dicek dulu dan nanti kalau ada pertanyaan lanjutan, silakan ditanyakan.
Kalau memang misalnya ada yang mengolok-olok ayat, apa yg harus dilakukan?
Dalam surat an Al-An'am tertulis sbb:
[6:68] Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).
Dalam 4:140 tertulis: "apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka"
Apakah itu berarti harusnya menyingkir saja bila ayat Alquran diperolok?
Saya sudah pernah membahas soal itu dalam artikel ini: http://www.pramoctavy.com/2015/01/bolehkah-membunuh-penghina-nabi.html. Kalau perumpamaan yang saya gunakan, seekor ikan paus biru ga akan tergganggu ama satu semut merah. Ada banyak hal yang lebih penting untuk ditangani umat Islam. Perlu saya tambahkan juga dalam kasus kita, harus kita klarifikasikan dulu apakah memang betul ada olok-olok terhadap ayat Qur'an.
om kalimat ahok tolong lebih di lengkapi tidak hanya dimulai dr sebatas ...karena dibohongi...
yang menjadi subject nya ada "orang" (yg makna nya tidak bisa dipercayai yg mencoba melakukan pembatasan hak, baik secara persuasif maupun dgn interfensi)
"Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya. Karena Dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macem-macem gitu lho. Itu hak bapak ibu, ya."
juga dalam penempatan antara titik dan koma dalam kalimat ahok akan memberikan makna yg berbeda. apalagi sudah pindah paragraf, jika itu dalam satu kalimat, bagaimana klo itu menggunakan koma tidak titik.
Setuju, org kristen boleh dong maju menuntut secara hukum smua org yg bilang mereka kafir.. analogi nya keren pak.. semoga rakyat indonesia makin pintar dalam memandang semua masalah
Nice sharing mas! Ijin share yaa..
Bedanya dari artikel lain, ini ada bumbu landasan dari sudut pandang hukum nya.
Semoga orang Indonesia semakin toleran dan saling menghargai agama apapun..
Karena saat lahir kita tidak bisa memilih kita jadi agama apa. Sedangkan ketika dewasa juga untuk mengenal agama lain terkadang ada keterbatasan peluang.
So.. tidak ada yg salah dengan perbedaan agama. Yg salah adalah "orang" dengan pemikiran yang justru tidak mencerminkan kebaikan dari agama itu sendiri.
God bless Indonesia..
Mas Pram, saya seorang muslim rasional yang setuju 100% dengan dasar pemikiran dalam tulisan Mas Pram. Ijin sedikit mengomentari sbb:
Secara hukum, unsur-unsur dalam KUHP 156a telah terpenuhi semua:
1) barangsiapa (subjeknya jelas Ahok)
2) dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan (buktinya jelas ada video di Pulau Seribu)
3) (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan yang Maha Esa.
Unsur nomor 3) (a) dan (b) sengaja saya satukan karena beban pembuktiannya menjadi satu di Fatwa MUI.
Yang masih dapat diperdebatkan adalah unsur nomor 3) dan sepertinya titik inilah yang menjadi ulasan utama dalam tulisan Mas Pram. Namun mohon maaf walaupun kaya akan referensi namun menurut saya masih terlalu bias karena diulas dalam memberikan analogi yang kurang relevan dan mudah dipatahkan yang coba saya ulas secara lugas sbb:
- Tafsir Al Maidah 51 sebagai "larangan bagi muslim/mukmim memilih pemimpin yang non-muslim" terlalu prematur untuk disimpulkan bahwa "keberadaan pemimpin non-Muslim 100% haram dalam segala bentuk dan jabatan". Bagi saya suatu fakta bahwa di negara kita tercinta ini terdapat Golongan (kita sebut saja Golongan XX) yang menafsirkan seperti itu dan sebagaimana hipotesa Mas Pram (dan saya setuju) bahwa Golongan XX tersebut mayoritas merupakan muslim yang malas berinvestasi untuk pengetahuan agama dan hanya percaya doktrin yang disampaikan ulama.
- Menurut pendapat saya, bagi Golongan XX aplikasi terhadap Al Maidah 51 yang terpenting bagi mereka adalah tidak memilih dengan sadar seorang pemimpin yang non-muslim. Hal ini sangat berbeda dengan analogi yang coba Mas Pram susun sebagai contoh Presiden memilih menteri yang non-muslim, atau lebih jauh lagi dalam konteks kenegaraan dan demokrasi. Menurut pendapat saya, secara sederhana Golongan XX akan mengaplikasikan Al Maidah 51 itu ke diri mereka sendiri secara individu agar tidak terkena sanksi yang mereka yakini apabila melanggar larangan dari ayat tersebut, atau dengan kata lain "yang penting saya ndak milih pemimpin yang non-muslim, masalah nanti pemimpin yang saya pilih tersebut akan memilih pemimpin lainnya yang non-muslim, itu adalah tanggung jawab sang pemimpin tersebut. Begitu juga apabila pemimpin muslim yang saya pilih membuat peraturan yang memungkinkan orang non-muslim sebagai pemimpin, ya itu tanggung jawab sang pemimpin tersebut". Sesederhana itu.
Poin dari komentar saya, mengapa yang diulas bukan counter-argument atas Fatwa MUI? atau argument atas posisi Fatwa MUI sebagai alat bukti di proses peradilan, sebagai contoh mengapa ndak Kementerian Agama yang memang dibayar oleh tax payer yang melakukan penafsiran?
Matur suwun Mas...cuma sedih Islam dipolitisasi sampai segitunya dan berharap kekisruhan politik segera selesai dan market & ekonomi mulai bergairah kembali.
Hi Mas Budiman, terima kasih banyak atas komentarnya. Sebenarnya saya sudah membahas hal ini lebih jauh dalam artikel terbaru saya: http://www.pramoctavy.com/2016/11/menyingkap-logika-kalimat-dibohongi.html?m=1.
Tapi untuk memudahkan, saya akan tanggapi langsung juga di sini. Pertama, saya sudah tekankan bahwa Fatwa MUI itu bermasalah karena tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan pemimpin. Ga ada dasarnya Fatwa itu kemudian bisa jadi bukti sempurna bahwa penodaan agama telah terjadi. Dan selama Fatwa itu ga menjelaskan apa yang dimaksud dengan pemimpin, maka debat ini juga tak akan pernah selesai.
Contoh tafsiran mas Budiman yang menyatakan bahwa intinya sepanjang saya ga milih pemimpin non Muslim itu maka ga papa adalah contoh tafsiran yang ga konsisten. Saya menggunakan contoh ini berkali2 karena saya ingin menunjukkan bahwa kalau orang konsisten dengan teori penafsiran dan teori hukum Islam, isunya bukan cuma soal memilih, keseluruhan sistem negara Indonesia juga harusnya haram. Kalau dia cuma ambil bagian yang enak saja, misalnya semacam pokoknya saya ga milih, kemudian dia ributkan ada penghinaan karena merasa tersinggung, apa landasan moral dia untuk ribut? Konsep yang dia bela saja ternyata bukan yang aslinya dia yakini.
Makanya Fatwa MUI penting untuk diklarifikasi, supaya kita paham, orang2 ini lagi membela tafsir yang mana. Kalau tafsirnya aja ga jelas yang dibela, dimana penodaannya. Sisanya bisa dibaca dalam artikel saya yang baru itu. Terima kasih.
Dasyat pemikirannya mas pram...
Menurut sy, simple saja...tema nya "penistaan agama islam"... Sehingga nantinya hakim harus mewakili seluruh umat islam...bukan hanya umat islam di indonesia saja...tapi umat islam seluruh dunia...
Karena agama islam bukan milik orang indonesia saja.. Sedangkan balik lagi, judul pasal pidananya "penistaan agama"... Dalam kasus ini berarti penistaan agama islam yang obyeknya adalah penistaan surah al maidah ayat 51.
Kalau kasusnya adalah pembakaran kitab Al-Quran, saya rasa seluruh umat islam didunia dengan berbagai macam mazhab dan aliran2 pasti akan sepakat merasa ternistai...sehingga hakim dalam mengetok palu bisa mewakili seluruh umat islam di dunia....karena judulnya "penistaan agama islam, dan islam bukan hanya milik orang indonesia"....
Lalu, misalkan contoh kasus lain...ada gambar karikatur nabi muhammad yang dilecehkan dan digambar secara hina...maka, saya yakin seluruh umat islam di dunia akan merasa ternistai....sehingga sekali lagi, hakim bisa mengetok palu mewakili seluruh umat islam dengan judul pasal "penistaan agama islam".....
Lalu bagaimana dgn kasus ahok yg disangka menistai al maidah ayat 51? Dalam case ini umat islam saja masih ada perbedaan penafsiran yang berbeda...
Sebagian besar terjemahan Al Quran di indonesia menafsirkan kata "awliyya" sebagai "pemimpin",, namun sebagian besar terjemahan Quran diluar negeri menafsirkan kata "awliyya" sebagai "teman setia" atau "aliansi" (sekutu), seperti yang ditafsirkan Sederet ulama besar seperti Dr. Zakir Naik, Syeikh imran Hosein, prof. Quraish shihab...bahkan seorang Kyai sekaliber GusDur pun harus angkat bicara ketika pilkada ahok di belitung, bahwa al maidah ayat 51 tidak dalam konteks memilih pemimpin harus mutlak orang muslim....
Melihat perbedaan penafsiran yang terjadi didalam umat islam inilah yang harus membuat hakim harus extra berhati-hati, karena keputusannya akan mewakili agama islam.
Hakim harus menyadari konteks tafsir arti "pemimpin" dengan "teman setia" itu jauh berbeda... Teman setia belum tentu pemimpin dan pemimpin belum tentu teman setia....
Lalu ada ulama yang memaksakan opini pribadinya dengan mengatakan "memilih sebagai teman aja tidak boleh, apalagi memilih sebagai pemimpin"... Kalau bicara agama,berarti bicara dalil Tuhan...jika awliya ditafsirkan sebagai "teman setia",, maka ulama itu harus mencari dalil Tuhan yang mengatakan bahwa memilih pemimpin non muslim adalah mutlak tidak boleh.
Penafsiran al maidah ayat 51 tidak bisa disamakan dengan penafsiran bahwa makan babi itu haram. Kalau ayat itu sudah jelas setiap arti kata per katanya..babi itu haram....nahh, dalam al maidah 51, arti kata Awliyya ini masih terjadi perbedaan, padahal penafsiran kata awliyya sangat menentukan konteks arti dari ayat tersebut..kalau terjadi perbedaan arti, maka harus disepakati dahulu yang mana yang benar tafsirnya....harus merujuk ke asbabun nuzul dari ayat tersebut,, bagaimana situasi yang terjadi saat ayat itu turun...
Kalau ada orang bilang bahwa ahok sbagai non muslim tidak berhak menafsirkan al maidah 51, jangan lupa, bahwa Alquran itu diturunkan untuk seluruh umat manusia....alquran diturunkan untuk semesta alam...jadi siapapun boleh mengkaji Quran, terlepas dia akan mengimaninya secara menyeluruh, atau mengimaninya sebagian besar, atau mengimaninya sebagian kecil saja, atau bahkan tidak mengimaninya sama skali..
Pada akhirnya, hakim harus membuktikan, apakah yang disampaikan ahok adalah sebuah kebenaran atau bukan?, bahwa ayat almaidah yang masih multitafsir lalu dipaksakan penafsirannya sebagai alat politik untuk menghadang pemilih muslim agar tidak memilih non muslim menjadi pemimpin...sehingga kalimat "dibohongi" atau "dibodohi" menjadi sebuah penyampaian fakta? atau sebuah konteks menistai?....ini harus dibuktikan dengan hati-hati...karena mewakili agama islam diseluruh dunia dengan berbagai macam mazhab dan aliran.
The other day, while I was at work, my sister stole my apple ipad and tested to see if it can survive a 40 foot drop, just so she can be a youtube sensation. My iPad is now broken and she has 83 views. I know this is totally off topic but I had to share it with someone! gmail login
hahah lol
hahaha....lo nyinyir umat islam dan ulama,tapi tidak nyinyir non muslim,pendeta,biksu....
Post a Comment